Sudah hampir menginjak usia yang ke 25. Aku belum juga memilih jodoh untuk bersanding denganku di pelaminan, sementara teman yang lain sudah mulai berbondong membagikan undangan pernikahan.
Bukan tidak ada yang dekat. Bukan.
Bukan tidak ada yang suka. Bukan.
Bukan tidak ada yang mencintai. Bukan.
Bahkan kalau bisa kusebut, setiap hari pasti ada saja makanan ataupun paketan kado yang ada di meja kantor. Kadang laci kantor yang sengaja nggak aku kukunci. Setiap jam istirahat kantor, bukan satu dua orang saja, tapi lebih, selalu menawarkan untuk mengajak lunch. Ngerinya, ngajaknya bukan cuma lunch, pasti selalu sepaket sama dinner.
Dan kupastikan ajakannya tak pernah aku tolak, Sayang. Hitung-hitung makan gratis. itu saja kalau aku sengaja nggak bawa bekal dari rumah. Haha.
Oh iya, satu lagi, setiap pulang kantor selalu ada saja tawaran untuk mengantarkan aku pulang. Yang ini baru kutolak, karena aku malas menemui tamu kalau sudah sampai rumah. Tapi tetap saja, masih ada tamu yang datang. Entahlah mereka tahu alamat rumahku dari mana.
Oh ya, perkenalkan.
Aku perempuan biasa aja, bukan keturunan ningrat. Bukan juga blasteran Inggris, Belanda, Eropa, bukan juga Arab. Aku perempuan Jawa yang bahkan mungkin terbilang nggak ada Jawanya.
Sebenarnya aku paham unggah-ungguh, tapi aku lebih terkenal sebagai wanita riang dengan ketawa khas yang selalu blak-blakan dan jadi idola di kantor. Idola di kantor? haha. Ini cuma teman-temanku yang bilang, karena setiap orang yang dekat denganku selalu bilang “nyaman”.
Dari sekelas staf, middle staf, senior staf, supervisor, sampai level manajer, hampir semuanya pernah mengajakku dinner dengan alasan bahas kerjaan. Alasan klasik. Orang tuaku bahkan sampai bosan kalau setiap hari aku telat pulang karena meeting.
Ujungnya yang dibahas saat dinner juga bukan kerjaan, tapi pertanyaan, “jadi kapan memutuskan untuk menikah?” atau “apa sih kriteria yang kamu cari?” Basa basi busuk yang selalu sudah bisa kutebak. Selalu kujawab dengan “haha.”
Karena mereka semua tahu, kerjaanku adalah kehidupanku.
Sebenarnya, ada rasa yang nggak tahu bagaimana cara meyakinkannya. Aku pun sama dengan yang lain, ingin berumah tangga, ingin merasakan bagaimana nikmatnya jadi istri dan ibu yang baik. Tapi, ada satu keraguan. Apakah nanti ada lelaki yang bisa menerimaku di saat aku tidak lagi seperti ini? Lebih tepatnya, aku hanya seorang wanita yang terlahir tunggal, dari keluarga sederhana.
Apakah tidak lebih baik untuk membahagiakan orang tuaku dulu, sebelum memilih untuk bersanding dengan seseorang yang aku belum tahu cintanya sebesar apa? Apakah tidak lebih baik untuk mengesampingkan keegoisanku demi menyenangkan orang tua atas kebahagiaannya membesarkanku?
Itu saja keraguan yang aku miliki, di balik semua yang terjadi. Ma, Pa, aku janji akan membuatmu bahagia, apa pun caranya. Izinkanku terus begitu. Aku pastikan, suatu saat nanti Tuhan mengirimkan orang yang aku butuhkan.