Pernah tidak ketika berpacaran dengan seseorang, tiba-tiba ia berubah dingin dan terkesan menjauh? padahal sebelumnya tidak ada masalah diantara kalian, bahkan disaat hubungan kalian sudah semakin dekat atau makin serius. Dia yang awalnya intens penuh perhatian, mendadak silent treatment tanpa alasan yang jelas. Kalau iya, bisa jadi kamu sedang berhadapan dengan seseorang yang punya pola relasi avoidant attachment. Apalagi kalau dilakukan berulang kali.
Attachment atau gaya keterikatan adalah konsep psikologis yang pertama kali dikembangkan oleh John Bowlby di tahun 1958. Teori ini menjelaskan bagaimana ikatan emosional kita dengan pengasuh utama saat kecil bisa membentuk cara tiap-tiap orang membangun hubungan sebagai orang dewasa. Lalu, pada tahun 1970-an, Mary Ainsworth memperdalam teori ini lewat eksperimen bernama “Strange Situation“, dan menemukan tiga pola utama: secure, anxious, dan avoidant attachment.
Nah, avoidant attachment ini terbentuk ketika anak tumbuh di lingkungan yang tidak responsif secara emosional. Anak-anak ini semacam punya belief system bahwa menunjukkan kebutuhan atau emosi itu tanda kelemahan dan percaya tidak membawa hasil apa pun—akibatnya mereka menekan dalam-dalam perasaannya, lalu membangun dinding untuk melindungi diri.
Jika tidak sadar, dan tidak bersedia memrosesnya, maka kettika dewasa, pola ini terbawa ke hubungan romantis: mereka cenderung takut terlalu dekat, menghindari konflik emosional, dan sering merasa kewalahan jika harus berkomitmen dengan lawan jenis, meskipun ia tertarik, nyaman, dan mungkin memang benar-benar merasakan cinta.
ADVERTISEMENTS
Apa saja sih sinyal bahaya dari avoidant attachment?
Ini dia 7 tanda yang perlu kamu kenali sebelum kamu terjebak lebih dalam oleh si avoidant.
ADVERTISEMENTS
1. Menghindari Pembicaraan tentang Masa Depan
Ciri paling mencolok dari si Avoidant attachment adalah ketakutan terhadap komitmen jangka panjang. Saat kamu mulai membicarakan hal-hal seperti rencana menikah, tinggal bersama, atau bahkan untuk sekedar liburan bareng, respons mereka bisa berubah drastis. Entah jadi defensif, berganti topik, atau justru memberi jawaban mengambang. Bagi mereka, masa depan yang terlalu pasti terasa seperti ancaman terhadap kebebasan pribadi.
ADVERTISEMENTS
2. Tiba-Tiba Dingin Setelah Momen Intim.
Malam sebelumnya kalian ngobrol panjang, tertawa, bahkan mungkin berbagi cerita personal. Tapi esok paginya, dia mendadak dingin, tidak responsif, atau bahkan menghilang. Ini bukan karena dia berubah pikiran, tapi karena kedekatan emosional itu memicu ketakutan yang dalam dalam bagi dirinya. Mereka tidak terbiasa merasa rentan karena mulai merasa bergantung padamu. Itulah yang membuat mereka merasa perlu menjaga jarak lagi.
ADVERTISEMENTS
3. Terlalu Sibuk untuk Terhubung Secara Konsisten.
Kalau kalian merasa terus jadi pihak yang berusaha menjaga komunikasi, ini juga bisa jadi tanda yang tidak boleh dianggap remeh. Orang dengan avoidant attachment sering memakai kesibukan sebagai tameng agar hubungan kalian tidak terlalu intents dan membuat mereka terasa terkekang. Mereka lebih nyaman ketika hubungan terasa “bebas” dan tidak terikat lebih dalam. Terlalu banyak kedekatan justru membuat mereka tidak hanya merasa kurang nyaman tapi juga merasa tertekan, sehingga dengan sengaja mereka menciptakan jarak.
ADVERTISEMENTS
4. Kesulitan Mengekspresikan Emosi.
Kamu mungkin pernah curhat atau menunjukkan perasaanmu, tapi dia malah menanggapinya dengan logika atau bahkan mengganti topik. Mereka tidak terbiasa berada di ruang emosional yang terbuka. Bukan karena tidak peduli, tapi karena mereka benar-benar tidak tahu bagaimana cara menanggapi kerentanan dengan tepat.
ADVERTISEMENTS
5. Menolak Ketergantungan Emosional
Saat kamu sedang sedih atau butuh dukungan, respons mereka cenderung datar atau minimal sekali. Mereka merasa tidak nyaman ketika orang lain terlalu bergantung secara emosional, kepadanya. Kenyataannta mereka sendiri dibesarkan dengan keyakinan bahwa kebutuhan emosional sebaiknya ditekan, bukan untuk diungkapkan.
6. Kehilangan Ketertarikan Saat Kamu Terlalu Dekat.
Semakin kamu menunjukkan perhatian, cinta, atau rasa sayang, mereka justru semakin menjauh. Hubungan yang terlalu intens bisa memicu perasaan terkekang bagi mereka. Mereka bisa merasa bahwa identitas atau kebebasan mereka terancam, meskipun kamu tidak bermaksud seperti itu.
7. Ghosting Saat Hubungan Menuju Serius.
Ini mungkin sinyal paling menyakitkan. Saat kamu pikir hubungan kalian akan naik level, mereka malah pergi tanpa jejak. Ghosting bukan karena mereka kejam, tapi karena mereka benar-benar tidak tahu bagaimana menghadapi tekanan emosional dari sebuah hubungan serius. Mundur dan menghilang terasa lebih mudah daripada menghadapi konflik batin yang tidak mereka pahami sendiri.
Lalu, apa yang bisa kalian lakukan, jika memilikibpasangan dengan pola ini? Pertama, penting untuk menyadari bahwa attachment style bukan label tetap. Ini adalah pola yang terbentuk dari pengalaman masa lalu, dan bisa diubah dengan kesadaran serta dukungan yang tepat. Komunikasi secara terbuka, menawarkan untuk pergi konseling atau terapi bisa sangat membantunya. Si avoidant attachment hanyalah orang-orang butuh cinta yang tidak terbiasa mendapatkan cinta. Ibarat seseorang yang sudah terbiasa hidup dalam kegelapan, lalu tiba-tiba diberikan cahaya terang, jelas dia akan merasa silau dan kebingungan.
Yang juga perlu diingat: kalian tidak bisa “menyembuhkan” seorang avoidant attachment sendirian. Jika pasangan kalian tidak mau mengakui pola tersebut atau enggan berubah, kalian berhak mempertimbangkan ulang posisi kalian dalam hubungan itu. Hubungan sehat dibangun atas dasar keinginan dua pihak untuk tumbuh, bukan salah satu pihak yang terus memberi ruang dan pengertian.
Menjalin hubungan dengan seseorang yang memiliki avoidant attachment memang tidak mudah. Tapi dengan pemahaman yang cukup, kesabaran, dan komunikasi yang jujur, bukan tidak mungkin kalian bisa membangun koneksi yang lebih sehat dengan mereka, apalagi jika secara sadar meraka bersedia untuk berubah. Intinya adalah, kalian juga perlu menjaga diri sendiri—karena cinta tidak seharusnya membuat siapapun terus merasa ragu atau tidak cukup.
Jadi, bagaimana menurut kalian?
Pernahkah kalian berada dalam hubungan dengan seseorang yang memiliki avoidant attachment? Atau justru salah satu diantara kalian sendiri yang akhirnya menyadari pola ini ada di dalam diri? Cerita yuk, siapa tahu dengan berbagi, kalian mungkin membantu orang lain merasa tidak sendirian.