Imajinasi soal pernikahan memang selalu menyenangkan. Apalagi ditunjang dengan foto-foto pernikahan yang bahagia dan postingan-postingan keluarga kecil bahagia sejahtera yang tersebar di media sosial. Pun film-film dan novel romantis yang mengusung tema-tema pernikahan. Semakin membuat kaum muda disesaki hasrat untuk segera berumah tangga. Akibatnya, pacaran lumayan lama tapi pacar belum menampakan keinginan untuk meminang, bisa membuat gelisah tak berkesudahan. Atau bahkan memilih pergi dan bersanding dengan yang lain. Dengan dalih, yang baru bisa memberi kepastian.
Sebelum kamu memutuskan untuk menikah, atau minta dilamar oleh pacar, tanyakan dulu pada hatimu. Apa saja yang kamu pikirkan tentang sebuah pernikahan? Bila hal-hal inilah yang terlintas, maka mundur saja dulu. Jangan terburu-buru, barangkali saat ini memang belum waktumu.
ADVERTISEMENTS
1. Menikah berarti sudah laku, dan tak perlu lagi berdandan. Padahal pasangan juga harus dipertahankan
Sudah menikah bukan alasan untuk berhenti mempercantik diri dan bersikap baik. Alasannya toh sudah laku dan resmi, seharusnya tidak bisa putus-nyambung seperti masa pacaran dulu. Padahal meski diikat dengan cincin perkawinan dan buku nikah, bahtera rumah tangga perlu dipertahankan. Sementara mempertahankan pernikahan jelas lebih susah daripada mempertahankan pacaran. Jadi bila kamu berpikir pernikahan adalah alasan untuk berhenti berusaha memperbaiki diri, sebaiknya tunda dulu keinginan itu.
ADVERTISEMENTS
2. Menikah supaya bisa punya teman bobok halal. Semata-mata menganggap pernikahan hanya soal hubungan badan
Buku nikah dan cincin perkawinan juga dianggap sebagai syarat sah untuk berhubungan badan, bila tidak mau dianggap melanggar norma yang ada. Karena itu, banyak juga yang menikah supaya bisa dapat teman bobok halal. Tapi apakah pernikahan hanya soal berhubungan badan saja? Tentu tidak. Ada sederet tanggung jawab yang harus dipenuhi, dan ada banyak kemungkinan masalah yang menunggu untuk dihadapi. Segala pahit dan manisnya, pernikahan adalah sebuah komitmen besar yang tidak bisa dilakukan dengan sembarangan.
ADVERTISEMENTS
3. Ngotot menikah hanya karena “sudah waktunya”. Keyakinan diri kalah dengan keinginan untuk tak kalah dengan teman-teman
Memasuki usia-usia pernikahan memang menjadi momen yang sulit untuk perempuan. Di sana-sini pertanyaan ‘Kapan nikah?’ akan selalu diperdendangkan. Acara kumpul keluarga juga jadi momen yang dihindari, karena selalu ditagih seolah pernikahan adalah ujian yang bisa diberi deadline. Tapi pernikahan jelas bukanlah lomba yang bisa dulu-duluan. Siap atau tidak siapnya tidak ditentukan oleh standar, melainkan oleh diri sendiri. Menikah karena alasan usia dan semua teman sudah melakukannya, jelas bukan pilihan yang bijak.
ADVERTISEMENTS
4. Menikah supaya bebas dari kesepian. Padahal bukan tak mungkin pernikahan jadi sumber kesepian baru
Salah satu ekspektasi dalam sebuah pernikahan adalah rekan yang bisa berbagi seluruh masalah. Seorang partner yang bisa diajak mengarungi lautan hidup berdua, berbagi suka dan duka. Sehingga rasa sepi yang kerap menghampiri itu pergi untuk selamanya. Namun, pernikahan pun bukan jaminan untuk bebas dari kesepian. Kelak ada badai satu dua yang akan dihadapi, yang membuat pikiran dua orang tak sejalan. Barangkali juga ada momen di mana pasangan merasa asing satu sama lain. Di momen ini, kesepian mungkin datang lagi, menuntut diselesaikan dengan bijak, agar rumah tangga tetap tegak.
ADVERTISEMENTS
5. Menikah supaya bisa hidup bahagia. Padahal banyak cara untuk lebih bahagia, menikah hanyalah salah satunya
Memang sebuah pernikahan diharapkan akan bahagia selama-lamanya. Itu juga yang didoakan banyak orang saat resepsi digelar. Namun ‘bahagia’ dan ‘menikah’ bukan kata yang maknanya sama. Bukan pula sebuah perbandingan yang selalu berjalan lurus. Untuk menjadi sebuah keluarga yang bahagia, ada usaha-usaha yang harus dilakukan. Bagaimana mengompromikan dua pikiran agar bisa berjalan beriringan, dan bagaimana meredam ego agar tidak justru saling menghancurkan, adalah PR dalam sebuah hubungan. Lagipula, kalau tujuannya adalah bahagia, banyak cara lain yang bisa dilakukan.
ADVERTISEMENTS
6. Menikah supaya ada subsidi untuk beli bedak dan sederet hal lainnya. Tunggu sampai nanti kebutuhan semakin tambah lagi dan lagi
Pikiran ini kerap kali muncul di benak perempuan. Lelah bekerja lantas berpikir untuk menikah saja. Setidaknya konsep yang umum di masyarakat kita, pria lah yang bertanggung jawab urusan ekonomi keluarga. Perempuan tinggal mengelola dan terima jadi saja. Memang tak ada salahnya satu orang bekerja, satu orang mengurus rumah tangga. Tapi semakin hari, kebutuhan rumah tangga juga akan semakin besar. Belum lagi jika anak-anak sudah besar dan butuh biaya besar untuk pendidikan. Lagipula, pernikahan tidak seharusnya membuat seseorang sepenuhnya bergantung pada orang lain. Dua kaki dalam pernikahan harus tetap tegak berdiri berdampingan. Agar ketika satu kaki terluka, masih ada kaki lainnya yang menopang.
Tak seperti lampu lalu lintas yang merah berarti berhenti dan hijau harus jalan, siap tidaknya menikah tidak bisa ditentukan oleh satu standar saja. Apalagi semata-mata soal usia. Naif bila menganggap pernikahan sebuah tiket jaminan untuk bahagia. Karena dibalik indah dan tampak bahagianya sebuah foto keluarga, ada pahit manisnya yang harus dihadapi bersama-sama. Karena setelah hingar bingar pesta usai, masih ada jalan panjang yang harus diarungi bersama. Kata-kata ‘sah’, hanyalah permulaan saja.