Tentang perpisahan yang masih menyisakan cinta dan rasa hormat pada mantan pasangan. Memberimu sudut pandang baru tentang bagaimana berdamai dengan rasa sedih dan perih yang tidak terhindarkan. Perpisahan tidak harus selalu dihadapi dengan pahit, bukan?
Tulisan dari seorang gadis untuk persinggahan yang telah mengajarkannya banyak hal.
Hey, apakah kamu masih sering mengeluarkan keringat berlebihan?
Kadang aku heran pada tubuhmu yang seakan punya kelenjar keringat diatas normal. Pakai celana saja bisa membuatmu basah kuyup kepanasan.
Bedanya, kini tidak ada lagi aku yang bisa menyusut titik-titik keringat dibawah hidungmu. Atau dengan takzim menyapu punggungmu dengan tisu. Kita sudah sepakat memecah ke-kita-an jadi sepasang aku. Kamu, tak lagi jadi orbit utama hidupku.
Sesungguhnya aku bingung, apa yang harus ditulis dalam bait awal sebuah tulisan pengakhir hubungan? Kebaikan dan kejelekanmu bergantian saling berkelebat. Terkadang aku ingin mengumpat, tapi sisa cinta datang seperti sumbat.
Kamu pasti tahu, betapa bodohnya aku menghadapi perpisahan. Betapa lambatnya otak ini mencerna usai yang niscaya. Saat jatuh cinta padamu dulu, aku menulis banyak-banyak. Mungkin sebanyak itu juga kini aku perlu menulis untuk bisa melupakanmu.
Bersamamu masuk kategori hari-hari terindah dalam eksistensiku sebagai wanita. Bersama kamu aku sadar, ada sisi dalam diri ini yang bisa mencintai orang sedalam itu. Benteng tinggi luruh, terganti kasih yang utuh.
Mencintaimu membuka mata, bahwa pada akhirnya aku ini tetap wanita. Yang cukup bahagia menyapu dan memasak. Berpuas diri saat kamu lahap menyantap makanan yang kusiapkan. Rela bila kelak kamu memintaku di rumah saja dan tak bekerja.
Orang bilang aku hanya tak bisa lepas, bukannya mencintaimu. Tapi aku kira hanya cinta yang mampu mengajari dan menyakiti orang setega itu.
Ada pepatah lama yang harus kita amini. Terdengar menggelikan, tapi ia adalah sebenar-benar kenyataan. Cinta tidak pernah salah. Yang salah adalah cara kita mencintai. Sudah tahu tidak bisa bersama, tapi masih keras kepala.
Sudah tahu terlalu berbeda. Mulai dari cara berdoa hingga ke frekuensi cita-cita. Kau dan aku masih saja gigih saling jatuh cinta. Perpisahan dua insan ngotot ini memang tak bisa dihindari. Ia justru jadi pengingat, kita akan lebih leluasa mengejar mimpi jika berjalan sendiri-sendiri.
Hidup bukanlah perjalanan hura-hura; berbahagia di masa muda- menua – bekerja- lalu mati.
Paling tidak hidupku tidak kuharap tergambar seperti itu.
Kamu, yang bahunya sempat jadi tempat favorit untuk melepas kepenatan.
Yang muka lelapnya sanggup kupandangi semalaman:Â inilah jawaban atas harapan yang selama ini diam-diam terus kita panjatkan.Â
Saat berpisah pelan-pelan membuat kita makin sulit melepaskan, Dia menghancurkan rumah rapuh kita dalam satu hentakan tangan. Tak ada lagi ruang untuk merajuk, tak ada lagi kesempatan mencuri waktu agar bisa saling peluk. Kali ini, tak akan ada lagi kata rujuk.
Sakitkah aku? Jika mendadak menangis ditengah rutinitas kerja adalah definisi kesakitan, maka hingga kini aku masih jadi pesakitan yang rapuh.
Tapi Sayang, perpisahan ini juga tak ayal membebaskan. Tak ada lagi batas absurd yang membuatmu sering disalahkan, tak ada lagi air mata yang muncul dari kecemburuan yang tak berhak diungkapkan.
Kini, kau bisa mencintai yang lain dengan sepenuh hati. Aku pun jadi lebih tahu diri, tidak layak lagi menampakkan gelagat sakit hati.
Kau dan aku sama-sama pantas mendapatkan perjalanan baru yang minim emosi. Tanpa tangis dan egoisme. Tanpa tindakan dan kata-kata yang mengecewakan hati. Kita berhak menemukan dia, yang dengan hangat menyambut di ujung hari. Seseorang yang akan mampu menyembuhkan luka dan babak belur hati ini.
Akan ada masa kita meremang karena sepi. Berharap ada tangan yang mengusap punggung, ringan memanjakan tanpa perlu harus diberitahu lagi. Rindu memang tak bisa dihindari. Tapi akan culas rasanya kalau harus mengebiri hak anak-anak kita yang akan lahir nanti.
Dewasa, barangkali menuntut keikhlasan untuk menyadari bahwa masing-masing dari kita hanyalah persinggahan sementara.
Kelak, akan ada orang lain yang benar-benar menggenapkan. Senikmat apapun tempat persinggahan, kau dan aku tetap harus melanjutkan perjalanan.
Terima kasih sudah memperkenalkanku pada musik-musik aneh yang nama band-nya baru sekali kudengar seumur hidup. Terima kasih sudah ceriwis bercerita tentang DotA. Membuka mataku pada sehatnya gaya hidup vegan. Kamulah yang memberiku pengetahuan soal tato dan gaya berpakaian.
Terima kasih, sudah pernah datang.
For the good and the bad, for the love and all the stabs, for the kindness and brutality — you partly made me who I am right now. And for that I am thankful.
Medan perjuangan kita sudah tidak lagi di satu segitiga sama sisi. Kini hanya doaku yang kuharap tetap menjangkaumu saban hari.
Selamat tinggal.
Selamat jalan.
Kalau kelak kau hendak keras kepala dan jatuh cinta dengan bodoh lagi, ingatlah aku. Persinggahan yang tak berhenti mendoakanmu.
Sampai kelak kita bertemu lagi,
Persinggahanmu