Yang Disimpan oleh Waktu/ Illustration by Hipwee via hipwee.com
JANUARI 2015
“Ngapain kamu ngajakin orang itu ke Solbean?”
Aku yang tengah mengetik di laptop mendongak. Egi memandangku dengan ekspresi kesal.
“Orang itu?” tanyaku tak mengerti.
“Gegas,” jawabnya dengan sedikit tak rela, seolah-olah mengucapkan nama itu membuat level stresnya langsung melonjak di titik maksimum.
Aku bergumam ‘oh’. “Ya memang kenapa? Udah lama kita nggak ketemu, kan?”
Egi mendengkus. “Aku nggak suka kamu masih kontak-kontakan sama dia, Tara.”
Kali ini sebelah alisku mencuat naik. “Kenapa?” tanyaku bingung.
Tidak biasanya Egi membatasi ruang gerakku. Apalagi, melarangku bergaul dengan seseorang. Lagipula, ini kan Gegas? Sahabatnya juga?
Menyadari sikapnya yang mungkin aneh, Egi berdeham sembari menggaruk kepalanya.
“Sebenarnya begini, hubunganku sama Gegas nggak bagus. Jadi, kalau kita ketemu bertiga yang ada malah bakal awkward. Ya, kan?”
Aku berpikir sebentar. Lalu, kutaruh laptopku di meja dan aku beranjak mendekati Egi.
“Sebenarnya ada apa? Kenapa kalian jadi musuhan begini?” Tanyaku. “Kalau ada masalah kan harusnya bisa dibicarakan. Kamu sendiri paling kenal Gegas, Gi. Dia orang baik, kan? Pasti bisa diajak ngomong secara dewasa.”
“Orang baik kata kamu?” Egi memasang ekspresi sinis. “Pengkhianat itu selalu merasa dia yang paling benar sedunia. Semua salah, yang benar dia doang.”
Aku tertegun. Baru kali ini aku melihat Egi merespons sesuatu dengan kebencian yang terlalu terang-terangan.
***
Berkebalikan dengan Egi, Gegas adalah pria yang sedikit murung. Bukan murung dalam artian memendam kebencian pada dunia, melainkan pembawaannya memang demikian. Bicara secukupnya. Tertawa secukupnya. Tersenyum secukupnya. Gegas mungkin adalah orang paling hemat sedunia yang tak membuang-buang energinya secara berlebihan.
Jika Egi adalah lampu pesta, maka Gegas adalah sayup-sayup musik pengiring yang menenangkan tetapi juga bisa menghanyutkan. Dengan Gegas, orang akan sulit membuka pembicaraan. Namun, sekalinya terjalin obrolan, bisa berlangsung semalaman. Orang itu definisi ensiklopedia berjalan yang nyambung diajak ngobrol apa saja.
Mengingat Gegas membuatku harus membuka memoriku tiga tahun ke belakang. Terakhir kali aku bertemu dengannya adalah awal tahun 2015 lalu. Itu juga bukan pertemuan yang disengaja karena kami berjumpa di bandara. Gegas bahkan tidak berhenti untuk bertanya kabar. Entah dia sedang sibuk atau memang menghindar.
Sama seperti namanya, Gegas selalu bergegas. Namun, itu bukan jenis terburu-buru seperti yang aku dan Egi lakukan setiap hari. Bermacet-macet ria di jalan, lembur kejar setoran demi bonus bulanan, dan segala rutinitas yang membosankan lainnya. Itu benar-benar ‘nggak Gegas banget’. Bergegas dalam versi Gegas adalah ide-ide yang berjubelan di kepalanya. Gegas selalu punya rencana dan juga cara untuk mewujudkannya. Sejak SMA, dia selalu didapuk menjadi konseptor jika ada acara-acara yang membutuhkan koordinasi bersama. Setelah lulus kuliah pun, Gegas membuka banyak usaha. Mulai dari travel agent hingga membuka sanctuary hewan, Gegas seolah tak pernah kelelahan.
“Gue nggak tahu sih, Ra. Udah nggak nyimpen nomor Gegas. Nggak pernah ketemu juga,” kata Sari, salah satu teman kuliah kami, saat aku menanyakan kontak terbaru Gegas. “Emang lo nggak pernah ketemu juga, Ra?”
Aku menggeleng. Sejak hubungan Egi dan Gegas memburuk, mau tak mau aku pun terkena imbasnya. Egi selalu cemberut jika aku menyebut-nyebut soal Gegas. Aku pun berusaha menjaga perasaan Egi dengan tidak sering-sering membicarakannya. Di sisi lain, Gegas juga semakin jarang muncul di acara-acara teman SMA dan kuliah. Alhasil, perlahan-lahan nama Gegas seperti terlupakan. Kali terakhir aku mencoba menghubungi Gegas adalah ketika Sari menikah tahun 2016 lalu, tetapi nomor yang kumiliki sudah tidak aktif lagi.
Aku sendiri tidak tahu mengapa Egi dan Gegas berhenti bersahabat. Egi tidak pernah membicarakannya. Hanya saja, jika sampai membuat dua sahabat sejak remaja itu sampai berhenti berhubungan, pastinya itu bukan perkara sepele ataupun sembarangan.
“Udah cek IG-nya belum?”
Sontak aku menatap Sari yang tengah menimang-nimang bayinya. “IG? Gegas?”
Sejauh yang kutahu, sejak dulu Gegas tidak main Facebook, Twitter, apalagi Instagram.
“Lah, siapa tahu?”
Memikirkan kata-kata Sari mungkin benar, aku segera membuka aplikasi Instagram di ponselku. Kuketik nama lengkapnya, Gegas Pramayudha. Ada banyak hasil yang muncul, tetapi semua bukan Gegas yang kucari. Aku sudah menduganya. Orang seperti Gegas tak mungkin punya akun media sosial pribadi. Dia memang eksis, tetapi Gegas adalah tipe orang di belakang layar. Bisa juga dia tak punya waktu untuk foto-foto estetik demi konten di media sosial.
“Ra, gue salut sama lo,” kata Sari tiba-tiba.
Aku mendongak dari layar ponsel, menatap satu-satunya sahabat perempuanku yang masih kontak hingga sekarang.
“Kenapa gitu?” tanyaku heran.
Sari berdecak. “Apa lagi? Karena lo kuat banget,” katanya. “Lo bikin gue yakin bahwa Tuhan nggak akan ngasih cobaan melampaui kekuatan hambanya. Lo tegar banget. Kalau gue ngalamin apa yang lo alami, nggak tahulah …. Nggak tahu gue.”
Aku menelan ludah. Terkadang-kadang aku menanyakan hal yang sama pada diriku sendiri? Belum tiga minggu Egi pergi, tetapi aku malah sibuk dengan hal-hal lain. Apakah memang aku tidak punya hati?
***
Dibutuhkan kemampuan setara intel untuk menemukan Gegas. Kuhabiskan waktu dua hari setelah percakapanku dengan Sari untuk mencari jejak Gegas. Aku menelusuri semua data yang mungkin bisa berguna. Hingga akhirnya, aku menemukan sebuah website traveling yang mencatumkan foto Gegas tengah memandu perjalanan turis di Nepal. Kiriman itu diunggah tahun 2017, tetapi akun IG website tersebut masih aktif sampai sekarang. Lalu aku meneliti satu per satu following akun tersebut, yang untungnya hanya 700 orang. Sampai akhirnya, kutemukan satu akun dengan nama @kausbiru. Kemudian, aku ingat dulu di kampus Gegas dijuluki sebagai cowok biru karena bajunya itu-itu saja. Kalau nggak biru muda, biru tua, biru laut, ya biru dongker.
Benar saja. Hanya ada empat unggahan di akun itu, tetapi salah satunya menampilkan foto Gegas sedang mendayung perahu. Tanpa menunggu lama, aku segera mengirimkan DM untuk memastikan bahwa dia adalah Gegas yang kucari.
Aku sempat pesimis akun itu tidak aktif. Untung saja, tiga hari kemudian balasannya muncul.
Turut berduka soal Egi, Ra.
Maaf gue belum bisa hadir
Yakin bahwa itu benar-benar Gegas, tanpa basa-basi aku langsung mengajaknya bertemu. Aku tahu bahwa sikapku sedikit terburu-buru, tetapi jika hanya Gegas yang bisa menjawab pertanyaanku, maka aku akan melakukan apa pun untuk itu.
Seperti yang kuduga, Gegas dengan halus menolak permintaanku. Ia bahkan tidak mau memberiku nomor teleponnya dengan berbagai alasan. Gila! Apa sebenci itu Gegas pada Egi sampai-sampai dia membenciku juga?
Putus asa, aku menyebut persoalan utamanya. Kufoto surat-surat Egi untuk Seruni, lalu kukirimkan kepada Gegas.
Ini soal Seruni.
Please? Gue nggak mau gila sendiri.
Barulah setelah itu, Gegas berkenan menemuiku.
Gue lagi di Wamena
Minggu depan balik ke Jkt
Nanti gue kabari lagi gimananya
Maka, di sinilah aku hari ini. Enam hari dari percakapan melalui DM itu, Gegas mengirimkan nama sebuah kafe dan alamatnya yang ada di daerah Cikini. Anehnya, Gegas mengajak bertemu di hari kerja, tepat pukul dua siang, saat aku seharusnya masih duduk cantik di kantor. Namun, kuputuskan untuk tidak banyak bertanya karena aku takut Gegas akan ngambek dan kembali ke Wamena sebelum menjelaskan segalanya.
Pukul dua tepat, aku masih menunggu. Entah karena sudah lewat jam istirahat atau memang kafe ini tidak terlalu laku, aku adalah satu-satunya tamu di kafe mungil dengan interior serba kayu itu. Mungkin juga karena letak kafenya sedikit terpencil, berseberangan dengan daycare atau tempat penitipan bayi yang mungil, tetapi rapi dan asri. Aku duduk di sisi jendela kaca, menatap jalanan, menunggu Gegas yang tak kunjung datang. Aku tak bisa menanyainya sudah sampai mana karena Gegas tidak memberiku nomor teleponnya. Kami janjian lewat Instagram, seperti dua orang asing yang berhubungan untuk urusan pekerjaan.
Apa memang sedangkal itu hubungan kami sekarang?
Untuk membunuh waktu, kuputuskan untuk membuka Instagram. Sampai hari ini, DM-DM masih saja berdatangan ke akunku. Semuanya mengucapkan kesedihan dan belasungkawa atas kepergian Egi. Meski bukan selebgram, followers-ku dan Egi meningkat drastis sejak sebuah portal online membahas tentang duet cover lagu yang kami upload ke YouTube. Lagu “Lucky” dari Jason Mraz dan Colbie Caillat tentu. Lagu yang kini kubenci.
Menurut netizen, kami adalah pasangan muda yang sama-sama berbakat dengan gaya pacaran yang sehat dan hangat. Singkatnya, banyak yang kemudian mengikuti akun kami dan meninggalkan komentar #relationshipgoals di setiap foto berdua yang aku atau Egi unggah.
Aku sedih, padahal kalian itu couple goals aku T_T
Yg tabah ya Kak Tara sayaang. Kak Egi orang baik, pasti dapat tempat yg baik jg
Semangaaatt!!
Begitu tulis sebuah akun dengan username @penunggusenja di postingan terakhirku yang kuunggah sebelum kepergian Egi.
Aku tersenyum kecil. Namun, rasa geli di hatiku begitu membuncah, hingga akhirnya aku tertawa. Pemilik kafe yang berada di balik meja bar menatapku bingung, tetapi aku tak peduli.
Egi orang baik? Dulu iya. Sekarang? Entahlah, aku mulai tidak yakin. Orang yang baik semestinya tidak mendua bukan?
Illustration by Hipwee
“Sori, keretanya telat tadi.”
Aku mendongak ketika sebuah suara berat menyapaku. Gegas muncul dengan ransel besar di punggung. Ditaruhnya ransel itu di kursi kosong di sebelahku, lalu ia menarik satu kursi lagi di hadapanku.
Aku tidak terlalu ingat bagaimana penampilan Gegas di pertemuan terakhir kami. Namun, Gegas yang duduk di depanku sekarang berambut sebahu yang diikat ke belakang dan bercambang halus di sekeliling rahangnya. Pipinya sedikit tirus, dan ada kerut-kerut halus di sudut matanya. Seperti biasa, kaus biru membalut badannya. Kali ini biru toska, ditumpuk dengan kemeja kotak-kotak yang tidak dikancingkan dan lengannya digulung sesiku.
“Apa kabar, Ra?” tanyanya.
“Baik,” jawabku, masih sedikit takjub, hingga bibirku mengatakan jawaban otomatis yang sebenarnya tak sesuai. Mana mungkin aku baik-baik saja?
Wajar bila kemudian Gegas mengerutkan dahi. “Baik, tapi kurang tidur, ya?”
“Well … yah, you know lah ya,” responsku sedikit kagok. “Jadi, tolong kasih tahu gue yang sebenarnya, Gas. Lo pasti tahu sesuatu, kan?”
Gegas berdeham, lalu dia memesan secangkir long black kepada pegawai kafe.
“Lo tahu kan kalau gue bela-belain pulang ke Jakarta buat hari ini?” Gegas berkata datar. “Gue mau bantu lo, tapi ini nggak gratis.”
Mataku membeliak. Sempat aku mengira salah dengar, tetapi ekspresi datar di wajah Gegas membuatku yakin bahwa pendengaranku masih normal.
“Nggak gratis?” Ulangku bingung.
“Gue berkorban waktu dan uang.” Gegas membela diri.
Baiklah. Kamu berekspektasi terlalu tinggi soal ini, Tara. Gegas bukan lagi Gegas yang kukenal. Gegas bukan lagi Gegas yang dulu selalu bilang, ‘Bilang kalau butuh bantuan, jangan diam aja kayak patung. Gue bukan cenayang.’. Oke, baiklah. Tak ada lagi relasi persahabatan yang tersisa di antara kami.
“Iya, oke,” kataku dengan suara parau. Hatiku penuh dengan rasa kecewa, tersinggung, dan kehilangan yang tak jelas juntrungannya. “Apa pun imbalan yang lo minta.”
“Good,” ujar Gegas sembari mengangguk puas.
“So? Siapa Seruni?”
Gegas tidak segera menjawab. Ia malah memalingkan wajah, memandang ke luar kafe.
“Lo pasti tahu kan, Gas?” kejarku. “Apa benar Egi selingkuh di belakang gue?”
Mengucapkannya saja sudah membuat ludahku mengental. Fakta yang satu ini kadang-kadang membuatku mual.
Gegas masih belum menjawab. Aku pun mulai kesal karenanya.
“Gas! Iya benar, gue kurang tidur. Gue nggak bisa hidup tenang sebelum pertanyaan-pertanyaan di kepala gue ini terjawab! Seruni itu siapa?!”
Alih-alih menjawab, Gegas malah menunjuk ke arah luar jendela. Tepatnya ke arah daycare di seberang kafe. Aku mengikuti arah telunjuknya. Pintu gerbang daycare itu kini terbuka.
“Itu,” kata Gegas tiba-tiba.
“Itu apa?!” tanyaku kesal.
“Itu Seruni. Yang barusan keluar.”
Illustration by Hipwee
Lagi-lagi aku menatap ke seberang. Seorang ibu muda berambut pendek sebahu tengah menggendong bayi laki-laki yang mungkin baru berusia 1,5 atau 2 tahun. Si anak nampak mengantuk, sedang perempuan itu masih berbincang dengan pengurus daycare.
“Seruni dan anaknya.”
Sontak aku menoleh pada Gegas dengan pandangan horor. Semua hal buruk muncul di pikiranku dan mulai tidak terkendali. Rasanya mendadak aku tak ingin melanjutkan pembicaraan ini. Tidak, bukan tidak ingin, melainkan tidak sanggup.
“Jangan bilang … itu anaknya Egi?” tanyaku dengan suara bergetar.
Gegas hanya menatapku. Menunggu. Seolah dia tahu bahwa emosi akan segera meledak dalam diriku.