Hai Sayang,
Sedang apa kamu di sana? Lama rasanya ketika kita terakhir berjumpa. Rindu rasanya sudah bergejolak luar biasa. Namun, aku belum juga bisa mengupayakan pertemuan. Aku di sini sedang berjuang demi kita dan masa depan.
Ya, bertahun-tahun sudah kita bersama. Hampir segala pahit manis kehidupan semasa pacaran pernah kita lewati berdua. Tapi seiring bertambahnya usia, toh aku belum juga bisa membawamu dalam hubungan yang lebih tinggi levelnya.
“Maaf ya, Sayang. Kuharap kau terus dilimpahi kesabaran.”
ADVERTISEMENTS
Kau mungkin merasa bahwa dirimu biasa saja. Tapi bagiku, kau adalah wanita yang berbeda dari selainnya.
Bukan paras cantik yang kucari, bukan pula tampilan fisik sempurna yang kuiingini. Aku hanya ingin bertemu denganmu yang meyakini bahwa cinta tak sekedar memandang fisik maupun materi.
Aku mencintaimu apa adanya tanpa ada alasan yang mendasari, toh kita memang tak perlu menjelaskan secara gamblang mengapa kita mencintai seseorang. Karena cinta sendiri abstrak, tak dapat dilihat secara kasat mata, dan benar kata orang bahwa cinta memang tak ada logika. Aku mencintai kamu karena aku cinta, itu saja.
ADVERTISEMENTS
Dan meski aku bukan pria yang sempurna, kau mau menerimaku tanpa banyak meminta.
“Kamu yakin mau menikah sama dia? Dia kan belum dapet kerjaan yang oke.”
“Kenapa nggak coba dekat sama si X aja? Dia sering nanyain kamu lho, udah tampan, baik, mapan pula.”
Teman atau keluargamu mungkin sering melontarkan pertanyaan dan pertanyaan semacam itu. Sementara, aku hanyalah aku, seorang pria yang bekerja dengan upah biasa saja. Bahkan, secara fisik pun tampilanku tak bisa dibilang istimewa.
Tapi, terima kasih telah memilihku dan mempercayakan hati serta masa depanmu padaku. Padahal di luar sana masih banyak laki-laki yang mungkin lebih berpendidikan, lebih tampan, dan lebih banyak harta dibanding aku. Terima kasih telah menunjukkan padaku bahwasannya cinta itu sederhana.
ADVERTISEMENTS
Percayalah aku sama sekali tak bermaksud membuatmu menunggu. Asal kau tahu, aku pun punya asa untuk segera menikahimu.
Jujur, aku sudah tak kuat lagi membendung perasaan ini. Tak mampu menahan rasa yang bergejolak dalam dada. Bayangan untuk hidup bersamamu selalu hadir dalam tiap mimpiku.
Aku juga sudah tak tahan mewujudkan mimpi untuk memulai lembaran baru bersamamu. Ingin rasanya mengawali tiap pagi disambut dengan senyuman hangat dari wajahmu yang kuyu. Saling mengecup mengucapkan selamat pagi karena kita sudah jadi satu jiwa yang dipisahkan oleh raga berbeda.
Namun dibalik mimpi-mimpi yang indah itu, aku sadar dan mencoba berpikir logis. Sadar bahwa menikah membutuhkan rencana matang dan biaya yang tak sedikit. Apalagi lagi orangtua kita yang belum tentu setuju apa yang akan kita jalani untuk resepsi. Makanan ini dan itu, souvenir pernikahan lucu, belum lagi membayar penghulu, serta berbagai kebutuhan lainnya. Tapi Sayang,
“Maafkan aku jika tak bisa menjanjikanmu pernikahan mewah seperti dalam dongeng maupun buku cerita. Maaf jika acara pernikahan kita nanti berlangsung apa adanya dan biasa saja.”
ADVERTISEMENTS
Sebagai calon imam, aku tak akan meminta macam-macam. Cukuplah kau jadi ibu rumah tangga yang lihai mendidik anak-anak kita.
Membacakan mereka buku cerita, mengajari matematika, tak lupa pula mengajar tata krama serta pendidikan agama. Ingatlah Sayang, dunia ini sudah banyak memiliki orang-orang pandai dan cerdas, namun naas, dunia ini kekurangan mereka yang benar-benar jujur serta mengerti etika. Tentu ingin agar anak-anak kita dapat berguna bagi sesama serta bahagia di dunia dan akhirat bukan?
Sayang, maafkanlah jika nanti aku terlalu sibuk bekerja. Kulakukan ini semata-mata hanya untuk kita—aku, kamu, serta anak-anak. Terkadang aku malu dan merasa bersalah jika harus kulalui hari-hari seperti itu. Namun, terima kasih jika kau mau mengerti dan memaklumi profesiku. Semoga kelak kau akan setia menyambut kepulanganku. Membawakan teh hangat lalu menyempatkan untuk memijat bahuku.
ADVERTISEMENTS
Jika akhirnya hari itu datang, siapkah kau menjalani hidup yang sederhana bersamaku, Sayang?
Seperti telah kusebutkan di awal, bahwa aku bukanlah laki-laki sempurna. Alih-alih sempurna, aku justru lebih banyak memiliki kekurangan. Kuharap engkau akan mengerti kondisiku, sebelum atau bahkan sesudah kita mengikat janji.
Namun, kujanjikan sebuah rumah yang layak bagimu dan keluarga kecil kita nanti. Mungkin rumah mungil dengan pekarangan kecil di bagian belakang, dengan sebuah pohon mangga dan sebuah pohon jambu di sisi lainnya. Lalu akan kubuatkan ayunan diantara keduanya, dimana nantinya bisa kau gunakan untuk membaca buku-buku kesayanganmu, sekaligus menjadi tempat bermain buah hati kita setelahnya. Tapi sebelum semua hal itu dapat terwujud, aku ingin menanyakan pertanyaan terakhir kepadamu,
“Maukah kau menjadi pendamping setiap langkahku? Menjadi penyemangatku dan menjadi penasihat hidupku jika aku lalai nanti? Saat dimana kita tertimpa masalah atau musibah, maukah kau untuk selalu menemaniku?”
Dari aku,
Pria yang semoga jadi masa depanmu