we (don't) talk about love chapter 4 via www.hipwee.com
Pertemuan pertamaku dan Candra terjadi di kasir supermarket.
Aku yang tidak suka membawa uang tunai ketiban sial karena salah memasukkan pin kartu debit yang kuganti sehari sebelumnya. Kartu kredit? Tidak pernah punya, karena Mama cemas soal utang. Hari itu, aku menciptakan antrean panjang akibat proses pembayaran tidak sukses.
Laki-laki yang mengantre di belakangku mengambil alih dengan berkata, “Tolong satuin sama belanjaan Mbak ini.”
Dia mengulurkan sekantong bawang bombai kepada petugas kasir, disusul selembar uang. Belanjaanku hanya beberapa butir apel dan petugas kasir sigap memberi uang kembalian. Laki-laki berkaus polos hitam dengan celana cargo pendek itu mengantonginya sambil melangkah pergi. Aku terkejut karena dia tidak bicara padaku. Maksudku, apa dia tidak mau uangnya kembali?
Pertemuan pertama Kira dan Candra | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Mas!” panggilku. “Tunggu!”
Hal pertama yang kusadari adalah tubuhnya tinggi. Dia tidak terlalu kurus, ototnya pun tidak melembung: pas. Penampilannya terlalu santai untuk ukuran pergi ke mal, tapi melalui pertemuan kedua aku tahu apartemennya berada di belakang mal dan dia pergi ke supermarket karena kekurangan satu bahan untuk masakannya.
“Terima kasih buat bantuannya,” ucapku ketika dia menghentikan langkah. Aku tidak bisa membaca ekspresinya, tapi aku tidak buta untuk menyadari wajahnya tampan. “Boleh minta nomor rekening, Mas? Biar bisa saya transfer uangnya.”
Lama dia menatapku tanpa kata, lalu membalas, “Nggak usah.”
Aku menggeleng keras. “Saya nggak enak kalau nggak ganti uang Mas.”
Lagi, dia terdiam.
Rasanya gemas ingin mencubit, tapi sikap itu mungkin akan membuatku dituntut atas tindak kekerasan.
“Saya Kira,” ucapku dengan tangan terulur.
“Candra.” Dia membalas uluran tanganku, lalu menunduk dan bisa kulihat jelas dia ingin segera kabur.
“Gimana kalau ngopi?” desakku. Jika tidak bertindak cepat, penolongku ini bisa memelesat. Mama membesarkanku agar menjadi perempuan mandiri. Utang sekecil apa pun bisa membuat tensi darahnya naik. “Kita bisa ketemu lagi di sini. Besok, setelah pulang kerja?”
Candra mengerjap. “Kopi?”
Aku mengangguk. “Yup. Just a cup of coffee.Let me thank you for your help. Then we’ll go our separate ways.”
Namun, setelah segelas kopi, kami tidak berjalan sendiri-sendiri. Melalui percakapan selama dua jam yang didominasi olehku, kami tahu film animasi Pixar merupakan favorit masing-masing. Jadilah janji berikutnya untuk menonton Incredibles 2 dibuat. Candra banyak tersenyum seusai menonton itu, aku pun sibuk merekamnya dalam otak karena entah mengapa senyumnya menghadirkan kupu-kupu beterbangan di perutku. Pertemuan-pertemuan setelahnya juga terasa mudah, selancar air yang mengalir tenang di sungai. Bersama Candra membuatku nyaman. Dia begitu mudah untuk dicintai.
Setidaknya sampai aku menyadari hanya aku yang jatuh hati dalam hubungan kami.
***
Aku menyalahkan peristiwa kemarin atas mimpi yang kualami. Mimpi yang sebenarnya pemutaran memori. Pasti karena Candra mengantarku pulang semalam, aku jadi banyak mengingat masa-masa kebersamaan kami. Tidak bisa kumungkiri, aku bahagia bersamanya. Dan, itulah yang membuatnya berbahaya. Semakin aku menyayanginya, akan semakin sulit untuk melepasnya. Aku harus pergi sebelum terlambat. Keputusanku untuk putus sudah benar. Tidak perlu goyah hanya karena nostalgia.
Sambil menendang bed cover, aku menggulung rambut dan turun ke dapur. Mataku terbelalak saat melihat seseorang yang seharusnya tidak ada di rumahku pagi ini.
“Candra? Ngapain?” tanyaku tanpa basa-basi.
Laki-laki itu menoleh, tapi jawabannya tak kunjung keluar karena tatapannya terkunci padaku. Bingung, kutundukkan kepala untuk mencari penyebabnya.
“Oh, sori!” Secepat kilat aku berlari menuju ruang jemur pakaian yang berada di samping dapur. Wajahku terasa panas karena tank top yang kugunakan untuk tidur sama sekali tidak menyembunyikan fakta aku tidak pakai bra. Berpikir akan lebih konyol kalau sembunyi, aku memaksakan diri kembali menemui Candra.
“Hai,” sapaku. Kali ini sudah tampil layak dengan kaus longgar, tak lupa bra di dalamnya.
Candra mengangguk, wajahnya bersemu. Dia berdeham sebelum berkata, “Tadi mama kamu yang bukain pintu sebelum berangkat kerja. Minggu lalu aku janji benerin wastafel di kamar mandi depan, kata mama kamu agak tersumbat dan pipanya bocor.”
Candra datang untuk memperbaiki wastafel | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Aku ikut mengangguk-angguk. Memang khas Candra, tidak bisa menahan diri untuk menolong orang lain. “Maaf, aku belum sempat bilang kalau kita putus,” sahutku.
Entah apa yang kuharapkan dari balasan Candra, yang jelas bukan, “Nggak apa-apa, aku sekalian mau ambil barang.”
“Barang?” tanyaku bingung.
“Meja lipat, mouse ….”
Tentu saja. Barang-barangnya yang ditinggalkan di sini untuk keperluan saat kami berkencan di rumah. Seringnya terjadi ketika dikejar deadline. Walaupun setelah kuingat-ingat, kencan-kencan kami lebih banyak dihabiskan di rumahku atau apartemennya. Barang milikku pun berserakan di apartemen Candra. Aku bahkan memiliki bantal di sana, meski belum pernah menginap karena sesuka apa pun Mama terhadap Candra, beliau tidak mengizinkan anak gadisnya bermalam di tempat laki-laki yang bukan suaminya.
“Kamu bisa ambil barang di apartemenku kapan pun kamu sempat, kabari aja,” lanjut Candra tanpa beban. Dia melangkah menuju kamar mandi yang berbatasan dengan ruang tamu, sibuk memperbaiki wastafel rumahku, tanpa menyadari aku yang membeku.
Ternyata benar dugaanku. Hanya aku yang jatuh cinta dalam hubungan lalu. Candra baik-baik saja setelah putus. Aku tidak memiliki efek apa pun dalam hidup laki-laki itu. Ya, Candra memang baik dan bertanggung jawab—buktinya dia rela kerja bakti di rumah mantan—tapi dia tidak mencintaiku.
Candra tidak pernah mencintaiku.
***
Paper Hearts dari Tori Kelly terputar bersamaan dengan ibu jariku yang berhenti menggulir layar.
Aku sedang membersihkan folder screenshot, menemukan ruang obrolan bersama Candra yang kusimpan. Tidak ada yang spesial dari percakapan kami, hanya aku yang mengatakan ‘I miss you’ dan Candra membalas ‘Miss you more’. Aku ingat, Candra mendapat tugas dari kantornya selama seminggu di Surabaya, membuatku seakan menjadi single karena bisa ke mana-mana sendiri. Hari-hari awal aku merasa bersemangat, bebas. Namun, rindu menyelinap dan secara mengejutkan, Candra membalas dengan kata-kata serupa. Kata-kata yang menurutku amat manis, sebab dia tidak pernah mengatakannya, hingga kuabadikan dan simpan dalam galeri.
Kini, rindu itu kembali menyerang. Aku menggeleng, bergegas mengganti lagu, lalu menghapus screenshot. Tidak ada gunanya terus-terusan mengenang, hanya membuat proses move on tersendat.
Dering ponsel menyentakku.
“Halo, Dhir,” sapaku. Tumben sekali adik Candra menelepon tanpa bertanya via chat apakah aku bisa bicara atau tidak. “Hari Minggu, kan, ini? Biasanya lo sibuk ngurus surprise party.”
“Kira!” jeritnya. “Lo serius putus sama Candra?”
“Tahu dari mana?” tanyaku.
Dhirra berdecak. “Semalam keluarga gue dinner dan harusnya lo ikut, kan? Candra bilang bakal bawa lo, eh malah nongol sendirian. Pas ditanya Mami, katanya kalian bubar. Kenapa? Kok bisa? Ada masalah apa?”
Kutenggelamkan wajah di tumpukan bantal. Meski matahari telah bersinar terik, aku tidak tergoda meninggalkan kasur. Sejak pagi aku terbangun dengan perasaan tidak menentu. Dan, berondongan pertanyaan Dhirra membuat hatiku semakin kalang kabut.
Kira berbincang dengan Dhirra, adik Candra | ilustrasi: hipwee via www.hipwee.com
“Gue harap ini cuma galau sesaat, Ra. Apa pun masalahnya bisa cepat selesai. Soalnya Candra sebentar lagi 30 dan Mami rewel minta menantu. Berharap sama Bara, sih, kayak berharap harga rumah turun.” Dhirra lanjut berceloteh tentang kakak sulungnya yang lagi-lagi membuat mami mereka jantungan karena ketahuan memacari model majalah dewasa. Tanpa sadar aku tertawa, karena itu memang terdengar seperti Bara.
“Ngerti, kan? Ini masalah gawat. Semalam Mami nekat nawarin Candra buat kenalan sama anak teman arisannya. Candra diam aja, tapi dia pasti nurut akhirnya. Kecuali lo dan dia balikan. Gih, balik sama abang gue, Ra.”
Lagi, aku tergelak. Nama tengah Dhirra adalah heboh, jadi aku terbiasa menganggap sebagian ucapannya tidak serius. Kalaupun terjadi, memang apa urusanku? Candra bebas pergi berkencan dengan perempuan mana pun. Kami sudah putus.
Namun, beberapa minggu kemudian, pemikiran itu buyar ketika aku pergi ke supermarket yang berada tak jauh dari apartemen Candra. Tempat kami pertama bertemu. Dan, aku melihatnya berjalan dengan perempuan cantik di sisinya. Candra mengatakan sesuatu hingga perempuan itu tertawa lepas dan sebagai balasan, Candra menyunggingkan senyum yang menjadi favoritku.
Dia tersenyum bersama seseorang yang bukan aku dan rasanya seperti hatiku tertusuk sembilu.