Rumah: tempatku tumbuh mengenal kedewasaan, kehangatan di tengah kepenatan yang kerap datang
Tempatku menemukan rasa nyaman, yang tak pernah lelah memanggil-manggilku pulang.
Namun jangan salah. Rumahku tak hanya satu, tak hanya bangunan dengan lantai dan atap milik ayah dan ibuku. Setelah bertahun-tahun, aku telah menemukan rumah baru — tepat di jantung hatimu.
Ia indah dan selalu tabah. Ia gagah, siap dan sigap melindungiku.
Maukah kau percaya itu?
ADVERTISEMENTS
Kita saling mencari di antara kerumunan manusia lainnya. Tanpa peringatan, kita bersua.
Pertemuan kita empat tahun silam memang tak pernah diduga sebelumnya. Kita yang selalu menghabiskan waktu menimba ilmu di gedung yang sama tidak pernah tahu bahwa nantinya Sang Pencipta akan meramu aku dan kamu menjadi kita. Aku dan kamu adalah mahasiswa beda jurusan yang selalu berjumpa di gedung yang sama, dari pagi hingga senja.
Kesibukan akan tugas kuliah membuat kita berjibaku, hingga kita tak menyadari kehadiran masing-masing karena terlalu sibuk berkutat dengan buku. Sampai suatu ketika, kamu si penggila kopi dan aku si penggemar teh dipertemukan dalam kantin kampus yang sempit dan sederhana. Ya, kita berkenalan dengan bantuan seorang teman lama.
Pertemuan kita biasa saja, saat itu bahkan aku masih belum bisa membuka hati dari jeratan mantan lama. Namun kemudian degup jantung yang selalu tak beraturan iramanya tiap ada kehadiranmu selalu membuatku jengah dan mukaku memerah. Tahu ‘kah kamu? Debar jantung yang kurasa kian lama seperti candu. Tidak melihatmu sehari saja membuat hati ini terasa ngilu. Mata ini juga enggan menyerah mencari kehadiranmu di antara kerumunan manusia. Seperti biasa, kehadiran sosokmu di kejauhan sanggup membuat hatiku kembali tenang dan kemudian meremang.
Aku selalu bertanya-tanya dalam hati, bagaimana bisa aku tak menyadari kehadiranmu sebelumnya? Tubuh tinggi menjulang, rambut kepanjangan bagi seorang pria dengan balutan topi merah, bukankah nampak menyolok mata di antara lautan mahasiswa lainnya?
Ya, hatiku juga masih belum mendeteksi, bahwa nantinya kamu akan menjadi rumah mungilku untuk pulang.
ADVERTISEMENTS
Kita pun “naik strata”, sama-sama mabuk asmara dan ingin selalu menghabiskan waktu bersama tiap harinya
Di tengah kesibukan yang mendera, kita selalu menyempatkan diri untuk bersua. Sekaligus sebagai pengisi energi untuk menghadapi sisa hari. Kelakarmu selalu setia mengisi hariku, begitu pun kamu yang tak bosan mendengar tawaku. Kehangatan selalu mengisi hari-hari kita selanjutnya, kita tak lagi malu-malu untuk menunjukkan rasa suka. Ya, aku dan kamu kini telah berganti nama menjadi kita.
Aku ingat senja itu, kita menghabiskan waktu bercengkerama di warung tenda sekaligus mengisi perut yang sudah sangat ribut. Di tempat sederhana itu kita berbagi cita dan asa. Aku tak putus-putusnya selalu mengamini cita-citamu dalam hati. Alis tebalmu juga selalu berkerut tanda bahwa kamu sedang menyimak ceritaku dengan serius. Membuat rautmu terlihat lucu, sekaligus membuatku ingin mencumbumu.
Ah, namun kita tidak bercumbu di tempat itu. Ya, kita memang bukan tipe pasangan yang hobi mengumbar kemesraan. Hobi bergandengan dan berbagi kecupan di jalanan bukanlah suatu kegemaran. Kita menyesapi kemesraan kita sendirian, saat kita sedang menghabiskan waktu hanya berduaan.
Malam itu, saat kau mengantarku pulang merupakan pertama kalinya kita berbagi kecupan. Kecupan kilat yang kau layangkan di bibirku membuat jantung ini hampir keluar dari tempatnya. Diiringi dengan kembang api yang letusannya terasa hingar bingar di dalam dada. Mungkin kamu juga sama, memiliki kembang api yang baru saja meletus di dalam dada. Karena kamu nampak diam dan salah tingkah.
Setelah mengucapkan selamat malam, kamu bahkan tetap tak beranjak, menungguku masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu rapat-rapat. Memastikan aku aman dan nyaman di dalam. Hal itu kemudian menjadi kebiasaanmu saat mengantarkanku pulang di kencan kita yang selanjutnya.
Saat itu aku menyadari, bahwa kamu memang rumahku. Kamu yang bisa membuatku merasa aman, nyaman, dan hatimu adalah tempatku berbagi kecupan sekaligus bernaung, tujuanku pulang.
ADVERTISEMENTS
Walau tentu kita pernah sama-sama muda dan bodoh. Bertengkar, mendendam, saling menyalahkan dan mempertanyakan konsep jodoh.
Kita hanyalah manusia biasa. Rasa penat pun kadang datang bersua di dalam hati yang tak dapat diterka. Ya, kebersamaan kita setiap waktu menimbulkan bumerang bagi jalinan cinta kita. Penat terkadang hadir, menunjukkan tajinya dan membuat lubang di jalinan cinta kita yang sudah terjalin amat sempurna.
Sekali dua kali kita pernah tak bersua bahkan kita pernah berpisah karena dipicu oleh masalah yang terkadang kurang jelas asal muasalnya. Kita pernah mengucapkan kata putus beberapa kali. Yang belum kita sadari, kita adalah magnet dengan kubu yang berbeda, membuat daya tarik menariknya amatlah kuat untuk kembali bersama.
Kita saling membutuhkan dan tak bisa berjeda bahkan berpisah dalam jangka waktu yang lama. Beberapa kali kita berpisah, beberapa kali juga kita menyambung kembali ikatan yang ada, bahkan jalinan kita kian erat.
Ya, kamu adalah rumahku. Beribu alasan selalu ada untuk membuatku pulang dan kembali meringkuk di hatimu yang nyaman.
ADVERTISEMENTS
Tiap hari kuharap Tuhan mendengar doaku: semoga aku diizinkan menghabiskan ujung hidup di hatimu. Maukah kau percaya itu?
Ya, doaku yang kurapalkan tiap malam tak pernah berbeda. Aku selalu berdoa semoga hubungan kita tetap terjalin hingga tua nanti. Walaupun diselingi dengan rasa penat yang kadang hadir, namun tak bisa kupingkiri, kau adalah rumahku. Tempatku bernaung dan tempat berbagi segala beban dan rasa.
Ya, semoga aku akan menua di rumah yang sama, di hatimu.
Dan semoga kau percaya apa yang aku kata.