Buatmu harapan mungkin seperti permen kapas yang mudah menciut saat terpapar udara. Tapi sedari dulu aku terlalu percaya pada klausa bahwa pria harus bisa memegang kata-kata. Aku menulis ini bukan untuk merengek minta diperhatikan. Kamu sudah lebih dari tahu kalau gadismu ini tangguh soal menahan perasaan.
Kuharap ini bisa jadi pengingat saja. Bagaimana seharusnya bersikap sebagai pria.
Kamu perlu tahu aku jatuh cinta padamu karena 3 hal saja. Pertama, karena keberanianmu mengajakku bicara. Bahkan saat kita belum pernah kenal sebelumnya. Kedua, karena ketulusan yang terlihat dari pandangan matamu saat menemukan mataku lama. Ketiga, kamu membuatku percaya kalau kita bisa punya masa depan bersama.
Janji, mungkin bagimu sesuatu yang biasa. Tapi buatku janjimu seperti bantal nyaman setelah hari yang panjang. Membuatku rela berjuang, melupakan kelelahan, sebab di akhir hari kamu pasti kutemukan.
Aku tidak menyalahkanmu. Barangkali memang aku yang terlampau rapuh sampai bisa menitipkan hati semudah itu. Paling tidak sekarang aku tahu bahwa masa depan tidak perlu banyak dibicarakan. Hanya harus diperjuangkan.
Sekarang aku sadar kenapa kamu hanya suka saat kita pergi berdua. Tak perlu melibatkan teman dan keluarga. Baru sekarang bisa kucerna bahwa kamu mencintai aku saja. Tanpa pernah berharap jadi “Kita.”
Selepas tidak lagi bisa tidur di atas bahumu, aku mulai mengerti. Aku sempat jatuh sedalam itu padamu kemudian menitipkan mimpi. Sementara kamu hanya menggunakanku sebagai pengusir sepi.
Ketika perasaan dipercundangi ini kuungkapkan, kutemukan sinar pias di matamu. Kamu kehilangan kata-kata. Sementara aku mulai geram dan di ujung mati rasa.
“Kamu terlalu berharap Sayang. Aku menyayangimu, kamu tahu. Tapi aku belum berpikir sejauh itu.”
Perasaanku padamu adalah derap-derap langkah panjang yang sudah diperhitungkan. Perasaanmu padaku tak beda seperti kopi instan yang cukup sekali seduh demi memberimu kenikmatan.
Tolong jangan minta aku bertahan sampai keyakinanmu datang. Jika tinggal lebih lama bisa-bisa aku kembali menggantungkan harapan yang sama. Lalu kamu harus mem-fast forward semuanya, karena merasa cinta.
Secinta apapun aku padamu, masa depan kita bukan mie instan. Aku membutuhkan pria yang siap. Bukan cuma pria yang baru mau bicara masa depan setelah takut kehilangan gadis kesayangan.
Terima kasih sudah pernah menjanjikan banyak hal. Diam-diam aku bersyukur kita hanya ditakdirkan hanya pernah saling sayang — lalu kembali ke sekadar kenal.
Lalu apa setelah ini? Kamu perlu berpikir ulang soal pendewasaan diri. Aku akan menyibukkan diri sembari menata hati.
Jika kita dipertemukan lagi kuharap pandanganmu sudah sedikit berbeda. Semoga nanti aku bisa naik tingkat dari cuma satu seruput kopi instan — jadi gadis yang memang benar-benar ingin kamu perjuangkan.
Sampai saat itu tiba,
Selamat tinggal.