Pernah saya berada di satu masa, di mana kenyamanan dalam hubungan sudah melebihi kebutuhan akan status atau sekadar pengakuan. Tapi seperti halnya kebahagiaan, kenyamanan itu tak pernah bertahan lama. Sementara perasaan hancur setelahnya, sama seperti kesedihan yang bergerak dalam senyap. Ditinggal pas lagi sayang-sayangnya mungkin frasa kekinian yang cukup mewakili, tapi, andai orang tahu dampaknya tak sesederhana itu.
Lantas saya temukan istilah “ghosting” di internet. Yaitu tindakan memutuskan hubungan, atau menghilang begitu saja tanpa penjelasan apa pun. Dengan sangat berat hati, saya akui bahwa saya adalah salah satu korbannya. Patah hatikah saya? Jelas. Tapi dampak itu pun terkesan terlalu disederhanakan. Seolah yang terjadi selanjutnya sebatas saya menggalau di media sosial beberapa hari, lantas move on di hari selanjutnya. Tidak sesederhana itu. Sebab yang saya alami lebih dari itu.
ADVERTISEMENTS
Merasa tidak berdaya dan tak berharga sebagai manusia yang layak diperlakukan dengan kejelasan
Mungkin kamu yang membaca ini sedikit merasa aneh, bagaimana mungkin saya mengharap sebuah kepastian, sementara hubungan yang dibangun saja tanpa kejelasan? Lagipula, seperti kata Seno Gumira Ajidarma, “…apa yang pasti dari perasaan manusia, ia berubah-ubah”. Itu benar. Tapi, dalam konteks “hubungan tanpa kejelasan” yang saya jalani itu, ada komitmen yang secara tidak langsung telah mengikat.
Kesepakatan menjadi kata ganti untuk status dalam kasus ini. Sedangkan ketika ia menghilang tanpa alasan, bahkan tanpa sepatah kata perpisahan. Bukankah itu sedikit kurang adil untuk ditanggungkan? Apakah dia yang tak punya keberanian untuk berterus terang, atau saya yang tak layak untuk bahkan untuk diberi penjelasan?
ADVERTISEMENTS
Ditinggal lagi sayang-sayangnya mungkin terdengar seperti guyonan anak milenial. Namun, efeknya bisa sangat menghancurkan untuk saya yang memiliki kepercayaan diri rendah
Ada banyak cara untuk meningkatkan rasa percaya diri. Namun hanya butuh ditinggalkan tanpa perpisahan untuk menghancurkan percaya diri yang sudah susah payah saya bangun ini. Saya ingat, bahwa perlu usaha ekstra bagi saya untuk berani menjalin hubungan dengan lawan jenis. Mulai dari mempelajari kecocokan zodiak dengan calon gebetan, mengukur posisi bulan di saat mengutarakan perasaan, hingga melahap buku ‘The Art of Loving’ Erich Fromm semalaman.
Lantas dia datang, membuai saya dalam kenyamanan. Kepercayaan diri saya meningkat drastis dan saya merasa layak untuk dicintai. Tapi apa yang terjadi setelah dia pergi? Trauma datang dan rasa kepercayaan diri itu menghilang. Bak wahana Hysteria di Dufan, saya diangkat tinggi-tinggi hanya untuk dibanting ke bawah tiba-tiba. Seperti itulah rasa percaya diri saya sirna.
ADVERTISEMENTS
Saya tak pernah menyalahkan dia dengan keputusannya, tapi pertanyaan demi pertanyaan tanpa jawab selalu datang meneror diri
Berkali-kali saya berusaha berdamai dengan kenyataan. Barangkali dia menghilang dengan berbagai pertimbangan. Barangkali, kepergiannya memang untuk kebaikan kami berdua. Tapi itu ternyata itu semua artifisial saja. Jauh di dalam benak, saya masih sering bertanya “Mengapa ia pergi? Kesalahan apa yang sudah saya lakukan? Apakah saya sebegitu tak berharganya bahkan untuk sekadar kalimat perpisahan?”
Namun di saat yang bersamaan, saya juga tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu sebab dia yang telah hilang lah yang memegang jawabnya. Ambiguitas yang sangat pelik ini pada akhirnya mengharuskan saya menyalahkan diri sendiri. Mungkin benar apa yang ditulis tirto.id, Jennice Vilhauer dalam tulisannya di Psychology Today mengatakan bahwa, orang yang diputuskan dengan cara “ghosting” akan mengalami perasaan batin lebih dari sekadar stres, merasa kesepian, depresi dan marah yang tak berkesudahan.
ADVERTISEMENTS
Tidak segampang merelakan daun yang ditiup angin, proses melupakan dia lebih sulit daripada sekadar memaafkan
Saya sudah memaafkan, jika apa yang ia lakukan kepada saya lewat “ghosting”, masih mengutip dari tirto.id, bisa disebut sebagai kekejaman emosional. Memaafkan selalu bisa melegakan hati. Tapi, saya tidak bisa melupakannya segampang dahan yang melepas daun dari ranting, lalu merelakan untuk menumbuhkan yang baru.
Hal ini terjadi karena selalu ada pertanyaan-pertanyaan yang tak akan pernah menemukan jawabnya. Selain itu, ada semacam ketakutan serta trauma akan hal serupa, yang bisa terjadi kapan saja di hubungan-hubungan yang saya jalani selanjutnya. Barangkali jika saja kehancuran yang sama mesti saya alami lagi, sepertinya tubuh ini hanya akan tinggal serpihan tak berguna.
ADVERTISEMENTS
Sejauh kehilangannya, saya cukup baik-baik saja. Namun di dalam sini, ada luka yang selalu menganga
Berbahagia sepertinya sudah lama bisa saya pisahkan dari kondisi pedalaman hati. Setidaknya itu yang saya lakukan. Betul kata Alm. Cak Rusdi Mathari, bahwasanya, “Laki-laki memang tidak menangis tetapi hatinya berdarah, Dik!” Kadang apa yang tak terlihat bukan berarti tak dirasakan, bisa jadi karena tidak terbahasakan.
Lebih jauh, saya meyakini bahwasanya ada darah, lebam dan luka menganga di dalam sini. Menyelesaikan paragraf penutup tulisan ini saja, adalah merasakan lagi perih luka yang tak akan pernah sembuh seutuhnya.