Meski suasananya masih terasa, tapi bagi para pekerja boleh dikatakan momen lebaran telah berlalu. Kamu sudah harus kembali ke rutinitas, berangkat kerja dari pagi hingga sore dan menghadapi deadline saban hari. Praktis hanya kenangan ayah dan ibu yang melepasmu ke perantauan yang tersisa dalam sanubari.
Momen berpisah dengan ayah dan ibu untuk kesekian kali akan selalu jadi ingatan yang terkenang. Meski berat hati meninggalkan mereka dan kampung halaman, tapi kamu mesti menyelesaikan apa yang telah kamu mulai sebelumnya. Begitu pun dengan ayah dan ibumu, antara rela dan tak rela melepas jauh anaknya sekali lagi. Nanar mata ayah dan pelukan ibu saat menghantarkan kepergianmu menyiratkan makna yang dalam. Bahasa tubuhnya nggak bisa bohong, banyak perasaan yang bergejolak dalam dadanya.
ADVERTISEMENTS
1. Demi harapan kamu sukses jadi orang, Ayah dan ibumu pun dengan berat hati melepasmu untuk berjauhan lagi
Bahasa tubuh ayah dan ibu saat melepasmu nggak bisa bohong, ada keberatan hati di sana. Tapi apa daya, tuntutan kehidupan mengharuskanmu untuk menjemput nasibmu sendiri. Mereka paham bahwa masa depanmu mesti kamu sendiri yang memperjuangkan. Maka dengan keikhlasan mereka melepasmu dengan lapang. Berharap kamu meraih sukses di masa mendatang sebagaimana yang telah kamu idam-idamkan.
ADVERTISEMENTS
2. Mereka jelas ingin melihatmu bahagia selalu, karena itu kekhawatirannya terhadapmu jadi lebih besar, apalagi masalah bisa datang sewaktu-waktu
Meski kamu sudah dewasa dan sudah bisa jaga diri, tapi yang namanya orang tua akan selalu memperhatikanmu. Mereka akan selalu khawatir kalau-kalau di rantauan kamu mendapati kesulitan. Mereka resah karena hanya bisa membantu lewat saran dan doa saja, nggak seperti dulu bisa mendampingi langsung di sisimu. Ini semata-mata karena mereka selalu ingin melihatmu bahagia. Mereka akan sangat tidak betah mendapati anaknya murung apalagi bersedih.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
3. Mau selama apapun kamu merantau, tapi tatapan ayah-Ibu saat melepasmu masih sama seperti meninggalkanmu saat pertama masuk sekolah dulu
“Anak kita sudah besar ya, Yah”
Barangkali kamu jarang mendengar kalimat itu, tapi percayalah ibumu acap mengatakannya kepada ayahmu. Nggak peduli seberapa tua usiamu, dalam sanubari ayah dan ibu kamu masih terlihat bocah kecil yang lucu nan lugu. Sejatinya kalau peka, kamu bisa membaca dari sorot mata mereka yang diam-diam memerhatikanmu saat kamu berada di rumah kemarin. Coba ingat-ingat lagi, kamu pasti pernah mendapati ayah atau ibumu begitu?
ADVERTISEMENTS
4. Ibu akan selalu jadi orang pertama yang terus memikirkanmu dan sedih saat tahu kesehatanmu sedang menurun
Ibu selalu khwatir terhadap kondisi anaknya. Ia selalu ingin melihat anaknya sehat, lincah dan bahagia. Maka dari itu ia nggak pernah bosan berpesan “jaga kesehatan, nak.” Bukankah kalimat itu yang juga dikatakannya saat kemarin melepas kepergianmu ke perantauan? Kalau ibu ingin kamu bahagia, maka sudah sepantasnya kamu menjaga kesehatanmu agar ia bahagia selalu.
ADVERTISEMENTS
5. Sementara ayah selalu berharap kamu betah di sana, menjadi tangguh dan bisa bertanggung jawab pada hidupmu sendiri
Lain halnya dengan ibu yang teramat melankolis, ayahmu justru merasa bangga melepasmu. Ya, meskipun sedikit ada rasa khawatir juga tapi nggak semasif dan seartikulatif ibu. Harapan ayah padamu hanya satu yaitu kamu bisa bertanggung jawab atas hidupmu sendiri. Betah-betahlah hidup mandiri tanpa bantuan orang lain, karena baginya itu melatihmu menjadi tangguh, menjadi lelaki yang truly manly.
6. Meski kamu acap ingkar janji untuk sering pulang. Tapi seperti yang lalu, mereka akan terus menagihnya dan menunggumu
Apabila disuruh memilih tentu saja mereka ingin kamu berada di rumah saja. Tapi toh nggak bisa. Mereka paham bahwa kamu mesti meninggalkan mereka sekali lagi; ada tanggung jawab yang mesti diselesaikan anaknya. Untuk menutupi kekhawatiran dan kesedihan, mereka menutupinya dengan memintamu untuk berjanji akan sering-sering pulang. Nggak lain untuk mengobati rasa kerinduan kepadamu.
Meski meminta, namun mereka nggak pernah memaksakannya. Sebab mereka juga tahu banyak pertimbangan yang pasti kamu pikirkan saat jarang pulang, salah satunya mereka tahu bahwa jatah liburmu nggak bisa semau-mau. Nah kalau sudah begitu, untuk meredakan rindu mereka, mestinya kamu mengganti kehadiranmu di rumah dengan sering-seing menelponnya.
Kalau kamu bisa memilih, tentu kamu juga rasanya ingin di rumah saja; mendapatkan perhatian penuh kasih dari ibu, melakukan nonton bola bareng ayah dan bermain berasama teman-teman dekat rumah. Tapi bagaimana lagi, jatah liburmu sudah habis. Akhirnya dengan berat hati kamu langkahkan kaki, kembali mengadu nasib ke perantauan – demi kesuksesan dan dmasa depan yang lebih baik.