We (Don't) Talk About Love Chapter 3 via www.hipwee.com
“Aku nggak bisa.” Itu kalimat pertama yang meluncur dari bibirku setelah hening yang terasa seabad.
Candra bingung. “Maksud kamu?”
“Aku nggak bisa ke rumah kamu,” jelasku. “Harusnya kamu bilang dulu sama aku sebelum minta izin ke Mama.”
“Kira.” Candra mengulurkan tangan, meraih jemariku yang entah sejak kapan menjadi dingin. “Ada yang salah? Aku pikir ini waktunya, kita sudah satu tahun—”
“Atas dasar apa kamu merasa ini waktu yang tepat?”
Tampak kerutan di dahi Candra. Dia benar-benar belum paham. “Kenapa kamu pikir ini bukan waktu yang tepat?”
Ini juga salah satu kebiasaan Candra yang membuatku kesal, dia gemar menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Dan, seringnya, pertanyaan itu seakan menyudutkan. Membuatku merasa tidak punya pilihan selain mengikuti apa yang Candra inginkan. Namun, kali ini aku tidak lagi bisa menahan. Candra benar, sudah waktunya.
“Karena aku mau putus.”
Sedetik setelah aku mencetuskannya, tidak ada perubahan. Candra tetap tenang. Suaranya tidak membocorkan apa pun yang mungkin dirasakannya.
Aku tertawa tanpa humor. “Kamu nggak merasa kita punya masalah? Harusnya kamu yang paling tahu, karena masalahnya ada di kamu.”
“Ini soal kamu yang belum siap ketemu orangtuaku? Karena aku minta izin ke mama kamu tanpa sepengetahuan kamu?” Candra mendesah, lalu mengusap wajah. “Aku minta maaf, Kira, tapi kenapa sampai bilang putus? Kita bisa—”
“Aku yang nggak bisa,” selaku dengan suara serak. Meski sudah memilih keputusan ini sejak beberapa minggu lalu, ternyata eksekusinya tidak semudah itu. Ada sebagian hatiku yang berteriak agar aku menarik kata-kataku. Namun, hubunganku dan Candra memang tidak seharusnya dibiarkan berlanjut.
“Tapi kenapa, Ra?” kejar Candra.
Kami bertatapan. Ketegangan begitu terasa di udara hingga menarik napas saja harus kulakukan dengan usaha lebih keras. Setelah yakin suaraku tidak akan bergetar, kulanjutkan pengakuan itu.
“Aku sesak. Kamu bikin aku tercekik, Candra. Bersama kamu nggak lagi bikin aku bahagia. Bukan hubungan seperti ini yang aku mau.”
Candra tidak lagi menyahut. Bisa kulihat efek dari kalimatku. Candra benar-benar terpukul. Kurasa, dia akhirnya mengerti apa yang menjadi masalahku. Tak ada lagi desakan pertanyaan, Candra pun mengambil satu langkah mundur.
Kebersamaan kami ditutup dengan bisu.
Hubungan Kira dan Candra pun berakhir | ilustrasi: hipwee via www.hipwee.com
***
Keesokan paginya, Candra tetap menjemputku. Berhubung Mama mengantarku ke gerbang sambil mencegat tukang sayur, aku pun masuk ke mobil Candra dengan patuh. Perjalanan kami diisi keheningan, bahkan macet selama satu jam di hari Senin tidak membuatku berkeluh-kesah.
Menjelang waktu pulang, Candra memberitahu dia akan mengantar. Aku tidak mendebat. Sekali lagi, perjalanan membelah kemacetan jalan ibu kota kami lewati dalam senyap.
Tiba-tiba aku ingat, hari ini tanggal genap. Pantas Candra tetap menjemput, karena selama pacaran, kami bergantian membawa mobil ke kantor. Kebetulan mobilku berpelat ganjil. Kebetulan juga tempat tinggal kami berdekatan—rumahku di Pasar Minggu dan apartemen Candra di Kalibata—sementara kantor kami berada di wilayah SCBD. Kebetulan-kebetulan yang harus berakhir, sebab hubungan kami sudah mencapai kata tamat.
Jadi, ketika Candra menghentikan mobil di depan rumahku dan bertanya, “Kamu sudah yakin sama keputusanmu semalam?”
Aku menjawab, “Ya.”
Hubungan satu tahun kami selesai tanpa perdebatan atau teriakan. Aku turun dari mobil Candra dengan tenang dan dia pergi tanpa menoleh ke belakang.
***
Hari pertamaku tanpa Candra tidak berjalan sesuai ekspektasi. Pertama, mobilku mati. Starternya seakan tidak berfungsi. Aku dan Mama sama-sama tidak punya pengetahuan seputar mesin, jadilah aku berangkat kerja menggunakan ojek daring. Kedua, Antony yang sudah selesai dengan cutinya kembali dalam versi lebih menyebalkan. Dia melempar tugas konfigurasi bagian produksi kepadaku, tanpa penjelasan apa-apa. Terang saja aku harus mengais informasi dari rekan-rekan IT yang bisa kurecoki. Menjelang makan siang, kepalaku sudah mendidih.
Kira terpaksa naik ojek daring | ilustrasi: hipwee via www.hipwee.com
Karena bekerja di tempat yang sama meski berbeda divisi, kami sepakat makan siang bersama dua hari sekali. Sesi makan siang ini biasanya kami gunakan untuk gibah. Apalagi Winny yang mengurus pengajuan KPR sering menjumpai klien-klien aneh. Melegakan bisa sambat sesekali.
“Bete banget gue hari ini.” Aku memulai sesi keluhan dengan menyebutkan dua hal yang mengganggu sejak pagi. Winny menyimak. Baru setelah kukatakan bahwa aku dan Candra bubar, Winny angkat suara.
“Bocah edan!” pekiknya. Sukses mendatangkan beberapa pasang mata di kantin ke arah meja kami. “Ra, sumpah, lo memang sahabat gue dan gue sayang sama lo, tapi lo tuh bebal banget. Nggak ingat gue ngomong apa kemarin? Kalau jari lo luka, diobati. Bukan dimutilasi!”
Aku berdecak. “Candra tuh selalu seenaknya. Kenapa dia minta izin Mama buat bawa gue ke rumah ortunya tanpa bilang gue dulu sebelumnya? That was my last straw. Gue nggak mau makin lama terjebak di hubungan kayak gitu, apalagi cuma gue yang jatuh cinta di hubungan itu.”
“Kenapa, sih, lo ngotot Candra nggak cinta sama lo?” balas Winny. “Kasih tahu gue, cowok mana yang tahan nganterin ceweknya belanja berjam-jam atau nemenin ceweknya kobam padahal dia sendiri nggak bisa minum? Dia benar-benar jaga lo. Setiap hari antar-jemput, nggak protes kalau lo tiba-tiba meeting lewat jam kantor—”
“Dan semua yang lo bilang itu bikin gue tercekik. Terkekang. Candra nggak mau bilang cinta, lupa anniversary, tapi selalu maksa ikut gue ke mana pun … Win, bukan itu hubungan yang gue mau. Gue nggak mau end up sama orang kayak ….” Menggeleng, kuputuskan menutup topik Candra. “Enough about me. Hari ini ada klien yang bikin darah tinggi?”
Meski tampak siap mengamuk, Winny tidak lagi membahas mantan pacarku.
Beberapa hari setelah berpisah dari Candra, hidupku masih berjalan seperti hari pertama. Mobil tidak bisa jalan dan tidak sempat kubawa ke bengkel, karena lemparan tugas dari Antony semakin banyak. Satu hal yang tidak aku antisipasi adalah rasa rindu yang menyergap. Candra tidak banyak bertutur kala kami bersama, tapi ketidakhadirannya seolah menciptakan lubang menganga. Beberapa kali hampir kutekan nomor teleponnya agar bisa kudengar suaranya. Untung di detik-detik terakhir momen hampir khilaf itu aku tersadar. Saat ini, wajar aku merindukannya, karena aku terlalu terbiasa dengannya. Hanya waktu yang kubutuhkan agar segalanya kembali normal.
Hari Jumat, tekanan rasa kangen itu begitu mengimpit hingga aku tidak menolak ajakan rekan tim untuk nonton film. Meski mataku hanya sanggup terbuka di beberapa menit awal, setidaknya aku bisa pulang dengan tubuh lebih segar.
“Eh, Ra, cowok lo tuh.”
Langkahku otomatis tertahan. Teman-teman yang sebelumnya riuh membahas film sambil berjalan keluar dari bioskop ikut berhenti. Aku menatap berkeliling sampai bersirobok dengan sepasang mata familier.
Candra.
Tidak ada alasan untuk kabur, apalagi Candra menghampiriku. Baru beberapa hari tidak melihatnya, aku dikejutkan penampakan rambut halus yang memenuhi rahangnya. Apa dia sangat sibuk sampai tidak sempat bercukur? Sebagai data analyst di start-up unicorn, Candra terlalu sering dikejar deadline. Namun, aneh melihatnya tampak agak berantakan seperti ini.
Penampilan Candra jadi berantakan | ilustrasi: hipwee via www.hipwee.com
Saat aku sibuk menimbang sapaan apa yang sewajarnya diberikan kepada mantan, Laila berseloroh, “Pantas Kira santai jalan nggak bawa mobil sampai tengah malam, ternyata dijemput pacar.”
Kerutan samar tercetak di dahi Candra. “Mobil kamu kenapa?”
Aku meringis. “Nggak bisa distarter.”
Percakapan kami cukup pelan, tidak heran teman-temanku langsung melambai dan melanjutkan langkah. Mereka tidak tahu hubunganku dan Candra kandas. Jika dipikir-pikir, hanya Winny yang kuberitahu. Aku bahkan belum tahu kapan akan bicara dengan Mama, mengingat keakrabannya dengan Candra. Kupikirkan nanti saja. Minggu ini sudah cukup berat. Aku hanya ingin istirahat.
“Boleh aku antar kamu pulang?”
Pertanyaan itu mengejutkanku. Rasanya jadi canggung. “Eh, nggak usah. Aku bisa naik taksi. Di depan mal kan banyak atau nanti aku pesan online. Gampanglah. Kamu pasti nggak sendirian, kan, ke sini? Teman-teman kamu mungkin lagi nyariin. Nggak perlu khawatir, aku bisa sendiri.”
Candra menggeleng. “Aku juga mau pulang. Rumah kita searah, jadi aku antar kamu, ya? Please?”
Kata terakhir yang dia ucapkan membuatku tidak tega menolak. Candra hampir tidak pernah memohon. Toh, yang diucapkannya benar: rumah kami searah. Tidak ada alasan untuk bersikeras menumpangi taksi ketika Candra menawarkan tumpangan sukarela yang jelas lebih aman dan nyaman.