Yang Disimpan oleh Waktu Chapter 1/ Illustration by Hipwee via hipwee.com
NOVEMBER 2017
Aku pernah sangat anti membayangkan sebuah pernikahan. Bahkan, aku sempat menasbihkannya sebagai kata paling menggelikan yang tak mungkin kulakukan. Namun, yang sebenarnya terjadi adalah, aku takut.
Ibuku bertahun-tahun tertekan mengurus anak-anak yang menuntut banyak hal dan suami yang tidak bisa diandalkan. Jika Ibuku, perempuan terkuat yang pernah kulihat saja memilih untuk menyerah dan pergi, bagaimana denganku yang masih sering tergoda berkeluh kesah di media sosial?
Itu dulu.
Sekarang? Entah ke mana ketakutan dan koar-koar untuk hidup sendirian selamanya itu menghilang. Sejak dia menatapku serius—sesuatu yang cukup jarang Egi lakukan—, memegang kedua tanganku, dan menyelipkan sebuah cincin yang pas di jari manisku, lalu bertanya, “Mau nggak pusing mikirin soal sekolah anak-anak bareng aku?”, semua pikiran buruk itu seolah hanya kekonyolan yang tak beralasan semata.
Lamaran itu memang tidak seromantis drama Korea atau novel-novel picisan. Setting tempat dan suasananya, kami sedang bermacet-macet ria di jalan. Ada truk terguling yang membuat Tol Lingkar Dalam macet parah. Entah sudah berapa kali aku marah-marah, mengeluh betapa pegalnya pinggangku karena duduk terlalu lama, dan betapa aku ingin mandi karena tubuhku sudah lengket akibat meeting ke sana ke mari seharian. Aku berusaha untuk tidur, tetapi Egi malah mengajakku membahas tentang pendidikan anak—mentang-mentang podcast di mobilnya tengah menyiarkan obrolan tentang biaya sekolah TK di Jakarta yang makin mahal saja.
Memasuki menit ke enam puluh lima, lalu lintas seolah tidak akan pernah bergerak. Egi memutuskan untuk mematikan mesin mobilnya. Lalu, ia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Sebuah kotak kecil berwarna biru tua dengan lingkar emas di bagian tengahnya. Saat dibuka, sebuah cincin berwarna putih yang berbentuk seperti dua tali yang diikat tertangkap mata. Mataku mengerjap memandangnya, ingin memastikan pemandangan ini tidak hilang dalam satu kedipan.
Dilamar saat macet/ Illustration by Hipwee
“Tadinya aku mau kasih nanti di apartemen kamu, tapi karena ini nggak gerak-gerak, yaa … gitulah pokoknya.”
“Ini serius nggak sih, Gi?” tanyaku, masih berusaha untuk tidak gegabah percaya.
Egi mengangguk sembari tersenyum. “Kita kan udah bareng-bareng selama empat tahun, Ra. Udah cukup waktu untuk saling meyakinkan satu sama lain. Aku sih yakin pengin dengerin omelanmu tiap hari. Kalau kamu?”
Aku tersenyum. Sebenarnya, aku masih takut menikah dan membina rumah tangga. Namun, sosok Egi punya jurus khusus yang aku tak tahu apa yang bisa meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Setidaknya, itulah yang kupikirkan hari itu.
***
Aku mengerti bahwa kita hanya bisa berencana, tetapi pada akhirnya hidup memang tidak terprediksi.
Dua minggu menjelang acara pernikahan, persiapan berjalan dengan lancar. Urusan katering, oke. Vendor gedung sudah siap dengan ide dekorasi yang brilian. Suvenir pun aman. Seragam untuk keluarga tak ada masalah. Undangan sudah disebar semua. Wedding singer dan MC sudah deal.
Semuanya sudah sempurna, jadi aku yakin pesta pernikahan ini akan berjalan sebagaimana yang kami inginkan. Namun, baik aku dan Egi masih belum mengajukan cuti. Bahkan, kami berusaha bekerja lebih giat menyelesaikan banyak hal agar nanti cuti kami tidak lagi direcoki soal pekerjaan.
Hari itu, Egi pamit ke Bogor untuk mengunjungi calon nasabah. “Pancingan ikan besar,” begitu katanya saat hendak berangkat. Siang hari, ia mengabari bahwa pancingannya sukses dan ia akan kembali ke Jakarta setelah makan siang. Sayangnya, Egi tak pernah pulang. Sebuah kecelakaan beruntun di tol merenggut Egiku untuk selamanya. Tepat sepuluh hari sebelum hari yang kami rencanakan jadi momen bahagia.
Aku pernah begitu takut pada kematian. You know… kematian itu sebuah kepastian yang tidak pasti. Kematian pasti datang, tetapi kapan, di mana, dan bagaimana, kita tidak pernah tahu. Bagaimana jika saat itu aku tengah mengerjakan sesuatu yang berharga? Bagaimana jika saat kematian tiba aku tengah merancang sebuah rencana hebat dan sudah setengah jalan menuju keberhasilan?
Lagi-lagi segala ketakutan itu luntur. Sebab, kini aku tahu bahwa ditinggal mati jauh lebih mengerikan.
Aku benci tatapan-tatapan mengasihani yang kudapatkan dari orang-orang. Tepukan-tepukan di pundak dan ucapan “Sabar, ya, Ra.”, pelukan-pelukan yang terasa datar, dan tentu saja bisik-bisik di belakangku yang anehnya terdengar begitu jelas.
“Kasihan banget. Mau nikah 10 hari lagi, calonnya malah meninggal. Dosa apa, ya, si Tara.”
“Nggak kebayang gue jadi Tara. Bisa gila kali, gue.”
“Tapi dia kuat lo. Nggak ada gue lihat dia nangis dari tadi. “
Tak tahan dengan suara-suara yang kudengar, kuputuskan untuk beranjak dari ruang tamu rumah keluarga Egi yang masih dipenuhi oleh pelayat di hari ketiga kepergian Egi. Di ruang tengah, aku bertemu dengan Mas Nusa, kakak Egi satu-satunya. Aku minta izin untuk mengungsi ke kamar Egi dan beliau hanya mengangguk sembari menepuk pundakku.
Kamar itu berbau seperti Egi. Aromanya adalah campuran antara krim aftershave dan parfum Egi yang beraroma rempah dan bunga mawar. Situasinya pun persis seperti yang selalu kuingat. Ranjang yang ditinggalkan dalam kondisi rapi, jaket tergantung di balik pintu, dan sandal kamar yang terletak tak beraturan di depan cermin. Seolah-olah Egi hanya sedang ke kantor, lalu akan kembali dalam satu atau dua jam lagi.
Aku duduk di kursi, menatap meja kerja Egi yang sedikit berantakan. Ada beberapa buku tentang digital marketing yang belum selesai dibaca. Ada pula setumpuk komik, dari yang action hingga echi. Lalu, ada juga pigura kecil yang berisi foto kami berdua. Aku dan Egi tertawa menatap kamera. Aku tak ingat kapan foto itu diambil. Mungkin dua atau tiga tahun lalu, menilik dari tubuhku yang jauh lebih kurus.
Kuhela napas panjang. Entah untuk yang keberapa kalinya, aku kembali melirik pintu kamar yang tertutup rapat. Harus diakui, sampai saat ini aku masih berharap Egi tiba-tiba datang, membuka pintu dengan keras, dan berteriak “Taraaaaaa!”, seperti biasanya.
Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kamar. Pintu lemari yang ada di sisi kanan ranjang terbuka sedikit. Aku beranjak mendekat dan membukanya. Deretan baju Egi tertangkap mataku. Lemari ini juga berbau Egi. Kuambil sehelai kaus polo warna hijau army, kuhirup napas dalam-dalam. Benakku bertanya-tanya, akankah aroma ini akan bisa kulupakan?
Membuka lemari/ Illustration by Hipwee
Perhatianku teralihkan pada laci kecil yang ada di tengah lemari. Ada dua laci, salah satunya tidak terkunci. Namun, aku menemukan kunci laci yang lain di laci yang tidak terkunci. Khas Egi, upaya untuk menyembunyikan sesuatu tanpa benar-benar menyembunyikannya. Biasanya aku tak iseng membuka-buka barang pribadi Egi. Namun, aku hanya ingin menyesap kenangannya. Aku ingin menyentuh semua benda yang pernah disentuh olehnya. Memangnya, apa lagi yang bisa kulakukan sekarang, saat ia sudah benar-benar jauh dari jangkauan?
Laci itu berisi dokumen-dokumen penting, mulai dari sertifikat rumah yang Egi beli tahun lalu, BPKB mobil yang barangnya kini tak berbentuk lagi, dan beberapa amplop putih berukuran kecil.
Aku mengerutkan dahi. Suratkah ini? Tak ada nama atau alamat penerima yang tertulis di amplopnya, melainkan hanya sebuah angka di sudut amplop yang sepertinya merupakan tanggal amplop ini dibuat, disiapkan, atau entahlah.
Amplop pertama bertuliskan angka 24/08/2015. Amplop kedua bertuliskan angka 5/06/2017, yang terakhir bertuliskan 18/02/2018. Itu sebulan yang lalu.
Hatiku mulai gamang. Sebagian hatiku ingin mengetahui apa isi dari amplop ini, sedang sebagian yang lain masih ingin menghormati privasi Egi meski dia sudah pergi. Namun, bukankah aku juga berhak untuk mengetahuinya? Siapa tahu ini adalah urusan dunia yang belum sempat Egi selesaikan. Jika demikian, tentu aku harus membantunya, bukan?
Sekali lagi, kuhela napas panjang sembari minta izin pada Egi dalam diam, lalu kubuka amplop dengan tulisan tanggal terbaru. Dugaanku tepat, ini adalah sebuah surat. Entah apakah Egi belum sempat mengirimkannya atau bagaimana, aku belum punya dugaan.
Dear Seruni,
Kamu ingat tidak tentang lagu Jangan Beri Tahu Niah dari Sheila On7 yang dulu sering kita dengarkan? Waktu itu di warung pecel lele, saat radio abang-abang memutar lagu itu, kamu sempat nanya, “Kalau kamu naksir orang lain atau kalau kamu berhenti cinta sama aku, kira-kira bakal ngasih tahu aku nggak, Gi?”
Hari itu kamu bilang bahwa kalau aku nggak mau jadi pengecut, harusnya aku berani ngasih tahu. Lalu, aku mendebat bahwa kadang ada hal-hal yang nggak perlu diucapkan untuk melindungi hati seseorang. Lantas kamu mengerutkan dahi dan menatapku kebingungan. Kamu bilang, “Melindungi? Melindungi gimana maksudnya? Bukannya kalau kayak gitu artinya kamu malah membohingi aku, ya? Bukannya kamu malah jadi orang yang nyakitin aku, ya?”
Seruni, pertanyaan itu menohok sekali. Pada akhirnya, aku adalah pria pengecut yang nggak pernah bisa mengatakan kebenaran. Aku tahu perasaan ini tidak pantas. Namun, aku cuma manusia biasa. Sampai akhir, aku tetap nggak bisa melepas kalian berdua. Aku mencintai Tara. Dan aku masih mencintaimu juga.
Ini akan menjadi surat terakhir yang kutulis. Bulan tiga tanggal 18 nanti, aku dan Tara akan menikah. Aku akan belajar menerima bahwa ini adalah perpisahan kita yang sebenarnya.
With love,
Egi
Banyak surat/ Illustration by Hipwee
Aku tertegun lama setelah mengakhiri surat yang ditulis di kertas cokelat itu. Sampai akhir, aku tetap nggak bisa melepas kalian berdua. Aku mencintai Tara. Dan aku masih mencintaimu juga. Kalimat itu terputar-putar ulang di benakku. Siapa Seruni? Apa maksud… maksudnya Egi berselingkuh?!