Masih terbayang di benak saya bagaimana kamu memperlakukan saya sebagai opsi, bukan pilihan pertama. Jungkir balik saya bertanya, “Apa yang kurang dari saya?” sampai tak cukup memberimu alasan berhenti dan menetap hanya di dada saya.
Kamu pernah jadi alasan saya menunda impi. Menghancurkan life plans yang sempat saya gadang-gadang sendiri. Melihatmu berjalan di dua hubungan sekaligus — mempertahankan saya, sementara ikatan lain jalan terus — membuat hati saya sungguh terberangus. Bukan hanya terbakar, saya sempat hangus.
Tapi saya penyintas yang tangguh. Terbukti saya berhasil mengalahkan rasa nyeri itu meski penuh peluh. Saat kelak kita bertemu lagi, tetap akan kamu temukan sungging senyum saya yang penuh. Hati saya sempat kamu tikam, hampir terbunuh. Namun serakan hati itu kini menguatkan saya — hingga ke pembuluh.
Jika kita bertemu lagi nanti, tolong berhenti bertanya apa yang membuat saya sedingin ini. Seharusnya kamu sudah cukup tahu diri. Kamulah yang membuat saya menghantam apapun yang dunia beri tanpa kernyit di dahi kiri. Seakan badan ini punya kemampuan built in untuk memperbaiki diri sendiri.
Barangkali kita memang butuh hancur demi mengerti. Tidak ada sakit yang tak mampu dihadapi.
Jujur saja. Tanpamu, saya pernah menekuk lutut ke dada lalu menangis tanpa henti. Hidup sempat terasa kosong sekali. Ada masa saya terbangun jam 2 pagi, teringat kamu, membayangkan apa yang sedang kamu lakoni. Lalu mengutuk dan menyalahkan diri sendiri. Mengapa karena kurangnya saya kamu harus pergi?
Tapi kini saya mengerti. Atau memang semesta berbaik hati memberikan kesadaran ini. Bukan saya yang tak cukup memberi. Toh jika diingat lagi saya sudah memberikan semua yang wanita bisa tawarkan agar prianya tak pergi. Kamulah yang memang tak bisa mencukupkan diri. Merasa harus mengikuti ingin dalam hati, tanpa peduli ada degup kecil yang bisa tersakiti. Saya tak ingin mendoakanmu agar keburukan menghampiri.
Tapi jika kamu meninggalkan saya dengan mudah sekali, bukan tak mungkin ‘kan rasamu kali ini akan cepat habis seperti suar yang mati?
Ini bukan urusan benci. Jauh pula dari perkara bagaimana kamu menginjak-injak harga diri. Malah karena perlakuanmu yang seenak hati saya mengerti bagaimana perlakuan yang layak saya terima dan beri. Kamu menjadikan saya manusia yang menghargai diri sendiri.
Hati saya kini tak lagi utuh. Karenamu, ada sisinya yang remuk dan rapuh. Tapi tegas saya minta agar kamu tetap menjauh.
Kamu bukan lagi orang yang kini saya masukkan dalam kompartemen “butuh”. Bukan juga pribadi yang mati-matian saya pertahankan komitmen bersamanya agar tak dihantam jenuh. Ikhlas, saya biarkan tumpukan kenangan dan rasa sakit itu jatuh. Episode kita yang kertasnya keriting karena perlakuan burukmu sudah saya buang jauh-jauh.
Saat nanti kita bertemu dan kamu merasa tak mengenal saya lagi, jangan heran apa yang membuat saya seperti ini. Kamulah yang dulu menyerak hati sampai hampir tak ada yang tersisa lagi. Seharusnya kamu cukup tahu diri.
Sekarang, silakan berkemas. Pintu keluar selamanya ada di sisi kiri.