Lidahku sempat kelu karena hatiku mati rasa selama beberapa waktu. Leburan rasa kecewa, benci, marah, sedih pernah begitu pekat menyesaki dada. Aku pun membencimu beberapa masa, sempat pula berusaha mengenyahkanmu dari dalam sana. Namun, semua usahaku nampaknya sia-sia. Kau masih teguh menunggu, berusaha keras mempertahankan hubungan berdua.
Aku pun paham bahwa diam-diam kau ikut terluka dan berduka. Kau menyesali tingkah bodohmu yang membuat jalinan kita terkoyak. Kau mengutuki diri yang sempat dengan sengaja menggurat luka di dadaku. Namun kini, setelah sekian waktu jengah digilas rasa yang ada, hatiku mulai bisa terbuka celahnya.
Aku sadar, manusia tak ada yang sempurna. Karena itulah, aku memilih untuk memaafkanmu.
ADVERTISEMENTS
Hatiku pernah kau hancurkan dengan sengaja, membuat tatanan yang kita susun selama ini porak poranda.
Tak kuingat kapan tepatnya ketika kau meluluhlantakkan pondasi masa depan yang kita susun berdua. Yang kuingat hanya mendadak hatiku tak mampu merasa. Tak kutemukan pendar-pendar cinta dan sayang yang selalu ada tiap kali kita bersua. Tak ada pula rasa hangat yang diam-diam menyusup masuk ketika mata kita saling berjumpa.
Setelah beberapa detik berusaha mencerapi segalanya, barulah rasa kecewa, sedih, marah berduyun-duyun masuk tanpa permisi. Mereka menginjak-injak kenangan manis yang pernah ada, merobohkan menara kepercayaan yang selama ini menjadi kebanggaan, dan pada akhirnya memusnahkan harapan yang terjalin rapi bersama dengan impian.
Sedetik kemudian tangisku pecah di udara. Tentu pada saat itu kau sudah tak ada di sana, aku mengusirmu pergi. Aku tak sudi menangis di depanmu. Tak sudi menunjukkan wujudku yang sedang babak belur penuh luka di hadapanmu. Aku tak butuh dikasihani, aku bersikeras bahwa aku bisa sendiri.
Ah, ya, sekarang aku ingat, saat itu malam gerimis bulan ke tujuh. Ketika kau mengakui bahwa diam-diam kau telah menjalin hubungan cinta dengan manusia lain di belakang punggungku.
ADVERTISEMENTS
Aku pun pernah menutup pintu hati dan memilih untuk membencimu. Sebagai bentuk ganjaran untuk tingkah lakumu.
Gerbang hati kuberi pintu ganda berteralis dengan gembok berlapis. Demi berjaga-jaga supaya kau tak lagi menyelinap masuk. Aku tak mau ada lagi sakit yang terhela. Luka ini masih basah dan menganga. Hatiku masih belum bisa melunak. Walau hal itu dibarengi dengan kata-kata maafmu yang tak pernah alpa kau kirimkan tiap hari. Entah yang terbawa angin kemudian masuk ke ponselku dalam bentuk pesan singkat, hingga dalam wujud tangkai bunga yang teronggok di depan pintu rumahku setiap pagi.
Sungguh, aku berusaha memaafkanmu, namun aku masih belum mampu. Aku ingin kau tahu bahwa pengkhiatan harus mendapatkan ganjaran. Aku ingin kau tahu rasa sakitnya hati yang diiris dengan sembilu. Untuk itulah aku bersikeras untuk menghukummu, dengan memilih untuk berdiam diri di dalam cangkangku.
Namun kemudian aku menyadari, kamu juga porak poranda di dalam sana. Hatimu juga terkoyak sama seperti punyaku. Bukan hanya aku yang terluka, kaupun tengah berduka.
ADVERTISEMENTS
Karena manusia memang tak ada yang sempurna, aku menyadari bahwa aku memang harus memaafkan kealpaan yang pernah kau cipta.
Butuh waktu lama memang untukku mampu meresapi dan membuka hati kembali. Aku kemudian baru memahami bahwa penyesalan yang kau bawa sudah cukup menyiksa. Kau pun sama sepertiku, tengah terpuruk dan tak berhenti meratap. Beban yang kau panggul tentu lebih berat dan penyesalan yang kau rasakan sudah cukup menyesakkan. Aku kini paham, kau tengah menghukum diri sendiri.
Aku bukan dewa yang bisa bertitah, sama sepertimu aku juga manusia. Dan tentunya aku tak berhak menghukum demi membuatmu jera. Hal ini juga menyadarkanku bahwa tak ada manusia sempurna yang tak memiliki cela. Aku harus menerima dan memaafkan kesalahan yang pernah kau torehkan. Lagipula aku meyakini jika semua manusia berhak mendapatkan kesempatan kedua. Penyesalan yang kau rasa sudah merupakan penghukuman yang layak kau dapatkan.
Oleh karena itulah aku melunakkan hati, demi memaafkanmu dan memberi kesempatan satu kali lagi.
ADVERTISEMENTS
Berkat pengalaman yang kita jalani, aku sadari hubungan kita makin dewasa. Aku dan kamu belajar saling membuka hati dan melapangkan dada.
Rasa yang ada di dalam hati ini tak bisa berdusta. Ia masih menunjukkan getarannya tiap kali wajahmu melintas di rongga kepala. Penyesalan dan usaha tanpa henti yang kau tunjukkan berhasil membuka hatiku sedikit demi sedikit. Kembali menyuburkan pendar cinta yang tersemai rapi di dalam sana.
Hubungan kita memang layak diperjuangkan, untuk itulah aku memilih untuk memaafkan. Aku tahu, kita sudah berada di level hubungan yang lebih dewasa. Aku belajar banyak dari kesalahan yang pernah ada. Pun masih ada sisa impian dan harapan yang menunggu untuk kita tuntaskan. Tak kan kubiarkan kealpaan yang ada membuat kita berhenti berjuang.
Kini, maukah kau berjanji untuk memanfaatkan kesempatan yang ada dan tak mengulangi kesalahan yang sama?