we (don't) talk about love chapter 2 via www.hipwee.com
“Ra, lo yakin Nyokap nggak butuh anak angkat?” Winny mengambil raisin puff kedua bahkan sebelum yang pertama habis. “Atau lo nikah sama abang gue aja, deh. Biar gue bisa makan kue enak tiap hari.”
Aku tergelak, tidak menggubris ocehan sahabatku sejak kuliah yang terobsesi pada kue buatan Mama. Sebagai pastry chef di hotel bintang empat, tidak heran hasil olahan tangan Mama terasa lezat. Namun, jangan tanya kue apa yang bisa kubuat, karena sejak kecil dapur ini tempat sakral Mama. Dia tidak pernah membiarkanku main di sini atau sekadar menemaninya memasak.
“Eh, tapi lo jangan nikah sama abang gue, deh. Nanti ada yang patah hati.”
Celetukan Winny membuatku mendongak dari kesibukan menata fruit pie. Candra masuk ke dapur untuk mengambil piring-piring kecil. Tidak ada respons darinya, seolah kemungkinan aku menikahi pria lain tidak mengganggunya. Atau memang tidak peduli? Aku tidak pernah bisa menebak reaksi Candra. Terkadang, dia bisa bersikap begitu menyebalkan hingga cenderung posesif, sementara di lain waktu dia akan bertingkah seolah-olah aku bukan bagian penting hidupnya.
Begitu Candra pergi, Winny menarik-narik lengan bajuku heboh. “Muka lo nggak ada manis-manisnya ketemu pacar, Ra. Lagi berantem? Pasti lo yang cari gara-gara.”
Aku mendelik. “Kenapa gue yang disalahin?”
“Candra terlalu lurus buat neko-neko.”
“Saking lurusnya, dia nggak sayang sama gue.”
Winny mengerutkan dahi. “Apa, sih? Dia lupa bawa kado buat nyokap lo? Atau kadonya nggak pakai kartu ucapan kayak pas lo ultah?”
“Belakangan dia makin nyebelin,” balasku lirih. Tak lupa melirik pintu yang menghubungkan dengan halaman belakang. Jangan sampai Mama datang dan mencuri dengar. “Tiap gue mau jalan sama teman-teman, dia pasti maksa ikut. Ke salon aja dia maksa nganterin! Bayangin! Kalau gue curhat soal rusuhnya kantor, muka dia lempeng. Tapi paling parah, dia lupa anniv. Pas gue ingetin, lagi-lagi mukanya lempeng. Nggak tahulah, Win, sikapnya terlalu hot and cold kayak dispenser. Yang jelas, gue tahu dia nggak cinta gue. Gue mau putus.”
Gelengan kepala Winny begitu kuat sampai rambutnya yang dikucir kuda menampar wajahku. “Lo pikir dia nggak cinta sama lo karena dia nggak seru diajak gibah, hobi antar-jemput, dan lupa anniv? Terus lo mau putus? Kira, come on.”
“Bukan cuma itu, Win. Dia nggak pernah bilang cinta. Orang macam apa yang pacaran selama satu tahun, tapi nggak pernah bilang ‘I love you’? Oke, mungkin dia pendiam, tetap aja nggak logis kalau sediam ini. Gue pacarnya.”
“Karena lo pacarnya, harusnya lo lebih paham. Sudah coba diobrolin? Mungkin cuma salah paham,” balas Winny.
Kali ini giliranku menggeleng. “Gue nggak bisa terus-terusan sama orang yang cuma setengah-setengah gitu perasaannya. Gue berhak dapat yang lebih baik.”
Winny mendesah, wajahnya tampak frustrasi. Buru-buru aku meraih piring-piring berisi kue untuk dibawa ke halaman belakang, sementara Winny berkata, “Sadar nggak, lo punya kebiasaan ambil jalan keluar ekstrem? Kalau jari lo luka, ya diobati. Kasih betadine, balut pakai hansaplast, bukannya lo potong tuh jari.”
Tanpa merespons Winny, aku menghampiri area pesta yang didominasi lagu Bon Jovi.
***
“HUA!”
Hampir kujatuhkan gelas di tangan. Pekikan itu mengejutkan. Menoleh, kutatap satu-satunya orang tersisa di rumahku yang seharusnya sedang mencuci piring. Kukatakan seharusnya karena sekarang dia berjinjit di sudut dapur sambil mendekap nampan, menjadikannya perisai. Air menetes dari tangannya yang masih basah ke lantai. Kalau Mama memutuskan keluar dari kamar, dia pasti mencak-mencak melihat dapurnya becek.
“Kenapa?” tanyaku sambil mendekat. Wajah pucat pacarku agak mengkhawatirkan. Semoga dia tidak pingsan.
“Itu.”
Kuikuti arah tunjuk Candra, menemukan sesuatu berwarna gelap di lantai putih. Setelah kuperhatikan, ternyata itu kecoak yang terguling. Tatapanku kembali kepada Candra, terperangah ketika sadar bahwa ….
“Kamu takut kecoak?” Nada tidak percaya terdengar dari suaraku, sedangkan sudut-sudut bibirku berkedut.
“Ra, tolong singkirin itu,” pintanya memelas.
Tawaku tak lagi terbendung. “Sejak kapan kamu takut kecoak? Kok, bisa?”
“Kira ….” Candra menatapku dengan wajah yang untuk kali pertama menyiratkan banyak ekspresi: cemas, panik, bahkan gemas. Sepertinya dia ingin mencekikku yang justru sibuk terpingkal-pingkal. “Please, buang kecoaknya.”
Candra takut kecoak | ilustrasi: hipwee via www.hipwee.com
Aku meraih beberapa tisu, tapi Candra menahan tanganku.
“Kamu mau pegang langsung?” tanyanya ngeri. “Kenapa nggak ambil sapu?”
“Lama. Nanti kamu keburu pingsan,” jawabku geli.
Kuraih kecoak malang yang terguling itu, lalu membawanya menuju tempat sampah. Sayang, aku lupa Candra berdiri di depannya, alhasil dia mencelat dan menyebut namaku lantang. Tawaku kian berderai. Candra menjerit, begitu berisik memberi arahan membuang kecoak.
Setelah mengikat plastik tempat sampah, aku ditarik menuju wastafel. Gelakku belum usai, sementara Candra menggosok tanganku dengan sabun. Dia bahkan mengulang prosesnya dua kali sambil mengoceh tentang betapa joroknya kecoak dan lain kali, sebaiknya kugunakan sapu untuk menyingkirkannya.
“Kenapa aku baru tahu kamu takut kecoak?” tanyaku dalam usaha menghentikan tawa. Candra tidak membalas, kini sibuk mengeringkan tanganku. Berhadapan dalam jarak sedekat ini, aku teringat perbedaan 20 sentimeter di antara kami. Berhubung fisikku lebih banyak mengikuti Mama, memiliki tinggi 155 sentimeter termasuk beruntung.
“Sengaja nggak bilang karena takut aku ledek ya?” godaku lagi. “Siapa sangka—”
Sisa kalimatku tenggelam di bibirnya. Candra menangkup wajahku, menelengkan kepalanya, lalu memperdalam ciuman. Napasku tersekat karena ciuman ini berbeda. Ada sesuatu yang mendesak dan dia seakan tidak mau melepaskan. Betapa mudah terbuai olehnya. Ini adalah sisi yang amat jarang Candra tunjukkan dan aku bersyukur karena jika aku menghadapinya setiap hari, jantungku pasti mengajukan pensiun dini.
Begitu dia menarik diri, aku menatapnya tanpa berkedip.
Dalam usaha meringankan suasana yang terlalu mendebarkan, aku berbisik, “Aku bakal lebih sering basmi kecoak kalau dikasih reward-nya begini.”
Candra terkekeh. “Aku bisa cepat mati kalau sering-sering ketemu kecoak.”
Sesaat, kami hanya bersitatap. Senyum tipis terulas, kedua tangan saling mendekap.
Saat seperti ini, mudah melupakan hal-hal yang membebani. Aku sama sekali tidak ingat tentang nihilnya kata cinta dan hobi mengantar-jemput Candra yang terasa mengekang.
Saat ini sempurna.
Sampai Candra berkata, “Minggu depan kita dinner di rumahku. Aku sudah minta izin mama kamu.”
“Apa?” balasku syok. “Tapi … kenapa?”
Candra mengerjap. “Supaya aku bisa kenalin kamu ke Mami dan Papi.”
Bagi sebagian orang, bertemu orangtua pacar bukan hal besar. Namun, di keluarga Candra, karena Bara—kakaknya—sangat suka bergonta-ganti pacar, mami mereka memberlakukan aturan hanya perempuan yang yakin akan dinikahi yang boleh diajak ke rumah. Selama satu tahun bersama Candra, aku hanya pernah berjumpa satu kali dengan Bara, meski cukup dekat dengan Dhirra—adiknya.
“Kira?”
Aku mengambil satu langkah mundur serta menarik tangan yang sebelumnya melingkari tengkuk Candra. Perasaan hangat yang melingkupiku musnah. Panik mulai merajalela.
Sementara aku ingin putus, Candra malah berencana membawa hubungan kami ke jenjang lebih serius.