Sebuah keresahan dilontarkan oleh seorang rekan, di suatu sore saat hujan-hujan. Pertanyaan polos “Kamu masih suka cowok kan?” yang dia sampaikan, sempat membuat saya tercengang. Memang bukan salahnya, sebab hingga lewat seperempat abad, saya belum menunjukkan tanda-tanda ingin serius menjalin hubungan. Pertanyaan “Udah punya calon belum?”, saya dapatkan setiap lebaran. Namun selama itu saya hanya menjawab dengan cengiran.
Ah, perkara pernikahan dan usia memang rumit. Di atas pundak ini ada banyak beban ekspektasi. Sepercik kekhawatiran sang teman membuat saya sadar bahwa masih banyak orang yang menganggap kesendirian sama dengan ketidakbahagiaan. Lalu dengan mudah kesimpulan pun melompat, bahwa saya sengaja mengingkari kodrat. Seolah-olah pilihan untuk sendiri dulu untuk beberapa tahun ini, berarti juga bahwa saya memilih hidup sendiri sampai mati.
ADVERTISEMENTS
Seandainya orang tahu betapa lelahnya menjawab pertanyaan “kapan nikah?” tentu mereka tak akan mengucap dengan mudah
“Kapan nikah? Ditunggu lho undangannya,”
Terlepas saya punya pasangan yang bisa diajak pusing bersama atau setia menjomblo, pertanyaan kapan nikah itu sungguh menjengkelkan. Sekali dua kali mungkin tak terasa, anggap saja itu bentuk perhatian orang-orang. Namun lama kelamaan, mengulang-ulang jawaban yang sama itu membosankan. Sedang saya tahu terkadang orang menanyakan itu hanya sekadar basa-basi, memupus poin “mendingan, daripada nggak nanya apa-apa”.
ADVERTISEMENTS
Diingatkan terus-terusan tentang umur juga membuat resah. Justru dianggap seperti susu formula berkadaluarsa ini yang membuat jengah
“Mau nunggu apa lagi? Umur kamu kan udah 25. Kamu nggak muda selamanya, lho.”
Saya tahu bahwa salah satu berkah menjadi perempuan adalah keberadaan rahim dalam perut. Sebuah tempat sakral yang mengandung kehidupan, yang juga akan menua seiring berjalannya usia. Bila tak cepat, bisa-bisa saya terlambat dan sulit untuk menjadi perempuan seutuhnya. Namun salahkah saya jika berpikir menikah bukan sekadar soal bereproduksi dan melanjutkan keturunan saja?
ADVERTISEMENTS
Usia saya memang bukan lagi remaja. Tapi soal pernikahan bukankah kita tak bisa terpatok pada usia?
“Makin tua itu nggak makin banyak pilihan. Jangan terlalu pilih-pilih lah.”
Sungguh usia kini menjadi bahan kebimbangan. Apalah daya bila angka di usia menjadi standar kedewasaan bagi sebagian orang. Sekarang usia saya 25, jadi sudah sepantasnya saya siap untuk berkeluarga. Ada yang siap di usia 17 tahun, ada yang masih bimbang meski sudah 25 tahun, dan ada yang belum siap sama sekali meski sudah di atas 30 tahun. Mana yang paling tepat? Tentu tak ada, sebab aku percaya pernikahan bukan sesuatu yang bisa distandarkan, seperti usia yang pas untuk masuk sekolah dasar.
ADVERTISEMENTS
Saya percaya bahwa pernikahan bukan akhir kegalauan. Ada ribuan hal yang lebih menantang, dan saya sedang menyiapkan mental
“Kamu kenapa sih stres mulu belakangan? Capek kerja ya? Makanya dong, buruan nikah biar nggak galau-galau lagi.”
Jujur saja saya bingung ketika banyak orang menganggap pernikahan sebagai sebuah solusi. Capek kerja dan diomeli atasan, nikah aja. Capek kuliah dan skripsi nggak kelar-kelar, nikah aja. Stres mengurus persoalan hidup yang nggak ada habisnya, nikah dong makanya.
Bagi saya, pernikahan justru sebuah pintu gerbang. Dan di balik gerbang itu, ada persoalan-persoalan baru yang harus dihadapi dengan cara baru. Saya tak bisa memakai rumus yang saya pakai saat lajang untuk menyelesaikan persoalan dalam pernikahan bukan? Ada tanggung jawab besar, dan kompromi yang tak bisa ditinggalkan. Di sini, saya masih berusaha mempersiapkan mental.
ADVERTISEMENTS
Melajang sekarang, tak berarti saya memilih hidup selamanya sendirian. Saya hanya enggan menjalani hidup dengan sembarang orang
“Cewek itu kodratnya jadi istri dan ibu. Sibuk kejar cita-cita boleh, tapi jangan lupa soal dua hal itu.”
Duduk seorang diri di kedai kopi tak membuat saya enggan. Ke mana-mana sendirian sudah sering saya lakoni. Tak adanya pesan rutin di ponsel yang menanyakan kabar saya hari ini tak membuat hidup saya sepi. Orang bilang saya terlalu nyaman dengan kesendirian, namun bukan berarti saya enggan berbagi hidup dengan seseorang. Untuk suatu saat nanti, saya juga ingin sebuah tempat yang saya sebut rumah. Sebuah tempat yang memupus segala lelah, resah, dan gundah. Sebuah tempat paling nyaman dan aman untuk istirahat saat kenyataan kian tak terkendali. Untuk membangun tempat semacam itu, saya tak ingin sembarangan memilih orang.
ADVERTISEMENTS
Sebab bagi saya pernikahan bukan skripsi. Yang harus diselesaikan lekas-lekas, agar segera jadi sarjana seperti yang lainnya
“Masa kalah si Anna? Dia aja udah punya anak dua. Kamu? Masih jomblo-jomblo aja dari dulu.”
Untuk saat ini, saya memang memilih sendiri. Meski setiap bulan undangan datang dari teman-teman yang melaju ke perlaminan. Tak perlu disama-samakan, sebab pernikahan bukanlah deadline skripsi. Tak terburu-buru, sebab kapan saya siap hanya saya yang paling tahu. Tak perlu tergesa-gesa, karena pernikahan bukanlah lomba dan yang juara adalah yang paling pertama.
Pernikahan adalah sesuatu yang besar bagi saya. Sesuatu yang tidak bisa diburu-buru hanya karena usia. Meski memilih untuk sendiri untuk saat ini, bukan berarti saya ingin melajang selama-lamanya. Bukannya mengingkari kodrat, saya hanya menunggu seseorang dan waktu yang tepat.