Artikel ini terinspirasi oleh @hikmaulida, pemenang hari ke-10 #30HariTerimaKasih Challenge. Hayo, sudahkah kamu berterima kasih hari ini?
Dari sebuah pertemuan sederhana — kalau tak mau dibilang biasa saja — kita menjalin hubungan pertemanan yang istimewa. Bukan hanya sekali-kali makan atau mengerjakan tugas kuliah bersama. Lebih dari itu, kita sahabat yang saling bertukar cerita dan rahasia. Aku menghargai kedekatan kita, dan pada kalianlah aku mempercayakan segalanya. Sisi diriku yang tak banyak kuperlihatkan pada orang-orang lainnya.
Namun rupanya aku salah kira. Tak selayaknya pada kalian kupercayakan segala cerita. Ternyata, ada banyak sisi hidupku yang tak sepenuhnya bisa kalian terima. Aku terlambat mengetahuinya — karena di depanku kalian selalu bersikap ramah dan terbuka.
Bukannya menjaga rahasia yang kumiliki, kalian justru membocorkannya — bahkan menambahkan detil-detil fantastis yang sebenarnya tak pernah terjadi di dunia nyata. Aku baru mengetahui hal ini ketika cerita fiksi kalian sudah didengar semua orang. Terang saja, aku merasa dipermalukan.
Awalnya aku tak mengerti kenapa kalian melakukannya. Bukankah hubungan kita sebelum ini baik-baik saja?
Karena sudah cukup lama aku dan kalian saling mengenal, hubungan kita memang tak bisa dikatakan bersih dari perselisihan. Namun sebagaimana sahabat sejati, kita selalu berusaha memperbaiki friksi. Meminta maaf atas kekhilafan dan mencoba menyembuhkan sakit hati.
Karena itulah aku benar-benar tak mengerti. Sudah kucoba, namun akhirnya aku angkat tangan karena tak juga memahami. Mengapa untuk membocorkan rahasia-rahasiaku ini, kalian bisa sampai punya hati? Bukan hanya itu saja. Kalian pun menambahkan pada ceritaku hal-hal yang sebenarnya tak pernah ada di cerita aslinya. Ingin kutanyakan benar: kenapa? Bukankah hubungan kita sebelum ini baik-baik saja? Bukankah selama ini, aku selalu berusaha menjadi teman yang menyenangkan? Berusaha menghargai keberadaan kalian?
Saat dikonfrontasi, kalian justru bungkam. Tak berani mengulang kalimat pedas yang tadinya kalian lemparkan terang-terangan
Aku tak ingin menyebut kalian culas. Meskipun kecewa, sebisa mungkin aku rem insting untuk memanggil kalian dengan kata-kata yang tak pantas. Namun aku sungguh tak mengerti. Betapa berbeda sikap kalian di belakang dan di depanku ini. Saat fisikku jauh, bibir kalian berubah menjadi pabrik kata-kata. Kreativitas yang patut diacungi jempol terlihat jelas dari bagaimana kalian berbicara.
Kapan aku pernah bilang aku tak menyukai si X? Kapan aku pernah berkata lebih baik aku push up 2000 kali daripada melihat wajah si Y? Aduh, ucapan kalian memang bak balsam tingkat dewa. Pedas bukan main dan memaksaku mengelus dada.
Namun saat aku mengkonfrontasi, kalian bersikap seolah hubungan kita baik-baik saja. Seolah tak ada kelakuan buruk yang pernah kalian eksekusi saat aku jauh secara geografi. “Maksudmu apa sih?” ujar kalian, dengan senyum terulas lebar. “Udah yuk, kita makan aja sekarang.”
Hei, kenapa sekarang kalian bungkam? Apakah punggungku telah menyakiti ujung pisau kalian?
Dan ayolah, coba berpikir sebentar. Mana bisa aku duduk dengan tenang bersama orang-orang yang membicarakanku di belakang?
Apapun yang kalian bicarakan, kini aku tak peduli. Ada hidupku sendiri yang lebih berhak aku sayangi
Demi menghindari luka lebih dalam lagi, sepertinya memang harus begini. Mulai saat ini, marilah berjalan di jalan kita sendiri-sendiri. Uruslah apa yang menjadi masalahmu dan biarkan aku bergulat sendiri dengan masalahku. Tenang saja: tanpa bantuanmu, aku tetap mampu.
Aku tak butuh orang-orang yang menghakimi. Tak butuh mereka yang bergunjing, mengkritikku di belakang, lalu mengatasnamakan rasa peduli. Dan toh hidupku masih akan baik-baik saja tanpa kalian. Jika harus jujur, aku masih punya segala hal yang kubutuhkan. Nikmat pekerjaan, kesempatan untuk belajar dan berkembang.
Aku pun punya dia, tempat menaruh cinta tanpa harus takut tak terbalas — tanpa harus takut terkhianati. Dan aku berterima kasih atas kehadirannya. Percayalah, tanpa kalian, aku masih bisa bahagia.
Harapanku sebenarnya sederhana saja. Semoga aku “tumbal” terakhir kalian. Jangan lagi ada teman yang kalian omongkan di belakang pada masa depan. Yang kurasakan cukup menyakitkan, dan aku tak ingin ada orang lain yang menanggung beban sedemikian.
Apapun yang kalian bicarakan kini, aku tak peduli. Aku punya hidupku sendiri yang lebih berhak aku sayangi! 🙂