Sebelum kamu memutuskan untuk membaca tulisan ini, pastikan dulu jika kamu tak pernah bermasalah dengan romantisasi suatu hal. Sebab aku yakin, ini adalah sekian kalinya bagaimana orang-orang meromantisasi Yogyakarta dengan sedemikian rupa. Sadar atau tidak, Jogja adalah perumpamaan seorang ibu yang berangsur-angsur menjadi tua, kewalahan dan kelelahan menghadapi anak-anaknya yang semakin dewasa. Ia digilas hal-hal menyeramkan berupa kenangan dan ingatan yang terjaga setiap incinya dari masing-masing manusia yang berada di dalamnya.
Waktu terasa begitu cepat di kota ini, terlebih bagi kamu yang rasanya baru tempo hari menginjakkan kaki pertama kali di tanah yang kata mereka “kota pelajar” ini. Hari demi hari berlalu, rupanya tanpa sadar musim wisuda telah tiba. Itu tandanya, kamu harus bersiap-siap merapikan kenangan demi kenangan, memunguti setiap jengkal ingatan yang pernah kamu ciptakan dan mengikhlaskannya.
ADVERTISEMENTS
Tuhan rupanya sedang menjalankan tugasnya menjadi baik untukmu sekaligus memberimu pelajaran
Aku tahu, semua orang membenci perpisahan, dan mungkin kamu adalah salah satu dari mereka. Namun, mungkin kamu juga lupa, beberapa waktu lalu kamu selalu memohon kepadaNya perihal skripsi atau tesismu yang tak kunjung selesai. Sedangkan kali ini kamu menyesal karena Tuhan telah mengabulkan permintaanmu untuk memberimu semangat demi menyelesaikan tugas utamamu, namun ternyata ia memberikan hal lain juga. Ialah perpisahan dengan apa saja yang pernah kamu kenal sebelumnya. Lucu sekali memang cara kerjanya, kamu meminta satu, Tuhan memberinya dua.
Malangnya, aku percaya bahwa Jogja mungkin adalah salah satu dari sekian banyak kota yang tak akan pernah membiarkan siapapun untuk berdamai dengan ingatannya setelah mereka menginjakkan kakinya di kota ini. Itu adalah berita buruk bagimu. Lagi-lagi kamu akan segera menghadapi kalimat selamat tinggal yang telah sedia di depan mata. Memaksamu untuk mempercayai bahwa ada kata “selamat” setelah ditinggal. Naif sekali bukan?
ADVERTISEMENTS
Semua akan meninggalkan Jogja pada waktunya, dan mengubur dalam-dalam kenangan tentangnya
“Tak ada awal yang tak memiliki akhir”
Begitu pun denganmu, setelah bersusah payah menyelesaikan masa studimu yang bertahun-tahun tak kunjung usai. Kali ini kamu harus bersyukur karena berhasil melewatinya sekaligus melawan kenyataan pahit bahwa kamu akan segera meninggalkan rumah keduamu beserta manis pahit kenangannya. Kembali ke pangkuan orang tuamu dan keluarga kecilmu di kota seberang, menceritakan bagaimana kamu bertemu dengan orang-orang hebat di kota ini. Orang-orang di sini nyaris tak pernah megenal waktu 24 jam, di kota ini seakan-akan waktu berjalan sampai 25 jam setiap harinya.
Kamu sadar bagaimana kota ini perlahan-lahan menjelma menjadi Jakarta, penuh sesak dengan rutinitas manusianya, namun tak pernah kehilangan senyum dalam setiap kesibukannya. Kelak kamu juga akan menceritakan pada adik-adikmu di rumah bagaimana magisnya matahari yang berangsur-angsur menjadi redup saat kamu memandanginya dari tepian Sungai Code. Dan juga bagaimana riuhnya Jalan Kaliurang, Gejayan, Seturan, hingga Babarsari. Tempat di mana puluhan hingga ratusan kafe berjejal, tempat yang menjadi favoritmu ketika menyelesaikan tugas-tugas kampusmu. Atau mungkin juga bagaimana kisah tragismu saat ditinggal kekasihmu ketika mengikuti kurang ajarnya program kuliah yang bernama KKN di mana kamu harus melihat berita banyaknya pasang mata para mahasiswa yang harus rela kehilangan kekasihnya karena terlibat cinta lokasi dengan dengan teman sekelompoknya, dan kamu adalah salah satunya.
Aku tahu, saat akhir bulan tiba dan kiriman uang dari ibumu habis, kamu selalu datang ke burjo-burjo terdekat, di sana kamu selalu memesan Indomie rebus atau nasi telur, segelas es teh, dan mungkin sebatang rokok. Kemudian duduk berlama lama sambil memikirkan bagaimana nasibmu esok hari.
ADVERTISEMENTS
Pulanglah, Jogja akan tetap selalu menjadi rumahmu kok
Konsep jatuh cinta memang selalu menyebalkan dan penuh omong kosong. Setiap orang yang sedang merasakan jatih cinta selalu memberikan hak istimewa kepada hal lain untuk menyakitinya. Begitupun dengan Jogja,aku percaya jika kamu juga selalu memberi Jogja kesempatan untuk menyakitimu berkali-kali dengan caranya sendiri. Dengan bagaimana kamu dibiarkan merawat pusara kenangan dari ujung selatan hingga ujung utara, dari ujung timur hingga ujung barat, dan di seluruh lampu merah yang tersebar di sepanjang jalur lingkar Jogja.
Dan sekali lagi, sayangnya Jogja tak pernah mengizinkan kita semua berdamai dengan ingatan. Namun kita semua juga percaya bahwa mencintai seuatu adalah bagaimana kamu bertahan meskipun dikecewakan berulang kali. Begitu pula dengan Jogja, kota yang telah memberimu secuil kehidupan.
Setelah menemui orang tua dan melihat bagaimana rumahmu di kota seberang serta menceritakan bagaimana rumitnya Jogja, kembalilah, Jogja terlalu luas untuk menampung ingatan setiap manusia yang pernah berada di dalamnya. Kelak kamu akan sadar bagaimana kota ini dirancang sedemikian rupa sehingga begitu banyak hal yang tak dapat diterjemahkan oleh kata-kata.