We (Don't) Talk About Love chapter 5 via www.hipwee.com
“Kira, mana belanjaan kamu?”
Pertanyaan Mama tidak kujawab sebab otakku seakan macet, yang bisa kupikirkan hanya Candra dan perempuan itu. Bagaimana mereka berinteraksi, senyum Candra yang begitu kusukai ….
Dan, bukan milikku lagi.
“Sayang, kamu nggak apa-apa?” tanya Mama sambil menyodorkan segelas teh hangat. Minggu sore memang kerap dilalui Mama dengan minum teh di halaman belakang. Kedatanganku yang berisik ke dapur tanpa belanjaan yang dimintanya pasti menimbulkan kebingungan.
“Maaf, Ma, aku nggak jadi ke supermarket.” Karena setelah melihat Candra bersama perempuan itu, aku langsung ambil langkah seribu.
Mama mengibaskan tangan. “Mama bisa belanja besok. Kamu kenapa? Nggak enak badan?”
Kugelengkan kepala.
“Berantem sama Candra?”
Responsku terlambat beberapa detik dan hanya itu yang dibutuhkan Mama untuk menatapku penuh selidik.
“Kalian baik-baik aja, kan?” cecar Mama. “Kayaknya sudah lama Candra nggak ke sini. Hampir sebulan? Terakhir pas dia benerin wastafel, itu juga nggak makan malam bareng.”
Kuhirup teh, tapi hangatnya seolah tidak mengaliri tubuhku. Tiba-tiba segalanya begitu menyesakkan dan setetes air mata meluncur di pipiku.
Mama mengambil alih mug di tanganku, lalu membawaku ke pelukannya. Di sanalah aku hancur berserakan. Aku masih menangis ketika Mama menarikku menuju sofa di ruang keluarga. Dia tidak mencecarku lagi, justru sibuk memencet remote hingga televisi menayangkan Gilmore Girls. Kami memang sedang menonton ulang musim pertama, tapi kesibukanku di kantor dan musim pernikahan di hotel tempat Mama bekerja membuat kami terjebak di episode enam. Mama memberiku waktu untuk menenangkan diri.
“Mama nggak ngerti gimana lambung Lorelai bisa survived minum kopi sebanyak itu tiap episodenya,” cetus Mama.
Tawa kecil lepas dari bibirku. “Mungkin isi gelasnya bukan kopi, tapi air putih.”
Beberapa menit terlewati dalam hening, sampai aku menceritakan tentang kata putus yang kuucapkan, perpisahan yang ternyata tidak membawa kebahagiaan, sampai patah hati yang seakan tidak berkesudahan.
“Aku salah ya, Ma?” tanyaku pelan.
Tayangan di TV sudah kami abaikan. Mama menatap lekat, lalu meraih tanganku dalam genggamannya.
“Kamu pikir Candra sama kayak papamu? Karena Candra suka antar-jemput dan selalu mau ikut ke mana pun kamu pergi?”
Aku menggigit bibir.
“Kira, apa perceraian Mama dan Papa bikin kamu trauma?”
Sontak, kugelengkan kepala kuat-kuat. Aku mengerti itu adalah keputusan terbaik untuk mereka, khususnya Mama. Masa kecilku dipenuhi teriakan Papa dan tangis Mama. Papa kerap menuduh Mama selingkuh cuma karena Mama bekerja di hotel. Papa cemburu pada setiap rekan kerja Mama, mengikuti ke mana pun Mama pergi, mendikte pakaian apa yang boleh Mama kenakan, dan tidak segan menghina atau mengecilkan setiap pencapaian Mama. Puncaknya, saat aku berusia 14 tahun, Papa memukuli Mama. Mama pun mengajukan gugatan cerai.
Prosesnya menyakitkan. Papa mempersulit segalanya, bahkan sempat memaksaku ikut dengannya—atau berusaha menculikku, kalau mengutip kata Nenek—dan memukulku sebelum tetangga yang kebetulan lewat menolong. Mama membawaku konseling ke psikolog dan setelah resmi bercerai, Mama satu-satunya yang memastikan aku baik-baik saja. Mama tidak melarang Papa menemuiku, tapi Papa tidak pernah muncul. Sejauh yang aku tahu, Papa juga tidak lagi membiayaiku. Tidak masalah, bersama Mama sudah cukup. Aku utuh.
Peristiwa itu membuatku bertekad untuk tidak menikah sampai benar-benar yakin orang yang kunikahi tidak akan berubah menjadi monster seperti Papa. Atau dalam kasusku dan Candra, sebelum aku terlampau mencintainya sampai tidak sanggup melepaskan, padahal aku tahu hanya aku yang mencintainya. Cinta itu seharusnya berjalan dua arah.
Begitu penjelasan itu kuberikan kepada Mama, air mata menggenangi matanya. Aku benci membuat Mama sedih, apalagi sampai menangis.
“Ma, maaf ….”
Mama menggeleng, lalu menepuk punggung tanganku lembut. “Sekarang coba kamu pikirkan baik-baik. Apa benar sikap Candra seperti papamu?”
Kira berbincang dengan sang mama | Ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Candra memang sering lupa menanyakan pendapatku dalam memutuskan sesuatu, tapi tidak pernah memaksa, aku selalu memiliki pilihan saat bersamanya. Hobinya mengantar-jemput bukan sebuah usaha memata-matai, dia hanya berpikir praktis: tempat tinggal dan kantor kami searah, sudah sewajarnya berkendara bersama. Pun ketika aku bersikeras pergi minum dengan teman-teman, Candra rela mengantar karena dia ingin menjagaku. Komentarnya untuk setiap baju, riasan, dan sepatuku adalah bagus, cantik, cocok buatku. Selama satu tahun dengannya, tidak sekali pun Candra bicara kasar kepadaku. Dan, jelas, dia tidak ringan tangan.
Satu-satunya kekurangan Candra adalah nihilnya kata cinta.
Winny benar, aku punya tendensi mengambil jalan keluar ekstrem. Alih-alih mengobati jari yang terluka, aku memotongnya. Masalahku tidak selesai, aku hanya ahli menghindar.
“Kira.” Mama membelai rambutku lembut. “Kamu tahu Candra bukan papamu. Mereka dua orang yang sangat amat berbeda. Dan, cinta …. Apa pernah terpikir sama kamu, cara Candra bilang cinta itu beda dari kamu atau Mama? Bukan berarti dia nggak cinta, cuma cara menunjukkannya yang nggak sama.”
Mama benar. Candra mengungkapkan cinta dengan cara berbeda. Meski tidak sesuai yang kuharapkan, bukan berarti cinta itu tidak ada.
Astaga, bagaimana aku bisa begini buta? Candra bahkan memperbaiki wastafel rumahku setelah hubungan kami selesai. Dia mungkin baik dan suka menolong, tapi pasti tidak akan sampai taraf seekstrem itu, kan?
Dia mencintaiku.
Atau setidaknya dulu.
“Tapi, Ma, tadi aku lihat Candra—”
“Jangan menduga-duga sendiri lagi. Tanya langsung ke Candra. Oke?”
Perlahan, aku mengangguk, lalu merebahkan kepala di bahu Mama dan membisikkan terima kasih.
***
Saat menekan kontak Dhirra, aku tahu seharusnya tidak menyusuri jalan berputar. Namun, aku juga sadar tidak bisa tiba-tiba merangsek kembali ke hidup Candra begitu saja. Aku harus mengumpulkan informasi supaya tidak gegabah.
“Kira, hei!”
“Hai, Dhir, sori ganggu. Bisa ngobrol sebentar?”
Dhirra terkekeh. “Kaku banget kayak kanebo kering. Kelamaan jalan sama abang gue, sih. Ada apa?”
“Gue … mau tanya sesuatu,” jawabku ragu. “Soal Candra.”
“Duh, iyalah. Buat apa juga lo tanya kabar Bara, nggak nyambung, Ra. Mau tanya apa?”
Aku berdeham. “Candra … sudah punya pacar?”
Hening. Lalu Dhirra terpingkal-pingkal sambil menjerit, “Kirain mau nanya apaan! Tegang banget, tahu!”
“Gue lihat Candra jalan sama cewek di mal,” sahutku sambil meringis. “Jadi?”
“Cewek … Oh!” Tawa Dhirra terhenti mendadak. “Rambutnya panjang dan warna cokelat? Itu anak teman arisan Mami, yang gue ceritain tempo hari. Setelah berminggu-minggu dirongrong Mami, akhirnya Candra luluh. Tuh, kan, lo ngeyel gue bilangin. Terus kalian ketemu gitu? Awkward nggak?”
Tanpa sadar aku menggeleng. “Nggak. Nggak ketemu, maksud gue.”
“So … are you jealous?” goda Dhirra. “It’s okay, abang gue yang satu itu memang keren. Apalagi kodratnya mantan kan memang jadi makin oke setelah putus. Lo mau gimana sekarang? Selama bendera kuning belum berkibar, jalan lo terbuka lebar.”
Kira teringat tentang Candra dan perempuan yang bersamanya di supermarket | Ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Tawaku tidak bisa ditahan. “Lo lagi promosi, Dhir?”
“Iya, sukses nggak? Ayolah, Ra, gue memang nggak tahu apa masalah kalian, tapi gue nggak pernah lihat Candra sebahagia itu sebelumnya. Dia tuh beda sama lo. Dia juga jadi lebih perhatian sama gue, pasti karena lo omelin waktu kita jalan ke Dufan itu. He became the best version of himself when he’s with you and he loves you so much.” Dhirra menghela napas. “Kelihatan jelas dia bucin lo. Ingat, kan, kita pernah ke salon bareng dan dia rela nunggu tiga jam? Yah, dia memang nggak pernah protes kalau diajak Mami arisan atau belanja berjam-jam, tapi pas sama lo tuh dia kelihatan happy.”
Aku mendesah. Tentu saja aku ingat. Sayang, terlambat sadar minimnya ucapan cinta Candra sudah dia ganti dengan sikap-sikap manis yang kulewatkan. Malah kutuduh sebagai tanda-tanda pengekangan.
“Gue banyak salah sama dia, Dhir,” ucapku akhirnya.
“Mami selalu bilang, kalau salah ya minta maaf. Sesederhana itu. Pokoknya gue dukung lo balikan sama Candra. Di mana lagi gue nemu calon kakak ipar yang doyan makan banyak dan jago bungkus kado? Lagian nama lo sudah cocok buat jadi bagian dari keluarga.”
Sekali lagi, tawaku terurai. Setelah mengatakan terima kasih dan memutus sambungan, aku menelepon satu-satunya orang yang bisa kurepotkan untuk merencanakan misi mengejar mantan.