Nampaknya kita punya definisi berbeda dalam mengartikan cinta. Buatku, cinta berarti komitmen dan kesetiaan. Sementara bagimu, cinta tak lebih dari ucapan yang bisa dikeluarkan tanpa memerlukan pembuktian.
Jika memang kamu peduli, diamku selama ini pasti mudah kau sadari.
Ketika kamu dengan mudahnya menggeser perhatian dariku ke teman perempuanmu. Ketika kau dengan genit flirting di media sosial — yang jelas-jelas bisa dengan mudah kutahu. Juga soal kebiasaanmu menatap layar ponsel ketika kita bersama, sementara justru tak terjangkau saat aku membutuhkanmu.
Aku bukan orang yang mudah membagi perasaan hati. Sakit kupilih kusimpan tanpa repot berbagi. Tapi dalam diamku, ada doa yang kusimpan sendiri. Semoga suatu hari nanti — kamu bisa mengerti
ADVERTISEMENTS
Terbuat dari batukah hatimu? Tak sadarkah kau akan diamku yang sebenarnya jadi tameng pilu?
Di matamu bisa saja aku tampak seperti manusia penyabar yang tak pernah mengekspresikan emosi. Memang, selama ini sakit kupilih kusimpan sendiri. Tapi bukan berarti indraku tumpul dalam mengamati. Dalam diam, sesungguhnya segala tingkah lakumu tak pernah lepas dari ujung mata ini.
Kadang aku bertanya, tak sadarkah dirimu bahwa ada luka di hati orang yang selama ini mendampingi? Tak bergetarkah perasaanmu waktu aku memilih menyimpan perih dengan memasang muka pura-pura mengerti?
Dalam diam, kau berusaha kupahami. Entah aku yang terlalu bodoh atau memang kau sudah tak punya hati. Tindakan serupa yang mengiris hati terulang tak cuma sekali.
Tapi malas rasanya mengungkit kesalahan dan mengumbar emosi. Membagi keluh pada khalayak bukanlah sifatku. Rasanya itu sama sekali tak perlu. Diam, selama ini sukses jadi tameng pilu.
ADVERTISEMENTS
Soal meluluhkan hati kau memang ahlinya. Di sisimu, aku terombang-ambing dalam biduk yang berisi sedih dan bahagia
Soal memenangkan hati kau memang ahlinya. Kata-katamu yang manis membuat keraguanku hilang seketika. Dengan mudahnya aku hanyut pada rayuanmu, mempercayai janji-janji yang kau berikan padaku. Perasaan yang mulai meragu selalu kembali luluh ketika kamu mulai berseloroh. Senyum kembali mengembang. Perasaan naif kembali datang, menerbangkanku, membuat aku lupa dengan kedongkolanku.
Kamu memang pandai merebut perhatianku, tapi apa kelihaianmu itu hanya kau praktekkan padaku?
Di sisimu senyum dan kesakitan rutin datang bergantian. Dalam sekejap kau bisa membuatku tersenyum, tapi tak butuh waktu yang lama juga kau membuatku kembali terdiam. Kembali hanyut dalam kesakitan. Kembali mengelus dada karena perilakumu yang menyakitkan.
ADVERTISEMENTS
Sebenarnya mudah saja untuk meradang demi memaksamu berubah. Tapi bukankah kesadaran yang dipaksakan tak mungkin indah?
“Kalau memang kamu tak suka, bilang saja padaku. Bagaimana aku bisa tahu kalau perasaanmu hanya disimpan begitu?”
Kau selalu berpendapat, kalau ada yang membuatku resah nyatakan saja. Tanpa aku menyatakan kau tak akan pernah tahu, katamu.
Aku tahu tidak adil menyalahkanmu ketika aku tak menunjukkan sikapku. Aku bisa saja meradang, memintamu tidak lagi melakukan kebiasaan yang menganggu perasaanku. Tapi yang kuingin bukan hubungan macam itu.
Aku tak ingin memaksamu berubah, hanya demi menjaga hatiku agar tak pindah. Tak tepat rasanya jika membuat hubungan kita jadi kerangkeng yang lama-lama hanya membuat lelah. Jika pun kau berubah, kuingin itu hanya karena hatimu tergugah. Bukan sebab aku yang ingin kau mengubah arah langkah.
ADVERTISEMENTS
Sudah lelah rasanya kepalaku dipenuhi berbagai pertanyaan. Kali ini aku hanya ingin diam sembari meluruskan perasaan
Kuakui aku memang terlalu gengsi untuk mengatakan padamu bahwa aku cemburu. Bahwa aku tak suka dengan sikapmu yang liat. Bahwa bukan hanya aku yang menjadi perhatianmu. Bahwa bukan aku satu-satunya perempuan yang tersenyum karena buaianmu. Dengan diamku, aku tak ingin menunjukkan kekecewaanku padamu.
Tak pernah kah kau sadar? Yang kau perbuat membuatku tak pernah cukup percaya diri pada diriku. Aku sering mengira apa kau terlalu malu mengakuiku sebagai kekasihmu? Apa kau tak pernah merasa keberadaanku di sisimu? Atau mungkin aku memang tak cukup membuatmu bangga?
ADVERTISEMENTS
Doaku sebenarnya sederhana. Kamu bisa mengerti cara menjaga perasaanku, itu sudah cukup melegakan dada
Semua perempuan, tentu ingin memiliki cinta yang hanya diberikan untuknya. Tak ada perempuan yang tak senang diperlakukan sebagai satu-satunya permaisuri di hati lelakinya. Begitu pula denganku. Permintaanku cukup sederhana. Aku tak perlu menjadi Roro Jonggrang yang memberimu syarat yang tak cukup kau penuhi dalam sekejap. Aku juga tak menuntutmu menjadi manusia yang berbeda. Permintaanku cukup sederhana. Aku hanya ingin kau bisa belajar untuk menjaga perasaanku. Membuatku selalu merasa tenang dan nyaman menjadi kekasihmu.
Dengan diam, aku berharap kamu dapat mendengar rintihan hatiku. Aku yang masih percaya kamu mampu mengerti apa yang kurasa dan mencoba berubah. Dalam diamku, kuyakin cinta akan menemukan jalannya.
ADVERTISEMENTS
Dalam diam, aku selalu berdoa semoga tiba saatnya kau jadi lebih dewasa dan bisa membuatku terasa lebih berharga
Kata berpisah tak pernah terlintas sedikitpun dalam kepala. Meski kerap kali aku merasa terluka, aku tak pernah ingin berpisah. Di luar sikapmu yang serampangan, kamu lelaki terbaik yang rela menemani dan mengisi hari-hariku. Bersamamu, aku menemukan dunia yang kucari. Kesakitan ini hanya akan kusimpan dalam diam tanpa perlu mengungkapnya padamu atau siapapun. Biar ini menjadi cerita bagi diriku sendiri.
Kekasihku, dalam diam, aku bersujud. Kuuraikan semua piluku dalam keheningan bersama-Nya. Aku optimis ini hanyalah gejolak mudamu yang masih belum terlalu paham atas menjaga hati. Aku yakin suatu saat kedewasaan akan membawamu sadar. Aku terus berharap ada saatnya kamu membuat diriku merasa lebih berharga. Kelak, kau bisa memperlakukanku seperti ratumu dan membuatku merasa menjadi perempuan paling bahagia di dunia. Dalam diam, aku akan terus berdoa.