Tentang cinta, orang tua, patah hati, lukisan, dan mitos soal ‘pasangan idaman’.
Orang tua saya terlibat dalam sebuah korespondensi intens selama masa pacaran mereka, yang berjalan seumur jagung sebelum keduanya mengikat janji di tahun 1990. Tiga adik kecil saya, yang semuanya sedikit terlalu acuh terhadap hal bernama privasi, berhasil menelusuri jejak surat-surat itu. Bahkan mereka sempat punya hobi membaca tulisan-tulisan itu kalau sedang kurang kerjaan. “Lucu sih,” kata adik ketiga, yang usianya waktu itu 7 tahun.
Suatu hari, adik saya yang paling besar menunjukkan salah satu surat orang tua kami ke muka saya. Surat itu dari Ibu. Beliau, yang seumur hidup tak pernah saya tahu berminat pada seni rupa, telah menggambar seekor kucing manis di amplopnya. Suratnya sendiri ditulis di atas secarik kertas wangi, yang dipotong membentuk kepala kucing berukuran jumbo. Duh, Bu.
Saya sendiri menolak membacanya. Saya tidak siap menerima bahwa orang tua saya bukan cuma orang tua saya — mereka juga dua individu yang otonom, dalam arti mereka memiliki hasrat, kisah-kisah tersembunyi, dan mimpi-mimpi yang terhenti. Mereka adalah sahabat seseorang, putra dan putri seseorang, mantan pacar seseorang, dan sekarang, sepasang kekasih.
Walaupun sepasang kekasih berpelukan di depan publik, kisah antara mereka berdua tetaplah sebuah pengalaman privat. Seberapa jauh cinta telah mengubah mereka, membangun atau meremukkan mereka — hanya mereka yang tahu.
Namun penolakan saya juga berdasar pada kepercayaan bahwa cinta adalah salah satu emosi paling mendasar, tersembunyi, dan personal yang bisa dirasakan manusia. Walaupun kita melihat dengan mata kepala sendiri sepasang sejoli berpelukan di depan publik, yang tahu kisah mereka ya cuma diri mereka sendiri.
Salah satu pelukis favorit saya, Oskar Kokoschka dari Austria, pernah membuat karya berjudul ‘Die Windsbraut’ — yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘badai’. Diterjemahkan secara harafiah, ‘Windsbraut’ sendiri bermakna ‘pengantin angin’ (bahasa Jerman punya “bakat” untuk menjadi sangat liris!). Di lukisan itu, Kokoschka memperlihatkan sepasang kekasih berpelukan, sementara badai ganas berkecamuk di luar. Sang wanita memejamkan mata, tertidur pulas, berusaha mencari kehangatan dalam diri lelakinya. Tetapi sang laki-laki (yang adalah Kokoschka sendiri) terbaring kaku, tak peduli; pandangan matanya lurus ke atas, tanpa sedikitpun noktah kehangatan. Menurut para kritik, kita sedang dihadapkan pada awal sebuah perpisahan.
Namun bagi Alma Mahler -perempuan dalam lukisan itu- ‘Die Windsbraut’ adalah salah satu karya paling romantis yang ia tahu. “Oskar membiarkan dirinya menjadi satu-satunya hal yang bisa melindungi saya dari badai.”
Itulah yang selalu mengingatkan saya betapa personalnya perasaan itu. Seberapa jauh cinta telah mengubah, membangun, atau meremukkan sepasang kekasih — hanya mereka yang tahu. Di akhir hari, yang kita punya cuma cerita masing-masing.
Lantas, apa cerita saya? Hubungan terakhir saya terhenti dengan pasangan meminta maaf karena berselingkuh, sedangkan saya – karena begitu terpakunya – hanya bisa tertawa.
“…Mungkin kamu masih belum ngerti,” ujarnya.
Saya tertawa bertambah keras. “Why, of course, I understand.”
“Kalau gitu, kenapa ragu? Teriaki aku, tampar aku di pipi…”
Saya memandangnya dengan air mata yang ditahan, masih tertawa dengan canggung. Menampar di pipi? Duh Gusti, dan saya kira kamu kenal saya.
Bukan ketidaksetiaannya semata yang membuat remuk, tapi juga rasa kecewa pada diri sendiri karena telah dengan sengaja mengabaikan tanda bahwa dia tak pernah mencintai saya.
Bukan ketidaksetiaannya semata yang membuat remuk, tapi juga kekecewaan pada diri sendiri karena telah sengaja mengabaikan tanda bahwa dia tak pernah mencintai saya. Bagaimana bisa saya sebuta itu? Bendera merahnya ada dimana-mana.
Suatu hari, dia mengirimi saya sebuah SMS. “Bapak tuna wisma di samping kos kamu namanya Stefaan. Dia suka lasagna, karena giginya sudah banyak yang tanggal.”
Saya pun gembira mendengar informasi itu. Dengan gaya yang sedikit canggung, dia menjawab: “Aku tahu kok kamu pasti senang diberitahu … itu kenapa aku mengapresiasi-mu.”
Itulah ambang maksimal pengungkapan perasaannya. Dia “mengapresiasi” saya. Dan “apresiasi” itu harus disampaikan melalui SMS, di tengah jalan menuju bandara, hendak pulang berlibur ke negerinya, pada tanggal 1 April. Hari ulang tahun saya jatuh tiap tanggal 2 April.
Di kesempatan lain, saya pergi keluar bersama seorang teman laki-laki. Kami bicara sampai larut, dia terbawa suasana, dan saya pada akhirnya harus menjalankan kewajiban untuk sopan sebagai teman, sekaligus tegas sebagai orang yang hanya mau menjadi teman. Ketika saya curhat ke pasangan esok harinya, berharap diberi sokongan, atau paling tidak, sedikit “apresiasi”, dia menimpali:
“Aku sebenarnya bingung harus bilang apa. Kecuali seharusnya, kamu bisa lebih pintar daripada itu.”
Titik terendah hubungan kami datang jauh sebelum saya mengakhirinya. Dia mengirimi saya sebuah email (email!) panjang.
“Aku tahu kamu punya banyak potensi. Dan karena itu, aku merasa terhormat diberi kesempatan menjadi bagian masa depanmu.
Sayangnya, saat ini aku sedang nggak merasa tertarik denganmu.”
“Passion should believe itself irresistible,” saya membalasnya, mencuri kalimat dari E.M. Forster, mencoba mengakhiri hubungan kami. Saat kamu sudah tak tertarik lagi pada pasanganmu, kenapa mau repot-repot bertahan?
Saya terkejut saat ia menolak usulan saya untuk putus. “Seperti yang kubilang tadi, kamu punya banyak hal yang membuatku sekarang nggak bisa pergi.”
Betapa bodohnya saya. Bukan welas sama sekali yang membuatnya bertahan, melainkan kalkulasi matematis yang dingin tentang “potensi” saya dan bagaimana “potensi” itu bisa membantunya meraih kepentingan di masa depan. “Dia nggak jelek, nggak obesitas, bisa masak kalau dipaksa, bisa jahit kalau nggak punya kerjaan, membaca Tocqueville, mendengarkan Schubert. Pertahankan aja. Sekarang mungkin kamu nggak suka. Siapa tahu nanti lama-lama cinta?”
Saya bisa saja berkoar-koar tentang karakter pasangan idaman saya. Tapi cinta tidak akan hadir begitu saja dari daftar kata sifat.
Saya bisa saja berkoar-koar jumawa tentang karakter pasangan idaman saya: penyabar, ramah, bisa berbahasa Prancis, membaca Schiller, kuliah Matematika, dan berdansa Waltz — seseorang yang keterpelajarannya tampak justru karena ia diam, yang kerendahhatiannya terpupuk oleh pengalaman lama di negara dunia ketiga. Tapi buat apa? Cinta takkan hadir begitu saja dari daftar kata sifat.
Pada sore yang menentukan itu, sebenarnya saya sedang menertawai diri sendiri. Saya terlalu berharap bisa mendengar kalimat yang manis dari mulutnya, terlalu menuntut validasi dari orang lain, hingga saya menggadaikan jiwa untuk hal yang bukan apa-apa.
Hari ini saya mengambil buku dari rak kecil saya, dan menemukan di dalamnya sebuah pesan dari seseorang yang telah lama hilang. “Untuk A, yang membantuku menjadi diri sendiri, dengan menjadi dirinya sendiri.”
Orang yang sama berbisik kepada saya, di hari terakhir kami berjumpa: “Jangan pernah lupakan siapapun yang pernah kau cintai.”