“Aku berharap menemukan seseorang yang mau mencintaiku apa adanya…”
Kalimat itu yang dulu aku rapal di sela doa. Mohon supaya Tuhan mengirim laki-laki berhati malaikat yang mau menerimaku apa adanya. Ya, apa adanya berarti dengan sedikit kelebihan dan banyak kekurangan yang aku punya.
Jika dicerna lagi, mungkin itu doa paling naif yang aku kirim pada Tuhan. Doa yang sebenarnya cuma pembelaan atas nama kemalasan. Kemalasan yang memaksaku percaya – cinta tak akan mudah berpaling pada yang lebih sempurna. Tapi beruntungnya, Tuhan mengirimkan kau yang jauh harapan. Laki-laki yang selama ini selalu menuntutku macam-macam.
ADVERTISEMENTS
Aku jelas payah urusan berdandan. Bukannya maklum, kau malah usil mengomentari wajahku yang sehari-hari minim polesan
“Emang segitu malesnya ya pakai makeup? Sini aku aja yang makeup-in kamu!”
Meski sambil cengar-cengir mengucapkan kalimat itu, aku tahu kau sungguh-sungguh memintaku. Karena bukan sekali dua kali, perkara pakai makeup atau tidak ini sudah jadi perdebatan kita sehari-hari. Padahal, sejak awal kenal pun kau tahu soal kekuranganku yang satu ini. Jangankan pakai lipstick sendiri, membedakan blush on dan eye shadow saja aku masih bingung sendiri.
Tapi setelah puluhan kali perdebatan kita perkara makeup, aku justru menemukan kenyamanan. Sedikit demi sedikit belajar mengaplikasikan foundation dan eye liner membuatku paham: “Oh, ternyata ada untungnya juga aku belajar”. Ada rasa percaya diri yang bertambah, misalnya saat bertemu klien atau kenalan baru. Memakai makeup nyatanya bisa membuatku merasa lebih ‘layak’ sebagai individu.
ADVERTISEMENTS
“Hobi banget sih pakai jeans sama kaos oblong? Kamu ‘kan cantik kalau pakai dress gitu…” – jadi mantra yang kau rapal tiap melihat penampilanku
“Udah deh, Yang!” jadi frasa yang rasanya pas buat menyumpal mulut usilmu. Sekalipun tak menunjukkan sikap marah atau kesal, terkadang dalam hati sebenarnya aku tak terima. Kenapa sih harus komentar soal penampilan? Apa tak tahu kalau hal-hal macam ini sensitif banget buat perempuan? Harapanku justru kau akan bilang,
“Terserah kamu pakai baju apa. Aku suka kamu yang apa adanya…”
Toh, tidak ada aturan kalau cewek itu harus sesekali pakai dress feminin ‘kan? Apa iya sebegitu hinanya kalau andalanku sehari-hari cuma jeans dan kaos oblong? Namun meski perasaan insecure seringkali muncul tiap kau mengkritik penampilanku, nalar yang akhirnya mengalahkan. Sekali dua kali menuruti permintaanmu, aku pun senang melihat diriku yang tidak biasanya. Meninggalkan outfits andalan yang ala kadarnya. Aih, lucu juga ternyata kalau aku tampil beda.
ADVERTISEMENTS
Kadang kau kelewat peduli perkara keputusanku di masa depan, apalagi soal lanjut kuliah atau mencari pekerjaan yang lebih mapan
Ada kalanya aku berpikir kau terlalu mengatur hidupku. Bukan cuma soal remeh seperti pakai makeup dan dress, tapi ada hal lain yang lebih krusial. Kau akan kritis kalau sudah bicara soal pekerjaanku yang sekarang, juga rencana lanjut kuliah yang sejak dulu digadang-gadang.
“Kalau kerjaan bikin kamu nggak happy, kenapa nggak cari yang lain? Kamu layak dapat yang lebih baik. Sayang banget waktumu, mending juga kuliah mumpung usia masih mumpuni…”
Kau memang bisa jadi pendengar yang menyenangkan ketika aku berceracau perkara pekerjaan. Tapi bukannya pasif, kau akan menganalisa semua keluh kesahku. Pada akhirnya, komentar-komentarmu selalu berhasil membuatku berpikir ulang,
“Apa iya pekerjaanku yang sekarang layak dipertahankan? Mungkin lebih baik kalau aku resign dan mencari yang lebih baik di luar sana? Atau, keputusan terbaik sebenarnya lanjut kuliah saja?”
ADVERTISEMENTS
Aku sering ceroboh soal mengelola keuangan, dan kamu paling ahli mencecar kekuranganku yang satu ini
Ketika lewat counter sepatu,
“Ih, itu bagus banget sepatunya…”
“Belilah kalau suka!”
“Duh, nggak ada bujet. Harus bertahan sampai akhir bulan nih.”
Sekian lama pacaran, kau paham betul kekuranganku yang satu ini. Iya, aku memang ceroboh dalam hal mengelola keuangan. Meski sudah punya penghasilan sendiri, aku masih sering kelabakan menjelang akhir bulan. Pos-pos keuangan yang aku buat di awal bulan kerap kali berantakan.
Di saat seperti ini, kau akan menyemangatiku dengan caramu sendiri. Bukan dengan kalimat-kalimat yang menenangkan, kau justru akan bilang: “Kalau kelola uang sendiri aja kewalahan, gimana ngurus uangku setelah kita nikah nanti?”. Aku cuma bisa senyum kecut menanggapi, tapi sebenarnya hatiku bergejolak. Keinginanku kuat untuk berbuat lebih baik lagi. Harusnya aku bisa jadi calon istri yang handal untuk urusan ini.
ADVERTISEMENTS
Kalimat yang khatam kamu ulang-ulang: “Jangan kemana-mana sama aku terus deh. Cobain merantau atau traveling sendirian gih!”
Sebenarnya aku tak suka, tapi semua yang kau katakan itu ada benarnya. Bertahun-tahun pacaran, aku seperti terlena di zona nyaman. Sehari-harinya banyak waktu yang aku habiskan bersamamu. Ada kau di sisi membuatku malas jika harus apa-apa sendiri. Padahal,
“Bukannya aku baru tahu arti hadirmu, setelah melewati hari-hari sendiri tanpa kamu?”
Aku sadar ada banyak hal yang selama ini terlewatkan. Ketangguhanku sebagai individu sepertinya belum ditempa dengan maksimal. Kamu itu selalu ada, jadi tempatku berbagi lelah atau rasa kesal. Pendampinganmu yang meluruskan, supaya jalanku lebih terarah pada masa depan. Kedewasaanmu juga yang selalu berhasil menenangkan kala aku kalap dalam keputusasaan.
ADVERTISEMENTS
Terima kasih sudah menuntutku macam-macam. Ketika di luar sana banyak gadis yang lebih sempurna, caramu mempertahankanku sungguh menenangkan
Dulu, aku percaya cinta tidak akan membuat kau berpaling pada yang lebih sempurna. Iya, aku percaya kau bakal setia dan menerimaku apa adanya, sekalipun banyak gadis yang lebih sempurna di luar sana. Tapi, pendampinganmu selama ini membuatku berpikir ulang. Aku meremang menyadari – pasangan yang menuntut macam-macam sungguh justru yang aku butuhkan.
Hubungan kita jelas tidak akan seperti sekarang kalau kau mau menerimaku apa adanya. Aku tidak akan berkembang dalam banyak hal, dan kau pun juga. Sementara, hakikat manusia adalah selalu ingin mencari yang lebih sempurna. Dan mungkin saja, kau bakal mencari perempuan lain yang lebih dalam segalanya.
“Bersyukur aku menemukanmu. Kau yang suka menuntutku macam-macam. Kau yang mempertahankanku dengan cara yang paling menenangkan. Terima kasih.”