Ia sudah bukan gadis kecil yang sama. Anak yang dulu selalu menangis saat kau tinggal pergi kerja, sekarang sudah dewasa. Sudah tak lagi masalah ketika kau tak selalu ada di sampingnya. Anak yang dulu selalu meminta bantuanmu untuk mengerjakan soal Matematika, sekarang akan menghubungi manajernya jika ia kesulitan dengan angka-angka. Anak yang dulu tinggal kau panggil agar keluar kamar — jika kau meniti tangga ke lantai dua dan mengetukkan tanganmu di pintu kamarnya sekarang, tak akan ada jawaban dari dalam.
Kau bertambah tua, ia bertambah dewasa. Dan meskipun tak pernah mengatakannya, kau sedikit kehilangan. Ada perasaan bahwa kau tidak lagi dibutuhkan.
Kau pun meneleponku tadi malam. Bertanya kenapa aku — gadis yang kini tak lagi kecil itu — mulai jarang memberi kabar. Telah kutelantarkan rumah atas nama kesibukan.
Aku baru menyadarinya sekarang.
Jadi, anggaplah ini permintaan maaf yang kesekian. Aku memang sudah bukan lagi gadis kecil yang selalu kau timang. Namun selamanya, asal kau percaya saja, kau tetap aku butuhkan.
ADVERTISEMENTS
“Mbak, lagi di mana? Kok udah lama nggak kasih kabar ke Mama?”
Sibuk, ya? Tanyamu di telepon semalam lalu. Aku menggelengkan kepala dan menjawab, “Biasa aja.” Tak enak jika mengatakan iya, bahkan walau itu jawaban yang sebenarnya. Lagipula, kesibukan yang menyiksa harusnya sama sekali bukan alasan untuk tak menelepon Ibunda. Dalam hati, kau pun pasti bertanya-tanya: “15-30 menit tiap minggu, apa susahnya?”
Kau hanya ingin tahu apakah aku baik-baik saja. Bagaimanapun, seorang Ibu akan selalu waswas meski anaknya sudah dewasa. “Orang dewasa juga bisa sakit, bisa kecapaian, bisa nggak bahagia.” Katamu selanjutnya. “Dewasa bukan berarti nggak butuh siapa-siapa. Mama mau mengingatkan aja, mungkin kamu lupa — kamu punya Mama kalau butuh apa-apa.”
Aku terdiam — suaramu belum berubah, selalu halus dan sopan. Bahkan walau bicara dengan anak sendiri kau selalu elegan.
ADVERTISEMENTS
“Mama selalu tunggu Mbak balas pesan. Tapi malah lebih sering dapat kabar dari update Mbak di media sosial…”
Kau melanjutkan pembicaraan, bertanya kenapa beberapa kali aku tak mengangkat teleponmu. Jawaban pastinya, aku tak tahu. Mungkin waktu itu aku sedang di jalan? Mungkin waktu itu aku harus lembur mengerjakan tugas sampai larut malam? Mungkin aku sedang bersama teman-teman sehingga tak mendengar telepon genggamku kau deringkan?
Mama nggak mau dapat update hidup kamu dari Instagram, Mbak. Balasmu waktu itu. Aku terdiam. Anak perempuanmu ini memang lebih sering upload gambar di sosial media daripada menelepon keluarga. Dalam hati aku bertanya-tanya: foto yang mana yang sudah kau lihat di sana? Aku tak tahu bagaimana perasaanmu saat melihat feed-ku. Anak perempuan yang dulu kau mandikan dan susui kini sudah hidup di dunianya sendiri. Ada beberapa foto makanan di sana, dan kau bertanya dalam hati apakah rasa makanan itu lebih enak dari buatanmu. Ada beberapa foto dia bersama temannya sedang tertawa, dan kau bertanya-tanya apa yang membuat mereka malam itu begitu bahagia. Ada bagian dari dunia anakmu yang takkan pernah bisa kau masuki. Tak apa-apa, kau mengerti. Asalkan di bagian dunianya yang lain, kalian tetap bisa berbagi.
ADVERTISEMENTS
“Tak perlu menghubungi tiap hari, kamu toh punya hidup sendiri. Tapi Mama juga ingin dikabari — walau hanya sekali-sekali.”
Kamu sudah dewasa, sudah punya dunia yang jauh lebih menarik dari Mama dan keluarga, lanjutmu. Tidak, bukannya kau cemburu. Kau justru bangga pada keberhasilanmu mendidikku. Tak perlu menelepon tiap hari. Cukup sekali-sekali — Mama hanya mau tahu kabarmu akhir-akhir ini.
“Rasanya kangen waktu kamu masih kuliah dulu. Sesekali pasti cerita soal kampus, soal teman atau pacarmu. Mama tetap senang, bahkan walau kamu telepon untuk minta uang.”
Ah, bukannya aku tak punya apa-apa untuk dibagi bersamamu. Ada banyak sekali cerita yang selama ini kusimpan saja, menunggu saat paling tempat untuk menyampaikannya. Namun kadang aku tak tahu ingin mulai dari mana. Dan semakin ke sini, semakin rumit saja masalah yang kutemui. Padamu, kadang aku tak tega berbagi.
Tapi aku mengangguk saja, terlalu merasa bersalah untuk berkata apa-apa. Memang sudah beberapa hari terakhir ini aku tak muncul di layar ponselmu untuk menyapa. Menelepon keluarga, yang dulu selalu masuk agenda, kini jadi detil kecil yang gampang terlupa. Ah, aku ini anak macam apa?
“Ya sudah, Mama cuma mau tahu kabarmu aja kok. Udah makan ‘kan?”
“Udah,” jawabku, masih penuh rasa bersalah.
Kau tak akan bisa ada selamanya untukku, aku tahu. Dan selagi kau masih ada, kau ingin benar-benar memastikan aku terjaga.
“Sabtu malam besok aku telepon, ya Ma. Aku punya banyak cerita.”
Kadang aku lupa punya ibu sehebat dirimu. Mulai hari ini, aku berjanji, akan menjadi pemilik memori terbaik yang pernah kau tahu.