Gagal melulu/ Illustration by Hipwee via hipwee.com
Ketika mengalami kegagalan cinta secara berulang, kita mungkin akan instrospeksi diri sambil bertanya-tanya hal salah apa yang selama ini dilakukan. Sayangnya, kamu mungkin nggak kunjung menemukan alasan di baliknya, padahal bisa jadi hal ini dipengaruhi oleh kondisi mentalmu dan dirimu sendiri nggak menyadarinya. Bukan hanya kondisi saat ini, tapi juga yang terjadi di masa 7 tahun pertama kehidupan kita. Bagaimana kita dicintai dan mencintai serta isu-isu yang belum selesai pada masa itu akan memengaruhi relasi romantis kita ketika dewasa.
Kamu mungkin bisa mulai bertanya, ada nggak sesuatu dalam diri yang akhirnya membuatmu ke-trigger isu-isu itu? Apa saja inner child yang belum terselesaikan yang membuat kita rasanya seperti membuka kotak pandora ketika masuk ke dalam sebuah relasi romantis ? Hal-hal itu yang membuat kita jadi nggak nyaman dalam relasi.
Untuk mengupas hal ini, ada beberapa contoh kasus terkait kegagalan cinta yang mungkin juga kamu alami selama ini. Simak yuk selengkapnya!
ADVERTISEMENTS
1. Sekencang apa pun menyatakan sudah move on, barangkali sesekali kamu masih teringat sang mantan. Apalagi, kalau hubungannya nggak begitu baik
Hubungan itu seperti gelombang air laut. Kadang kita merasa sudah move on, tapi perasaan itu muncul lagi. Mungkin pas PMS atau ada kondisi tertentu, tiba-tiba teringat lagi. Nggak apa-apa. Izinkan diri untuk merasakan, izinkan diri untuk sedih. Ibaratnya mirip kayak bisul yang mana dia butuh waktu untuk nanahnya keluar. Kulitnya nggak langsung mulus karena butuh waktu untuk pulih lagi. Pengalaman yang nggak enak pun butuh waktu untuk dipulihkan. Ini adalah grieving cycle yang sedang kamu alami.
Kamu mungkin akan sering merasa bahwa semuanya sudah bisa biasa saja, tapi kadang rasanya ingin kembali marah. Kondisi ini masih wajar asal durasinya 15-30 menit. Kalau sudah sampai 2 jam atau bahkan lebih dan berulang selama berhari-hari sampai memengaruhi kondisi mental, mungkin kamu perlu bantuan profesional.
Berhubungan dengan orang lain setelah mengalami pengalaman nggak mengenakkan memang justru bisa jadi triggering. Yang perlu ditanamkan ke pikiran adalah bahwa hal ini bukan salah pasangan kita, tapi karena adanya suatu kejadian yang mirip.
Kunci mengelola emosi itu menyadari akan perasaan tersebut. Jadi, sadar bahwa kondisi yang muncul adalah karena ada pasangannya, bukan karena pasangannya yang nggak tepat. Kalau nggak punya pengetahuan, kita bisa sesat dalam relasi. Kita pikir orang ini yang nggak cocok untuk kita, padahal sebenarnya kita yang sedang memproses emosi.
Kadang kita sulit membedakan apakah ini emosi sekarang atau masa lalu saat dengan pasangan sebelumnya. Nah, makanya kita bisa mengingatkan bahwa emosi yang kamu alami itu valid, tapi itu relasi kamu yang dulu. Relasi yang sekarang ini berbeda. Kadang kita butuh berkali-kali untuk mengingatkan ke diri. Misal muncul rasa takut, ucapkan ‘mantra’ yang bisa membantumu.
“Ini Bobi, bukan Doni. Dulu Doni, ini Bobi. Mereka sosok berbeda.”
Yuk bantu ngasih kompartemen di kepala kita! Emosinya mirip, tapi orangnya beda.
ADVERTISEMENTS
2. Mungkin banyak yang bilang bahwa alasan kamu jomlo sampai saat ini adalah karena kamu pemilih. Lalu, gimana lagi kalau setiap ketemu ada saja yang bikin illfeel?
Duh. illfeel/ Illustration by Hipwee
Menjadi orang yang perfeksionis dan sedikit-sedikit merasa illfeel bisa jadi terkait inner child lo. Muncul pertanyaan siapa yang ngasih pemrograman perfeksionis atau pengalaman apa yang membuat kamu perfeksionis.
Dalam relasi, kita hanya butuh yang good enough untuk menjadi lebih baik bersama-sama. Makanya, perlu diketahui sebenarnya tujuan dapat pasangan yang perfect itu untuk apa? Soalnya, kalau diikutin nggak pernah ada ujungnya. Kita perlu challenge diri sendiri dengan pertanyaan kenapa butuh sosok yang perfect? Apakah biar lebih enak dilihat orang? Apakah biar kamu merasa lebih secure?
Nah, kalau jawaban dari pertanyaan kedua adalah ‘iya’, berarti ada pola-pola emosi yang kurang sehat yang mungkin nggak kita pahami selama ini. Kamu bisa juga mengenali apa aja yang biasanya bikin illfeel, mungkin ini masuk indikasi red light buat kamu. Nah, makanya usahakan untuk membicarakannya dengan gebetan. Kamu bisa mulai bilang aku sukanya yang ini, nggak sukanya yang ini. Namun, izinkan dia juga punya preferensinya sendiri.
Lagi pula, dalam hidup ini nggak semua orang harus punya pasangan kok. Jadi, kamu bisa tanya ke diri dari skala 1 sampai 10, keinginan memiliki pasangan ada di skala berapa untukmu? Ada istilah aseksual di mana seseorang senang berteman, tapi nggak ingin menjalani hubungan yang terlalu dalam juga. Nggak apa-apa. Nggak usah terbawa lingkungan kalau sebenarnya kamu sendiri nggak butuh, kecuali kalau kamu memang merasa bahwa kamu sebenarnya butuh banget.
Pasangan yang cukup tuh seperti apa? Nah, kamu bisa membuat definisinya, misalnya pasangan yang cukup kerja keras, cukup nyambung kalau diajak ngobrol, dll. Bikin sesuai dengan kondisi kamu, tapi juga masih rasional.
ADVERTISEMENTS
3. Bagi kebanyakan orang, bertengkar dengan pasangan sering sekali menguras emosi. Sayangnya, ada yang meluap-luap hingga membuat dia memilih pergi
Bertengkar dengan pasangan tentu hal yang wajar terjadi sesekali. Namun, ada saja yang kesulitan untuk mengontrol emosi yang makin parah apabila salah satu pihak sensitif dan terus-terusan ngegas. Hal ini lagi-lagi bisa saja disebabkan oleh inner child yang membuat kita menjalani relasi seperti anak SD, di mana kita akan mudah emosi saat orang lain melakukan sesuatu. Jika sudah dewasa, maka kita seharusnya akan menyadari emosi tersebut dan akan ambil waktu untuk menenangkan diri dulu.
Ketika seseorang masuk ke dalam relasi, perlu diluruskan apa tujuan yang ingin dicapai. Kalau hanya untuk mencari pengadilan siapa yang benar, siapa yang salah, maka akan susah untuk mempertahankannya. Namun, kalau tujuan kita untuk bertumbuh bersama, berenang ke arah yang sama, maka hubungan bisa dilanjutkan. Pada saat ini, penting untuk meningkatkan kesadaran akan emosi yang sedang dirasakan. Marah dan kecewa boleh saja asal tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain. Makanya, perlu untuk belajar mengelola konflik.
Yang sering jadi masalah adalah ketika kita merasa belum cukup baik mengontrol emosi, tapi juga merasa butuh pasangan. Izinkan realita ini ada di dalam kehidupan kita karena sangat wajar merasakan mix emotion. Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk bisa mengelola emosi? Pertama, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa mengelola emosi dengan ditahan adalah mitos. Harusnya, bukan ditahan, tapi dibuang pada tempatnya.
Emosi perlu disalurkan ke tempat yang tepat, misalnya lari, menggambar, atau jalan kaki. Nah, kalau sudah agak mereda baru omongkan permasalahan dengan pasangan. Perlu dilatih supaya jangan raw emotion atau saat sedang meletup-meletupnya, kita tembakin ke pasangan. Hal itu yang mungkin juga bikin kita terluka waktu jadi anak.
Nah, jadi saat sudah diproses dulu emosinya baru kita bicarakan dengan pasangan. Kalau susah mengontrol, kita bisa latihan setiap hari. Misalnya, ada kejadian apa hari ini, apa nama emosi yang dirasakan, kata-kata apa aja sih yang bisa menyemangati diri, lalu tarik napas dan buang. Kalau emosi kita sedang intens hingga terasa sesak di dada, kita bisa membuang napas dengan bersuara.
Marah-marah/ Illustration by Hipwee
Emosi dikenali, dirasakan, kemudian let go. Jangan sampai menjadikan orang lain samsak karena hanya akan membuat emosi kita looping terus di situ. Kalau kesal hingga ingin memukul, cari alternatif lain, misalnya dengan bantal.
Saat emosi sedang sangat naik, bilang ke pasangan bahwa kamu butuh waktu berapa jam, berapa hari, dan seterusnya untuk kembali ke pasangan. Akan tetapi, minta izin dulu, jangan ujug-ujug ghosting yang akan bikin pasangan lebih marah lagi. Kalau energi emosi sudah tersalurkan, maka kita sudah bisa lebih lega sehingga bisa ngobrol dengan lebih baik.
ADVERTISEMENTS
4. Meski belum tentu terjadi, biasanya ada ketakutan jika kegagalan dalam hubungan akan terulang kembali
Setelah mengalami kegagalan dalam sebuah hubungan, mungkin akan muncul rasa takut akan kegagalan yang sama. Sayangnya, kita sering merasakan takut tanpa memahami apa yang ingin disampaikan oleh rasa takut tersebut. Padahal, biasanya perasaan takut ini muncul ketika kita merasa sedang tidak aman secara emosi, ketika sesuatu terasa tidak familier.
Tujuan rasa takut ini adalah untuk membuat kita lebih berhati-hati. Lalu, kita bisa memikirkan bagaimana cara kita bisa lebih hati-hati. Bukan dengan jaga jarak, tapi dengan menanyakan banyak hal di awal, seperti “Kamu kalau gini gimana? Kalau aku gitu gimana?” ke pasangan selanjutnya.
Jadi, bantulah diri sendiri membuat hal yang nggak jelas menjadi lebih jelas supaya perasaan takut itu nanti bisa hilang. Rasa takut itu bisa dikelola ketika kita sudah mengakui ke diri, supaya lebih tenang, lalu disampaikan ke pasangan. Misalnya, “Eh sebenernya aku takut lo sama masa PDKT gini, soalnya aku punya pengalaman buruk begini. Menurut kamu gimana?”
Kita mungkin terluka karena relasi, tapi kita bisa juga sembuh karena therapeutic relationship. Hal ini bisa dilakukan dengan profesional maupun pasangan kita yang sekarang. Orang yang tepat buat kita adalah orang yang bisa merespons ketakutan kita dengan tepat juga. Justru ketakutan itu bisa kita jadikan amunisi dengan pasangan kita saat ini.
Dulu, saat masih kecil mungkin kita dilarang untuk menceritakan vulnerability dan kekurangan kita ke orang lain. Jadi, kita sudah merasakan emosinya, tapi bingung bagaimana mengungkapkannya ke orang lain. Apalagi, kalau pasangan belum terlalu dekat, padahal ini justru jadi masa probation untuk kita tahu tanggapannya.
Menurut psikologi, kita perlu paling nggak 18 bulan untuk mengenal seseorang sebelum memutuskan untuk menikah karena kita butuh tahu konsistensi perilaku. Walau di awal, ia mungkin terkesan perhatian atau bahkan melakukan love bombing, hal ini justru bisa jadi red light. Makanya, kita perlu data untuk melihat perilakunya dengan konsisten.
Setelah putus dengan pasangan sebelumnya, izinkan diri untuk griefing hingga ke stage terakhir, yaitu bargaining. Jawab pertanyaan “Oke, apa yang harus saya lakukan di relationship selanjutnya supaya saya nggak kena permasalahan yang sama?”
Semoga, kamu bisa mendapat pencerahan ya akan kisah cinta yang kelihatannya gagal melulu tanpa diketahui sebabnya. Selamat membuka hati kembali!
Catatan Redaksi: Konten ini dibuat secara co-create antara pihak content creator dengan tim konten Hipwee Premium
Mental Health Advocate | Child Psychologist |
Adult & Parent-child Relationship Educator |
Author's Book "Kamu Tak Harus Sempurna" &
"Tak Ada Sekolah tuk Jadi Orang Tua"