Patah di Pandemi/ Illustration by Hipwee via hipwee.com
“Jauh darimu tidak pernah biasa saja. Aku tidak ingin terbiasa dengan ini. Aku lelah jika harus terus berusaha menjadi pasangan yang bisa menikmati betapa jauhnya kamu. Andai kamu mau mengerti, Debby. Andai kamu mau mengerti aku.” Kataku via teks WhatsApp. Ku kirim itu, setelah tiga panggilanku tidak dia jawab.
Sebab hal-hal kayak begitu, aku jadi sedikit berpikiran negatif. Sepertinya tidak sedikit. Tidak mau berpikiran begitu, tetapi pikiran itu muncul begitu saja seperti memang takdirnya. Atau memang sudah sewajarnya pikiran itu, mengingat hubungan ini dijalani dua orang tapi seperti hanya satu saja yang rindu. Yang satunya lagi sibuk atau selingkuh. Entahlah.
Aku tahu apa itu rindu, tetapi aku ingin rindu itu terucap darinya. Aku tahu apa itu cinta, tetapi aku ingin mendengarnya dengan suara yang lemah lembut, bukan dalam kehambaran. Punya pacar seperti tidak punya pacar, itu yang ku rasakan belakangan ini, selain takut sekali kehilangan. Takut kalau ternyata dia diam-diam sudah merencanakan pencarian untuk mengganti aku, dengan yang sekota. Sekantor, mungkin? Tetangga depan rumah? Entahlah, aku bingung. Jangan-jangan memang tidak ada yang benar-benar menenangkan di dalam hubungan jarak jauh? Apa terlalu muluk-muluk?
Jam 9 malam masih bekerja, tetapi jam 10-an ku telepon, bilangnya letih, butuh istirahat. Sementara dari pagi, selalu bersikap seperti tidak boleh diganggu. Ada memang dia balas chat, tetapi responsnya lambat. Sudah begitu, singkat-singkat. Bagaimana?
Di 4 tahun yang banyak jatuh bangun, 2 tahunnya kami jalani dengan LDR. Hal- hal yang ku keluhkan, rasanya terasa di 6 bulan terakhir ini. Entahlah. Aku bukan benci LDR. Yang aku benci itu LD-nya saja. Long distance. LONG DISTANCE!!!!
Ya. Jauh dari Debby memang tidak pernah biasa saja. Bagi aku yang bekerja sebagai seorang penyidik, LDR itu deritanya berlipat ganda. Hari-hariku diwarnai dengan mereka; pengedar sabu, bandar ekstasi, dan berbagai cerita menerenyuhkan tentang mengapa seseorang berbuat kriminal. Sering aku berhadapan dengan orang yang berbohong dan aku tahu ketika mereka berbohong. Hari-hariku memang tidak selega yang dibayangkan, tapi menurutku aku tahu bagaimana membagi waktu; kapan untuk bekerja dan kapan untuk bermesraan. Pasti ada cara untuk tetap bermesraan di tengah jarak yang terbentang.
Aku pernah membicarakan tentang surat menyurat. Satu bulan satu kali kita saling mengirim surat ke tempat masing-masing. Benar-benar yang ditulis di kertas, dimasukkan ke amplop, diselipkan kado yang tidak harus mahal asal kreatif, tetapi sudah 3 bulan tidak ada surat darinya. Iya sih, katanya dia sempat positif COVID-19 tapi…. Ah, aku tidak tahulah! Mungkin ini hanya pikiranku saja atau memang dia yang “ada apa-apa”?
Berbagai hal yang tadinya hangat kini menjadi dingin. Debby yang dingin. Debby yang beku. Debby yang tidak lagi sayang aku? Ah, aku tidak tahan membayangkan itu. Semenjak pandemi, LDR terasa lebih berat lagi. Tidak semudah itu sekarang untuk berangkat dengan pesawat. Tidak bisa sesuka hati juga bahkan untuk sekadar ke luar rumah. Aku seperti terkunci di sini. Pandemi membuat jarak di antara Bekasi dan Bangka bagaikan neraka. Ada api ketakutan yang menyala-nyala, membakar berbagai hal yang sebelumnya ku harapkan.
Semakin hari, semakin ada saja yang membuat curiga atau cemburu. Sampai-sampai aku bisa track dia, retas media sosialnya, dan iya… Ini perbuatan yang salah, aku tahu. Aku ditegur atasan karena itu. Aku akui, aku sampai se-freak itu. Aku tidak tenang kalau segala yang aku curigai ini tidak terbukti. Cuma, semakin aku ingin tahu, semakin aku tidak menemukan apa-apa selain lebih curiga lagi. Tidak ada yang benar-benar sama dengan yang aku takutkan. Tidak ada yang begitu persis dengan yang ku duga-duga. Namun, aku masih yakin pasti ada sesuatu. Pasti ada sesuatu.
Kini, sudah seharian lebih Debby tidak ada kabar. Aku sudah menghujaninya dengan chat demi chat, panggilan demi panggilan, dan aku tidak tahu pasti apa yang benar-benar terjadi. Bukankah ini menyiksa? Salah seorang rekan kerja memberi masukan, katanya, “lupakan saja.” Ku katakan, akulah yang terlupakan. Ku coba curhat ke sahabatku yang tinggal di Jakarta, dia malah bilang bahwa pacarnya lebih parah daripada Debby.
“Apakah semua orang sedang stres karena pandemi ini?” Tanyaku.
“Tapi tidak semua orang sedang LDR.” Ku jawab sendiri.
Ting….
Bunyi itu memecah perlamunan orang yang kurang tidur. Akhirnya Debby membalas pesanku yang bertubi-tubi.
“Kenapa bukan kamu yang mengerti aku, Usman? Kan sudah dibilang tidak ada apa-apa.”
“Kalau tidak ada apa-apa, lalu kenapa komunikasi jadi sesulit ini, Deb? Ini berbeda dari pertama kita memulai semuanya. Sekarang meminta kabarmu saja jadi seperti tidak wajar bagiku.”
Aku agak ragu untuk mengirim ini, tetapi rasanya “Tidak ada apa-apa” bukan jawaban yang cukup menjelaskan keadaan, tentang kenapa sikapnya berubah sejauh ini.
Butuh waktu 17 menit sebelum akhirnya Debby membalas lagi.
“Ya, kan, kamu tahu aku kerja.” Jawaban yang singkat tapi tidak menjelaskan apa-apa.
Aku tahu dia kerja, toh dari lama juga dia sudah kerja, tapi semuanya lancar-lancar saja. Chat yang mengasyikkan, telepon yang rutin, beberapa video call tanpa mengganggu pekerjaan. Sebenarnya yang jadi pertanyaanku adalah, kenapa semua itu tidak bisa lagi? Ah, tetapi dibalasnya saja sudah lebih baik. Aku tidak ingin memperkeruh keadaaan. Rasanya menghindari pertengkaran di saat komunikasi sudah mulai kurang lancar merupakan keputusan yang benar.
“Jadi, gimana kerjaanmu hari ini?” Aku mencoba membuat suasana chat nyaman.
“Gitu aja, capek.” Lagi-lagi bukan jawaban yang diharapkan yang ia berikan.
Aku sebenarnya ingin dia bercerita tentang harinya, tentang apa saja yang membuatnya tersenyum, tentang apa saja yang menyebalkan, dan sebagainya. Selayaknya sepasang kekasih saling bercerita. Sebab dari jarak yang jauh aku cuma bisa menebak-nebak tentang keadaannya.
“Utututu, kasihan sampe kecapekan gitu. Sebenarnya aku ingin telepon, aku capek juga di sini. Biasanya dengar suaramu aku jadi semangat lagi, hehe.”
“Besok lagi aja, ya. Sekarang gimana kalo kita tidur?”
Lagi-lagi. Lagi-lagi. Lagi-lagi! Semrawut pikiran sendiri, perasaan seperti ingin berontak di tiap kali menerima jawaban seadanya. Kok, aku seperti bukan pacarnya?
“Andai kamu tahu, Deb. Kamu yang seperti ini lebih bikin capek, tapi aku perlu berhenti egois. Kamu pasti butuh istirahat, kan? Kalo begitu selamat istirahat, ya. Besok ku hubungi lagi. Good night!”
“Good night, Usman.”
Overthinking/ Illustration by Hipwee
Sesederhana ini memang bahan overthinking. Sepertinya ini malam yang sama saja, susah tidur untuk kesekian kalinya. Lalu keesokan paginya, satu hari bertambah lagi tanpa semangat pagi dari Debby. Padahal, biasanya kalau dia bangun lebih dulu, dia tanpa pamrih mengirimiku pesan. Meneleponku. Ah, betapa aku rindu dimarahinya karena terlambat atau seringnya karena enggan sarapan. Sekarang? Kosong. Tak ada pesan dari Debby. Tak ada panggilan satu pun darinya. Yang ada hanya laporan, tugas yang perlu diselesaikan, sosok yang perlu diselidiki.
“Pagi, Sayang. Semangat, ya, untuk hari ini!”
“Jangan kecapekan, kerjanya santai aja, ya. Pelan-pelan, hehe.” Aku mengiriminya pesan lagi.
Tentu saja tidak ada balasan, “Pagi juga, Sayang,” atau “Semangat, ya, Usman. Have a good day!”
Mandi. Bersiap sendiri. Buka laptop. Kerja dengan perasaan yang kosong. Waktu sudah siang lagi. Debby masih tak ada. Kemudian sore. Pekerjaan selesai, kecuali rindu yang belum. Sekarang jam 20.34, pacar masih menghilang.
“Tuuuuuut… tuuuuut… tuuuuuut,” tidak ada jawaban.
Pasrah saja, lah. Keluhku.
Tingg…
Berbunyi juga akhirnya. Dengan gegas aku ambil HP, dan kubuka chat dari Debby. Namun, kali ini agak panjang. Tanpa diduga isinya menghentak. Sesuatu di dadaku seperti terbakar. Rasanya seperti familiar, ku rasakan seperti mimpiku beberapa waktu yang lalu.
“Usman, maaf baru balas, ya. Sepertinya aku harus mengatakannya lagi ke kamu. Bahwa kita sudah putus sejak 6 bulan lalu. Aku tidak bisa terus-terusan bertanggung jawab atas apa yang terjadi padamu. Aku sudah punya pacar dan sudah merencanakan akan tunangan. Kumohon, ya. Pergilah ke psikolog lagi atau ke psikiater, kamu butuh itu. Sekarang, aku harus block kamu. Sekali lagi maaf, dan selamat tinggal.”