Aku tak ingin berjuang sendiri
kehabisan darah lalu mati
sementara kau bisa bebas pergi.Aku ingin bisa memaki
hadirnya ransel penuh bahan makanan
di punggungmu.
Sementara aku harus bertahan
lewat sisa roti yang terasa terlalu keras di mulutmu.Bolehkah kulempar granat ke hatimu?
Hanya ingin tahu
mungkinkah ia remuk, karena aku?
ADVERTISEMENTS
Dulu, aku pernah percaya bahwa — suatu hari — kita akan bahagia
Aku tahu Sayang, kita begitu berbeda dalam segalanya. Gadismu ini penyendiri, sementara kamu pria yang dengan muda bisa bersosialisasi. Kamu punya banyak kawan di luar sana, sedang aku bertemu orang yang baru dikenal saja sudah panas dingin rasanya.
Tapi kamu membuatku percaya bahwa suatu hari semua perbedaan ini akan menemui muaranya. Kita akan tetap baik-baik saja.
Kubayangkan suatu hari kamu tidak akan keberatan kuajak naik kereta ke Pulau Dewata. Berbekal keril dan makanan kering seadanya. Hari itu kamu tidak takut keringat, tidak khawatir lelah. Walau punggung dan pantat pegal terhajar dudukan yang terlampau lurus, jok yang terlalu tipis. Kita akan tertawa melihat betapa kakunya kakimu terjepit diantara kursi yang sempit.
Dan kamu akan bahagia.
Pada suatu hari lainnya kamu akan mengerti cara bicaraku yang aneh. Bahwa kadang tidak berarti iya ; tidak sakit artinya sakit sekali ; terserah setara dengan dengar mauku. Kita akan berbicara banyak hal yang sama. Menggumamkan lagu yang kita gemari. Sesekali bertukar buku, barangkali.
Dan kamu akan bahagia.
Suatu hari, kita akan duduk berdampingan dengan nyaman. Merasa saling tergenapkan. Tanpa alasan, tanpa banyak usaha. Aku membuatmu cukup, kau menghormatiku sepantasnya. Kita saling menghargai, sebab tak ada alasan masuk akal untuk saling menikam pisau dalam sunyi. Akan ada puisi manis dan pesan singkat spontan yang rawan membuat kita sakit gigi.
Alih-alih tak paham, kamu, kita, akan bahagia.
ADVERTISEMENTS
Kutelan segala omong kosong soal cinta. Kuberikan semua yang aku punya
Bersamamu hari perayaan tak lagi jadi hal yang signifikan. Bersamamu aku bahagia, walau harus sering bertengkar memutuskan harus makan di mana. Kamu pernah menjadikanku wanita paling bersyukur sedunia hanya dengan berbagi tawa berdua di beranda kemudian duduk-duduk malas sembari bermain bersama anjing kecil kesayangan kita.
Aku menerima kebiasaanmu yang suka menunda mandi sebelum malam. Kuakrabi bulir-bulir keringat di atas lipatan bibirmu, kuseka dengan penuh cinta yang kini menyisakan sembilu. Kuterima protesmu yang jengah melihatku lamban. Kunikmati semburat tangis yang tak terelakkan.
Namamu pernah begitu gigih kutasbihkan. Mengaliri oksigen nafas tersenggal-senggal menuju puncak. Kamu sempat jadi alasanku bertahan di tengah perjalanan yang membuatku hampir mati karena kelelahan.
Menemukan lingkar tubuhmu di ujung perjuangan, di atas kasur empuk — pernah jadi satu-satunya alasan aku tak berhenti berjuang.
Perjalanan keras macam itu membuatku makin mensyukurimu sebagai kenyamanan. Sayangnya kini aku hanya sedang kehilangan pijakan. Kehabisan cara meyakinkan diri sendiri untuk berjalan dan bertahan. Hingga aku habis nafas, setengah pingsan, lalu kehilangan jawaban atas tanda tanya besar,
“Masih pantaskah kamu diperjuangkan?”
ADVERTISEMENTS
Di depan matamu ingin kuteriakkan, “Apa yang kamu cari?” Tak sadarkah dirimu atas kehadiranku di sini?
Bagiku kamu adalah muara kehidupan, poros tengah yang membuat seluruh duniaku berputar. Tapi bagaimana dengan posisiku di matamu?
Bukankah aku hanya satu episode yang kamu nikmati sebaik mungkin, untuk kemudian ditinggalkan saat tulisan “Tamat”; “Fin”; “The End” muncul di hadapan? Bukankah aku hanya persinggahan, yang pada akhirnya juga akan kamu lepaskan?
Mati-matian aku berkorban. Kuberikan semua yang bisa kupersembahkan. Hanya bersamamu aku pernah menjelma jadi wanita yang mau mengerjakan apa saja, selama kau suka. Kau minta aku memasak? Aku belajar sebisanya, meski kuyakin potongan kentangku masih jauh dari sempurna.
Kau minta ku belajar merapikan rumah? Kuiyakan kemauanmu tanpa banyak bicara. Tak hanya sekali-dua kali kau temukan aku menyapu tanpa diminta, menepuk-nepuk bantal dan gulingmu yang sudah terlalu lama tidak dijemur dalam takaran sewajarnya.
Dalam semua tindak kecil itu, tak bisakah kau temukan setitik saja rasa cinta? Aku yang memang tak ada pesona, atau kau yang tak punya hati sebagai manusia?
Kucintai kau sebisanya, kau cintai ku sewajarnya. Dan seperti sudah kuduga sebelumnya, cinta kita punya masa kadaluarsa. Kau memilih dia, yang bisa mendapatkan cintamu tanpa perlu banyak usaha.
ADVERTISEMENTS
Bohong jika kubilang aku baik-baik saja. Merindukanmu adalah bentuk hukuman Tuhan paling menyiksa
Aku tidak baik-baik saja. Di matamu, barangkali kau tetap melihatku kuat dan bahagia. Tapi setiap ujung malam, kugelung selimut agar mampu tidur dalam. Lebih dari sekali kamu menerobos masuk tanpa izin dalam impian, membuatku bangun dengan jantung berdebar kencang dan keringat yang mengocor seperti air keran.
Aku pernah jadi masokis yang suka menyiksa diri sendiri dengan mengunjungi tempat-tempat ke mana kita biasa pergi. Kubayangkan kembali betapa nyamannya jika kamu ada di sisi, mendampingi, meski hanya separuh hati. Kubuka kembali pesan-pesan lawasmu hanya demi sedikit rasa hangat di hati. Aku rela membayar apapun, dengan cara apapun, demi mendapatkannya sekali lagi.
Tapi tahukah kamu apa yang paling menyiksa dari semuanya? Kejatuhanku yang sangat dalam padamu membuatku takut tak bisa lagi jatuh cinta. Kamu sudah mengambil semuanya, padamu sudah kuberikan segalanya — tak ada sekerat pun rasa yang tersisa untuk cinta selanjutnya. Aku mati rasa, hatiku tak bisa lagi membuka.
Dalam titik-titik terlemahku sempat terucap permohonan agar diberikan amnesia. Atau matikan saja aku, tak peduli jika Tuhan mengirimku ke neraka. Merindukanmu adalah bentuk terkejam dari hukuman Tuhan — kemampuanku sebagai manusia sungguh tak seberapa untuk menghadapinya tanpa kesakitan.
ADVERTISEMENTS
Aku memilih pergi bukan karena kau tak lagi kucintai. Kini, izinkan aku mencintaimu dengan caraku sendiri
Kadang, kita tak bisa memilah lagi. Mana yang pantas bagimu dan bagiku. Mana yang tidak menyakiti. Dimana kita seharusnya berdiri.
Aku, memutuskan. Pergi.
Di mataku, ini bukan soal kepemilikan. Bukan soal kamu menemani siapa makan siang. Bukan juga soal bersama siapa kamu seharian. Semuanya soal keputusan. Ada yang harus berani ambil resiko dan memulai. Dan nampaknya, hatimu terlalu lembut untuk menyakiti. Maka, ijinkan aku mengawali.
Aku punya cara berbeda untuk menyayangimu. Pegang kata-kataku ini. Aku pergi, bukan berarti membenci. Aku cuma mau kamu tahu bagaimana pentingnya aku. Aku cuma mau kamu merasakan dunia tanpa berbagi nafas denganku. Aku ingin memberanikan diri merasakan belantara hidup tanpa lenganmu, melindungiku. Supaya kita sama-sama tahu. Bahagiakah jika kau tak menyandingku? Tangguhkah aku tanpa topanganmu?
Apakah kekitaan yang takut dilepaskan itu, perlu?
Izinkan aku menyayangimu dengan caraku sendiri. Aku tidak akan banyak bertanya kamu sedang apa dan sedang bersama siapa. Tak akan rewel kuminta kau menemaniku makan, atau berjalan-jalan. Akan kubuktikan aku sanggup menghadapi masa berat sendirian. Mencintaimu, berarti menangguhkan diri. Aku ingin jadi wanita yang menguatkan. Bukan membuka lubang kelemahan.
Mencintaimu dengan berbeda, bukan berarti tidak mencintaimu sama sekali. Saat kau butuh teman diskusi, waktuku sudah pasti kau miliki. Aku tak pernah jauh, hanya sedikit menyingkir demi menjaga hati. Perhatianku jelas berjeda, tapi berarti.
Kasih sayangku pendiam, tak perlu diteriakkan lantang. Jika terlalu keras cintaku kusuarakan, justru nanti kau sakit telinga.
Dan bukankah sesuatu yang tenang dan tak lantang biasanya tak kunjung reda?
Tabik,
Yang meninggalkanmu karena sungguh mencintaimu