Yang Disimpan oleh Waktu chapter 4/ Illustration by Hipwee via hipwee.com
JANUARI 2018
Sepakat tentang tema pernikahan outdoor saja ternyata tidak cukup menyamakan suara kami atas semua hal. Nyatanya, di balik tema outdoor, ada banyak item lain yang harus kami perhatikan. Atau perdebatkan.
“Ini model kursi rotan terbaru yang lagi hits digandrungi para calon pengantin, Kak. Bentuknya klasik, dudukannya pun nyaman. Mau pakai yang ini aja?” tawar wedding planner.
Egi menatap katalog dekorasi pelaminan yang ditawarkan selama beberapa detik, lalu ia berpaling kepadaku.
“Menurutmu gimana?” tanyanya. “Aku baru lihat gambarnya aja sudah capek. Apa nggak bisa pake sofa aja, Mbak?”
Sontak aku menepak lengan Egi. “Masa sofa, sih? Mana cocok?! Ini kan pesta outdoor. Ya, bagusan kursi rotan, yang kelihatan lebih alami dan artistik. Klasik juga.”
“Oh gitu … ya udah, ini juga bagus. Aku ngikut kamu aja deh, Sayang,” katanya, sembari meraih ponselnya di atas meja.
“Tuh kan … kamu sebenarnya niat nggak sih? Apa-apa ngikut, apa-apa terserah aku, emangnya yang nikah aku doang?!” Omelku.
Egi memandangku dengan ekspresi putus asa. Aku kesal karena Egi tidak peka-peka.
***
Sebenarnya, apa itu rasa takut?
Aku mendefinisikannya dengan perasaan tak nyaman yang muncul dengan begitu lugas. Seolah-olah aku sedang menyambut sebuah hal buruk yang aku tahu cepat atau lambat pasti akan terjadi. Wujudnya terkadang berupa rasa mulas di perut, terkadang ditambah sesak di dada, atau buyarnya konsentrasi yang disertai keinginan tidur panjang untuk melewatkan segala yang berpotensi menyakiti.
Di sisi lain, hatiku seperti menebal. Mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk tentunya sebuah kerja ekstra tubuh. Tak heran bila keringat dingin mulai muncul di dahiku, padahal ini ruangan ber-AC. Telapak tanganku basah dan dadaku terasa panas.
Ekspresi Gegas tidak banyak membantu. Diamnya membuatku memikirkan yang lebih buruk dari yang terburuk.
“Itu bukan anak Egi, kan?” tanyaku seperti merengek, seolah hal itu bisa mengubah sesuatu.
Gegas tersenyum kaku. “Bukan, kok.”
Tanganku secara refleks menyentuh gelas iced lemon tea milikku yang ada di meja. Jika saja aku tak segera menyugesti diri untuk lebih tenang, mungkin aku sudah menyiram Gegas dengan minumanku. Mengapa dia merasa perlu memasang ekspresi buruk jika jawabannya bukan itu?
“Oh,” gumamku lirih, menahan gondok di hati.
“Itu anak Seruni dengan suaminya. Mereka menikah tahun 2016. Anaknya lahir awal 2017.”
“Jadi, Egi selingkuh dengan istri orang?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibirku.
Lagi-lagi Gegas tidak segera menjawab. Ekspresinya seperti sedang mempertimbangkan sesuatu, dan itu semakin membuatku kesal. Mengapa Gegas seolah menikmati siksaan yang kurasakan? Mengapa dia menunda-nunda, padahal dia hanya perlu menjawab “ya” atau “tidak”? Apa penderitaanku selama berminggu-minggu ini hanya lelucon baginya?
Laki-laki itu menghela napas panjang. “Kenapa lo pengin tahu soal ini, Ra?” tanyanya.
Mataku membeliak. Bagaimana mungkin dia masih mempertanyakan masalah itu? “Kenapa lo berpikir gue nggak perlu tahu?” tanyaku tak habis pikir.
“Maksud gue ….” Gegas menggaruk belakang kepalanya, sedikit bingung. “Egi udah nggak ada.”
Aku tahu.
“Jadi, apa yang sebenarnya lo cari?”
“Kebenaran. Penjelasan. Apa pun.”
“Apakah informasi yang lo cari ini bakal mengubah sesuatu?”
Aku mengerti apa maksud pertanyaan Gegas. Faktanya, kini Egi sudah mati. Selingkuh atau tidak selingkuh, baik aku atau pun perempuan itu, tak ada yang bisa memiliki Egi. Namun, kenapa Gegas tak memahami posisi dan perasaanku sama sekali?
“Mengubah kenangan tentang Egi di pikiran gue,” jawabku lirih.
Mendadak hidungku terasa panas. Ini waktu yang salah. Sialan! Aku tidak boleh menangis di hadapan Gegas!
“Oh, ya?” Gegas menatapku tertarik. “Tapi, apa informasi tentang hal ini akan mengubah fakta yang lain? Misalnya … gimana Egi memperlakukan lo selama ini? Atau komitmen yang Egi buat untuk membina rumah tangga sama lo?”
“Gue … nggak ngerti, Gas,” jawabku dengan perasaan sesak yang seperti membekap dada.
Aku benci dengan pertanyaan ini. Aku benci dengan pembicaraan ini. Aku benci dengan apa pun yang kupikirkan. Jujur saja, belakangan ini sebuah pemikiran gila sering muncul di benakku. Sebuah ketakutan tebersit begitu saja. Jika Egi tidak pergi dan pernikahan kami berjalan sesuai rencana, bukankah aku tidak akan pernah tahu tentang hal ini? Bukankah itu berarti aku hidup dengan pria yang berselingkuh? Pria yang tega mengkhianatiku dan mendua? Lantas sekarang, tentang fakta bahwa Egi pergi untuk selamanya, haruskah aku bersyukur atau meratap? Pikiran kejam ini menggila, tak bisa kukendalikan, membuatku terkadang membenci diri sendiri, membenci Egi, membenci apa pun yang muncul dalam pikiranku.
“Tara?”
Aku menatap Gegas dengan pandangan yang kabur. Manusia macam apa yang bersyukur kekasihnya mati sepuluh hari sebelum mengucap janji suci? Manusia macam apa aku ini? Terlebih … manusia macam Egi? Manusia macam apa sebenarnya pria yang semestinya kunikahi sebulan yang lalu itu?
Lalu tangisku pecah di sini. Kutelungkupkan wajahku ke atas meja dan aku menangis sejadi-jadinya. Tangis yang tidak pernah muncul sejak aku menemukan surat-surat itu. Tangis yang, anehnya, mendadak membuat perasaanku lebih nyaman sebab membuktikan bahwa aku manusia. Bahwa perasaanku masih berada di tempat yang tepat.
Sepuluh menit Gegas membiarkanku tenggelam dalam kecamuk perasaan dan kebingungan. Ia mendorong kotak tisu ke dekatku, lalu dengan canggung mengulurkan beberapa lembar kepadaku. Kutelan sisa-sisa tangisku, pembicaraan ini tidak akan menuai hasil jika aku tenggelam dalam emosi.
“Yang jelas ….” Aku berbicara dengan suara serak. “Soal Seruni ini bikin hidup gue nggak beres.”
Gegas tidak menjawab, tetapi aku tahu dia mendengarkan.
“Nggak tenang. Banyak pikiran gila yang muncul di benak gue.” Kuusap wajahku dengan frustrasi. “Benar kata lo tadi, gue pengin mengenang Egi dengan hal-hal baik. Bahwa dia pria yang baik dan bertanggung jawab, tapi … kalau soal ini belum jelas, gue nggak bisa … gue bingung … rasanya—”
“Oke,” potong Gegas. “Gue paham.”
Kuusap sisa air mataku dengan tisu dari Gegas. “Mungkin ini nggak penting bagi orang lain. Mungkin kalian bakal bilang gue cewek kejam yang tega mengorek-ngorek masa lalu orang yang sudah nggak ada. Tapi buat gue ini—”
“Lo tahu … gue udah coba tanya ke semua orang, dan mereka semua bilang ‘Tanya Gegas’, ‘ Coba ke Gegas’, ‘Gegas pasti tahu’.” Kuhela napas panjang. “Jadi, tolong bantu gue cari jawabannya, Gas. Apa benar, Seruni itu perempuan kedua di antara gue sama Egi?”
Awalnya Gegas sudah membuka mulut, terlihat hendak menjawab. Namun, entah mengapa, mendadak ia berhenti dan menggantinya dengan gelengan kepala.
“Egi nggak selingkuhin gue?” tanyaku memastikan.
Gegas menggeleng.
“Atau … jangan bilang …. gue yang kedua?”
Kali ini Gegas tidak merespons apa-apa. Ia hanya terdiam dan menatapku dengan ekspresi meminta maaf.