“Kepo aja.” Aku mengedikkan bahu. “Mungkin kamu pernah lihat cewek di kantor, terus kamu mikir ‘Gila, cantik banget nih cewek!’ Terus kamu jadi suka curi-curi pandang ke dia.”
Egi tertawa. “Aneh-aneh aja, sih?”
“Ih, serius nih. Pernah nggak?” kejarku.
“Ya sering. Banyak cewek cantik ke kantor. Bosku aja cantiknya kayak Angelina Jolie.”
Sontak aku menegakkan leherku. “Yang benar?”
“Iyaaa. Yang cantik banyak, tapi yang pengin aku lihat mukanya pas bangun tidur cuma kamu. Yang pengin aku ajak pusing mikirin pendidikan anak-anak ya cuma kamu.”
Aku membuat gestur ingin muntah. “Bokis banget!”
***
Aku ingat sekali kata-kata di surat terakhir Egi untuk Seruni. Kadang ada hal-hal yang nggak perlu diucapkan untuk melindungi hati seseorang. Aku ingin memodifikasinya sedikit. Terkadang, kita tidak perlu tahu semua hal, karena kadang ada hal-hal yang memang sebaiknya tidak kita ketahui.
Bagaimana rasanya mengetahui bahwa tanpa kamu sadari kamu telah melakukan kesalahan dan mungkin menyakiti seseorang? Bagaimana rasanya mengetahui bahwa ternyata kamu adalah penjahatnya?
“Egi dan Seruni ketemu waktu Egi magang di sela-sela skripsi dulu. Mereka jadian nggak lama setelah kita lulus.”
Aku terdiam. Seluruh indraku bekerja untuk menyimak cerita dari Gegas, tetapi pikiranku menolak memberikan respons apa pun atas informasi yang kuterima.
“Hubungan mereka memang agak complicated. Almarhum Tante Saleha nggak pernah setuju. Lo tahu, kan, segimana protektifnya Tante Saleha soal Egi? Nah, Seruni punya latar belakang yang … rumit,” kata Gegas, bingung mencari kata yang tepat. “Dia lahir di lingkungan yang menurut Tante Saleha kurang baik.”
Kenapa aku tidak pernah tahu tentang ini? Bahkan sebagai seorang sahabat?
“Tahun 2014 adalah tahun terberat buat Egi. Lo tahu, kan? Urusan pekerjaan, pertentangan sama Mas Nusa soal nerusin usaha keluarga, dan kondisi kesehatan Tante Saleha yang memburuk. Then … tahun itu juga lo baru balik dari Belanda. Kita jadi sering nongkrong bareng, hubungan kalian semakin dekat, dan …” Gegas mengedikkan bahu. “Sisanya lo tahu sendiri.”
“Egi terima pernyataan cinta gue padahal dia masih sama Seruni?” tanyaku.
Gegas mengangguk. “Gue nggak setuju, tapi gue ngerti posisi Egi waktu itu. Tante Saleha selalu sayang sama lo, Ra. Tara yang rajin, Tara yang siswa teladan, Tara yang nggak neko-neko. Dari zaman kita SMA pun, lo udah jadi murid favorit Tante Saleha.”
Seharusnya aku senang, tetapi ini justru menyedihkan. Egi bersamaku bukan karena dia mencintaiku, melainkan karena dia ingin menyenangkan mamanya.
“Egi bilang, kalau dia pacaran sama lo, Tante Saleha nggak akan mikir aneh-aneh lagi, jadi beliau bisa fokus memulihkan kesehatan. Jadi, saat itu Egi menjalin hubungan sama dua orang, lo dan Seruni.”
“Seruni tahu?” tanyaku spontan.
Gegas menggeleng.
“Dia tahu beberapa bulan kemudian dan marah besar. Hubungan Egi dan Seruni berhenti di situ, setidaknya dari pihak Seruni—”
“Tunggu,” tahanku. “Lo tahu soal ini dari mana? Bukannya waktu itu hubungan lo sama Egi udah nggak baik?”
“Dari Seruni,” jawab Gegas. “Dia sepupu gue, Ra.”
Ah.
“Waktu Tante Saleha meninggal di tahun 2016, Egi sempat nyoba nemuin Seruni lagi buat memperbaiki hubungan. Dia—”
“Wait.” Lagi-lagi aku memotong. “Egi ngajak balikan Seruni setelah Tante Saleha meninggal?”
Illustration by Hipwee
Seolah terpaksa melakukannya, Gegas mengangguk setengah hati.
“Tapi Seruni menolak dengan tegas,” katanya buru-buru. “Saat itu, Seruni juga sudah ketemu sama suaminya sekarang. Tiga bulan setelahnya, Seruni nikah sama Bang Samuel. Jadi, kalau lo tanya apakah Egi selingkuh sama Seruni setelah hubungan mereka berakhir? Ya jawabannya enggak.”
Padahal, akulah yang menemani Egi begadang di rumah sakit menunggui Tante Saleha. Akulah yang rela ngantor dari rumah sakit menggantikan Egi karena dia ada presentasi penting yang tidak bisa ditunda. Aku juga yang mendampingi Egi di hari kepergian papa dan mamanya. Aku yang membantunya mengurus pemakaman Tante Saleha karena kakak Egi masih berada di luar negeri sementara Egi sendiri sedang tidak bisa memfungsikan pikiran dan fisiknya untuk urusan lain selain berduka. Setelah semua itu, Egi berniat meninggalkanku dan mengejar cinta lamanya? Bagaimana bisa pikiran itu bahkan terlintas di benaknya? Apakah sejak awal, aku memang tidak pernah masuk ke ruang hati Egi?
“Cuma itu yang bisa gue ceritain, Ra. Gue nggak tahu surat-surat yang lo maksud, tapi mungkin itu karena rasa bersalah Egi ke Seruni.”
Aku menggeleng dan membuang pandang ke arah daycare yang kini sepi. Bukan. Tidak sesederhana itu. Surat itu adalah bukti bahwa Egi tidak pernah membuang nama Seruni dari hatinya hingga akhir hayat.
“Yang jelas, itu semua masa lalu, Ra. Udah berakhir.”
Aku kembali menatap pria di depanku lekat-lekat. Sekarang aku mengerti kebencian Gegas pada Egi. Tentunya kepadaku juga. Aku ingat pandangan Gegas ketika aku memberitahunya bahwa aku dan Egi jadian. Pasti saat itu, aku berubah menjadi cewek jalang yang merebut pacar orang lain. Pacar sepupunya.
Bagaimana rasanya mengetahui bahwa dirimulah yang jadi penjahatnya?
Sesak. Lidah terasa kelu dan air liurku mendadak mengental. Begitu banyak hal yang berkecamuk dalam pikiranku. Ada begitu banyak hal yang ingin kusampaikan, tetapi pada akhirnya aku hanya bisa bergumam.
“Maaf.”
***
Dua hari sejak pertemuanku dengan Gegas, aku izin tidak masuk kerja. Badanku terasa sakit dan pikiranku tidak bisa diajak bekerja. Jarak terjauh yang bisa kutempuh dari kasur adalah kamar mandi. Selasa pagi, Kak Canti, kakak ipar Egi meneleponku, mengabarkan tentang acara 40 harian meninggalnya Egi. Sejak hari itu, serangan asam lambung datang bertubi-tubi. Kamarku berbau seperti muntahan basi.
Illustration by Hipwee
Rabu siang, papa menelepon untuk mengecek keadaanku. Saat kubilang aku sedang tak enak badan, papa segera mengeluarkan wejangan-wejangan agar aku tidak larut dalam duka. Papa berkata, Egi yang baik pasti juga tidak ingin aku terus-terusan berduka seperti ini. Egi pasti ingin aku melanjutkan hidup dan bahagia.
Papa mengakhiri wejangannya dengan kalimat, “Yakin saja kalau Tuhan punya rencana lain buat Tara. Sudah, ya? Jangan sedih terus-terusan. Kasihan Egi juga.”
Perutku yang sempat reda karena konsumsi obat mag kembali bergejolak. Setelah papa mengakhiri pembicaraan, aku tertawa seperti orang gila. Baru berhenti ketika aku muntah lagi.
Betapa menggelikannya hidup ini. Hatiku begitu sesak, tetapi aku tak bisa mengeluarkan segala sampah di dalam sini tanpa menyebut-nyebut bahwa Egi menjadikanku selingkuhannya tanpa sepengetahuanku. Ingin rasanya aku membunuh pria berengsek itu, tetapi Egi sudah lebih dulu pergi. Meninggalkanku sendiri dengan beban perasaan yang rasanya terlalu sulit kumengerti.
Lelah dengan semua orang yang berusaha menghubungi dan menanyakan keadaanku, kumatikan saja ponselku dan kusimpan di dalam laci. Kamis pagi, saat aku berusaha bertahan hidup dengan menelan sereal, telepon unit apartemenku berbunyi.
“Apakah Ibu Tara baik-baik saja?”
Aku mengerutkan dahi. Sejak kapan resepsionis di lobi memilih job desc baru menanyakan keadaan penyewa apartemen?
“Baik,” jawabku.
“Di bawah ada tamu untuk Ibu Tara. Menurut beliau, ponsel Ibu Tara tidak bisa dihubungi.”
“Siapa, Mbak?”
Terdengar suara bisik-bisik di seberang, mungkin resepsionis sedang menanyakan identitas tamuku.
“Pak Gegas Pramayudha, Bu,” katanya kemudian.
Keherananku semakin menjadi-jadi. Gegas? Untuk apa dia datang ke sin … ah! Dari mana dia tahu aku tinggal di sini?
“Tamunya mau diterima atau tidak, Ibu?” tanya resepsionis lagi.
Aku menelan ludah. “Oke, Mbak. Tapi saya lagi nggak enak badan dan nggak bisa turun ke bawah. Bisa tolong kasih dia akses untuk naik, Mbak?”
“Oh, kalau begitu biar nanti diantar Pak Satpam ke atas, ya, Bu.”