Kamu punya kualitas yang tak biasa. Di sampingmu aku berhenti menghitung apa yang sudah kuberikan, serta apa yang telah kau persembakan sebagai balasan. Kalkulasi macam itu sudah lawas sekali rasanya. Geli, jengah jika hal yang sama masih diterapkan dalam cinta kita.
Barangkali ini rasanya menjalani cinta yang dewasa. Saat bukan lagi keinginanku yang harus dipenuhi setiap waktu. Ketika pemenuhan kebutuhan dan kebaikanmu yang kuletakkan lebih dulu. Bersamamu aku bukan lagi gadis demanding yang suka merengek ini-itu. Kebahagiaan dan rasa cukupmulah yang kini jadi nomor satu. Merasa kurangkah aku? Anehnya, tidak begitu. Sebab kuakui:
Kau masuk kategori hal terbaik yang pernah terjadi di hidupku. Demi itu, bahagiaku selalu rela menunggu.
ADVERTISEMENTS
Kini bahagia bukan lagi soal kencan atau bingkisan. Melainkan saat kau bisa mencapai semua impian, denganku berada di sisi kanan
Berdua sudah kita lewati senja-senja penuh perbincangan soal masa depan. Tentang bagaimana kau ingin menciptakan perpustakaan mini di rumah bergaya minimalis victorian kita. Juga bagaimana kau akan mendidik anak-anak kita menabung sejak dini demi bisa keliling Indonesia saat remaja.
Dalam perbincangan selepas hari yang melelahkan, terucap banyak keinginan yang nampaknya menggelikan jika diucapkan. Tapi bersamamu, semua jadi masuk akal untuk dikejar. Baru kamu yang sepakat bahwa kelak, anak-anak kita perlu dididik untuk membaca karya Murakami, Picoult, dan Pramudya saat belia. Cuma kamu yang tak meninggikan alis mata saat kukeluarkan keinginan mencukupi diri dari menulis lewat rumah saja.
Kebaikanmu mengamini seluruh harapan membuatku tergerak melakukan hal sepadan.
Aku tak lagi ingin jadi gadis yang hanya bisa bermanja dan merepotkan. Aku ingin jadi orang yang mendampingimu lulus gelar Magister. Jadi telinga yang mendengar segala keluhanmu soal perubahan cuaca dan makanan yang tak pernah enak di lidah Asia. Aku mau berada di sisimu saat kita harus sering menahan lapar demi tercukupinya modal Lembaga Bahasa yang sudah diimpikan terbangun sejak lama.
ADVERTISEMENTS
Aku ingin ada di titik terlemah dan terendahmu sebagai pria. Sebab hanya dengan itu, bisa kurasa diriku lengkap sebagai wanita.
Kita sudah bukan lagi remaja yang menjalin rasa hanya untuk menghangatkan hatinya. Saling mendorong dan membahagiakan kini jadi target utama. Bersamamu bukan lagi kehangatan hati yang kucari. Melainkan bagaimana pendampinganku bisa memberi arti.
Jelas kita tak akan langsung mapan sebagai sepasang manusia. Tabungan kita akan tiris sementara, berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan sederhana lainnya beberapa kali harus kita hadapi berdua. Telinga pun harus akrab dengan gumam orang-orang sekeliling yang menyangsikan ketahanan kita. “Sudahlah, kerja di bank saja. Gajinya cukup buat hidup dan cicil KPR.”, tak cuma sekali saran macam itu diungkapkan di muka.
Kau dan aku selalu sepakat untuk berterima kasih atas saran mereka, sembari berusaha tersenyum manis dan berkata bahwa itu bukan jalan kita. Tak masalah susah sementara, asal hasil kerja bukan cuma dimakan berdua. Kau sekolah tinggi-tinggi bukan untuk diri sendiri. Aku menulis sampai dini hari bukan cuma untuk memenuhi rekening pribadi. Kemanfaatan, jadi benang merah dari semua hal yang kita lakoni.
Akan ada malam di mana kau rebah di dadaku, menangis sebab merasa tak bisa memenuhi kewajibanmu. Ada petang saat aku terisak di punggungmu, sebab merasa mimpi hanya memberikan lebam biru. Dalam momen-momen terendah itu, satu yang bisa kupastikan — kau tetap akan memilikiku.
ADVERTISEMENTS
Sementara kau berjuang semampu yang dibisa, gadismu ini akan berjaga. Ketika kau hampir kehabisan tenaga, ketahuilah dalam sujud dan rapalku selalu ada cadangan doa
Selalu ada konsekuensi dalam pilihan yang diambil manusia. Memilihku membuatmu harus ikhlas jadi pendengar plot cerita random yang sering kuceritakan sebelum kita bercinta. Kau pun rela melapangkan hati demi turut mencintai sahabat-sahabatku sejak SMA, mereka yang tak lagi hanya kuanggap kawan — tapi juga saudara.
Bagiku, rela pula kuhadapi konsekuensi yang sama. Akan kusiapkan senyuman ketika harus menghadapi debat sengit denganmu yang kerap merasa argumennya paling benar di dunia. Kusiapkan kesabaran tanpa penilaian berlebihan, waktu kau pulang dengan tangan hampa selepas dihajar kenyataan.
Waktu kau melanglang buana demi mimpi-mimpi di kepala, lengan mungilku akan berjaga. Walau tenagaku tak seberapa, kupastikan kau tak akan jatuh menghantam tanah — sampai tulang rusukmu remuk tak bersisa.
Saat semangat di dada mulai hilang, di titik kau tak lagi percaya bahwa dirimu bisa — akan kusimpuhkan kaki lalu berdoa. Seperti iman yang baik, keyakinan kuat selalu menyisakan tanda tanya. Kali inilah tugasku membangkitkan semangat agar kau kembali percaya.
ADVERTISEMENTS
Bolehkah kuminta kesempatan untuk jadi tanah lapang bagi kembalinya layang-layangmu? Berkenankah dirimu jika mulai saat ini, kebahagiaanmulah yang kutempatkan lebih dulu?
Terbanglah setinggi yang kau mau. Kejarlah segala impian yang membentukmu jadi pejuang, jadi orang yang tak mengenal kata kalah sebelum maju dan berpayah perang. Tak perlu khawatir akan apa yang terjadi di depan — sebab kau miliki orang yang meyakini ketangguhanmu sebagai calon pemenang.
Di waktu bersamaan, akan kuperlambat sementara langkahku. Jangauan kaki yang biasanya sedepa, kuturunkan jadi sehela. Keinginan yang menggebu tak ada habisnya, akan kudinginkan dulu sementara di kepala.
Jika proses mengejar impianmu setara dengan terbangnya layang-layang, kali ini kau sukses membuatku ingin bertransformasi jadi tanah lapang.
Jadi orang yang dengan sabar selalu menunggumu pulang.
Kelak, saat impianmu sudah tergenapi — barulah tiba giliranku untuk berlari. Tentu dengan pendampinganmu di sisi. Tidak, kau sama sekali tidak mmebuatku mengerdilkan mimpi. Hanya saja, di sisimu kini aku lebih tahu diri. Harus ada yang mengatur langkah kaki, sementara pasangan hatinya berjingkat sekuat tenaga menggapai mimpi.
Bahagiakan dirimu, penuhi segala angan yang sudah kau simpan dari dulu.
Buatku kini, bahagiamu selalu lebih dulu. Milikku bisa menunggu.