Artikel ini terinspirasi dari kisah @ewiangelola. Pemenang#30HariTerimaKasih Challenge. Hayo, sudahkah kamu cukup bersyukur hari ini?
“Kamu kapan off-nya? Aku kangen.”
“Aku harus prolong stay nih Sayang. Ada teman yang off, jadi harus cover dia.”
“Hmmm jadi aku harus sabar lagi nih? Untung sayang! Kalau enggak udah kena ngambek kamu nanti waktu pulang.”
Perbincangan soal kapan pulang dan kapan bisa bertemu sudah jadi makanan kita sehari-hari. Tidak bisa bertemu setiap hari tak ayal menyisakan lubang di hati. Kadang aku berpikir, hubungan apa yang sebenarnya sedang kita jalani? Bagaimana mungkin relasi terjalin tanpa kontak mata yang rutin dilakoni?
Tapi kamu adalah ketidakmungkinan yang terbukti bisa dijalankan. Hanya bertemu beberapa kali dalam sekian bulan tak membuat rasa ini pudar. Kita bersahabat baik dengan jarak dan kesabaran — hingga waktu terbaik yang mempertemukan.
ADVERTISEMENTS
Rindu, sudah pasti. Bagaimana mungkin kuatnya rasa ini tak membuat kita ingin saling mendampingi?
Ada momen-momen gemas dan ingin meledak di tengah hari, terutama jika rindu sedang mampir di hati. Iri rasanya melihat kawan-kawan sejawat dengan ringan punya kesempatan untuk bermesraan di tengah kesibukan. Sementara aku harus sabar menanti teleponmu yang jarang datang.
Aku tahu kamu punya kesibukan. Aku mengerti apa yang kamu perjuangkan, betapa semua adalah upaya demi masa depan. Tapi tidak ada yang salah ‘kan dengan rasa sayang? Dalam malam-malam yang terasa lebih panjang aku memilih bergelung dalam selimut lebih dalam. Kuselipkan kaus tidurmu yang masih menyisakan sepercik aromamu. Berharap tindakan konyol ini meringkas jarak antara kamu dan aku.
ADVERTISEMENTS
Namun jarak mengajarkan kita banyak hal. Hubungan yang dijalani dalam keterbatasan terbukti membuat ikatan kian pejal
Tidak bisa bertemu sepanjang waktu membuatmu dan aku lebih menghargai semua yang diberikan semesta. Kita belajar untuk lebih mengerti setiap bisa bersama. Sebab sayang sekali rasanya jika kebersamaan harus direlakan untuk pertengkaran yang sia-sia.
Dalam-dalam, kusesap habis aroma tengkukmu setiap kita bisa bertemu. Itu jadi cadangan kekuatan saat kita kembali harus dipisahkan jarak dan kesibukan selama beberapa waktu. Kau pun lebih ringan menyelipkan jari dan lenganmu ke sisi-sisi tubuhku. Tapi sentuhanmu jauh dari aji mumpung ataupun nafsu. Kau hanya ingin meninggalkan jejakmu di tubuhku. Supaya gelenyarnya kembali bisa dipanggil ulang waktu kau jauh dariku.
Kita belajar menghadapi hari seorang diri. Perlahan, kita mengerti bahwa ikatan adalah soal frekuensi hati. Ia akan tetap terjalin baik, selama masih diusahakan dalam satu gelombang yang disepakati.
ADVERTISEMENTS
Mulai saat ini bolehkan jarak tak lagi dipandang sebagai musuh bersama? Kita sudah kian dewasa — mari merayakan kemewahan jarak ini berdua
Tidak ada gunanya berontak melawan jarak yang memang selalu ada diantara kita. Ia diletakkan di tengah-tengah kita pasti karena alasan. Tak bijak rasanya jika kita terus meratap, lalu menyalahkan keadaan.
Kau dan aku sudah cukup dewasa untuk berdamai dan menerima. Ketiadaan jarak tak serta merta berarti surga. Bisa saja kita justru dilanda kebosanan karena terlalu sering berdua. Atau malah jadi sering bertukar argumen karena bosan bersama.
Di tengah telepon atau video call panjang, diantara pesan-pesan singkat berisi stiker penyambung perasaan — kau dan aku sesungguhnya sedang merayakan kemewahan. Ada pribadi yang tumbuh jadi orang yang lebih bersabar. Ada pria yang berkembang jadi seseorang yang lihai menjaga diri dan ucapan.
Dalam rapal pembangkit semangat di ujung malam ada wanita yang berkembang jadi pribadi yang tak mudah menyerah pada keadaan. Ada gadis kecil yang kini sudah belajar bagaimana komitmen harus dipertahankan.
Jika boleh memilih, tentu aku ingin di sisimu sepanjang hari. Namun kau tak perlu khawatir, sebab jarak ini juga sangat kusyukuri.
Adakah ucapan syukur lain yang ingin kamu ucapkan pada jarak yang terbentang selama ini? Ungkapkan lewat #30HariTerimaKasih Challenge di Instagram, yuk!