We (Don't) Talk About Love by Nureesh Vhalega via www.hipwee.com
Sepanjang yang bisa kuingat, aku hanya punya satu cita-cita: menjadi perempuan sehebat Mama. Minus bagian menikahi laki-laki yang salah.
Karena itu, keputusanku sudah bulat. Aku dan Candra akan putus.
Sebenarnya aku kaget karena berhasil melewati satu tahun bersamanya. Namun, selain memecahkan rekor pribadi, tidak ada yang istimewa dari anniversary kami hari ini. Candra lupa. Parahnya, saat kuingatkan, ekspresinya tetap lempeng. Tidak ada rasa bersalah, pun tidak ada ungkapan cinta. Sikapnya selalu begitu hingga mau tak mau aku berpikir, hanya aku yang jatuh cinta dalam hubungan kami.
Sebelumnya, para mantanku tidak pernah melewati masa percobaan—tiga bulan. Mungkin karena mantan-mantanku tidak ada yang sukses mengantongi restu Mama atau tidak sesabar Candra saat menungguku berdandan. Ya, Candra itu laki-laki penyabar, tidak banyak bicara, dan … itulah masalahnya. Dia benar-benar irit mengeluarkan kata, seolah tiap kata yang dilontarkannya akan dikenakan biaya seperti zaman Esia booming di Indonesia.
“Ra, dipanggil Pak Bagja.”
Mendengar itu, aku nyaris menjedotkan kepala ke meja.
“Sudah maksi, kan? Kok masih lemas?” lanjut Laila. “Pak Bagja nanyain production dari pembayaran … gue lupa provider-nya. Gih, samperin dulu.”
Lunglai, aku meraih ponsel, agenda, dan pulpen. Ruangan Pak Bagja tidak jauh dari mejaku, tapi siang ini jaraknya seperti berkilometer. Begitu dipersilakan masuk, dia bahkan tidak menawariku duduk sebelum mulai berceloteh.
Masalahnya, bukan aku penanggung jawab bagian tersebut. Sebagai anggota divisi IT e-channel, khususnya pengembangan API—application programming interface—tugasku adalah menyusun flow danspesifikasi fitur, meeting bersama developer, selesai sampai pengembangannya. Sementara setting server, koneksi, basis data, dan kawan-kawannya tugas seniorku—Antony. Kebetulan dia sedang menggunakan cuti tahunan dari bank swasta tempat kami bekerja dan ponselnya dimatikan. Jadi, aku yang lulusan Teknik Industri ini harus pura-pura mengerti sambil mencatat dan berdoa tidak ada yang terlewat, lalu menyumpahi Antony agar cutinya tidak tenang.
Kenapa Antony tidak menjelaskan tugas-tugasnya kepadaku sebelum cuti? Setidaknya aku punya persiapan, tidak cuma mengangguk-angguk seperti pajangan di dasbor mobil.
Ketika kembali ke meja, aku harus menahan diri agar tidak menjambak rambut. Ini baru hari Rabu dan aku sudah siap menyambut libur. Kuhempaskan bokong ke kursi, sibuk mengetik keluhan di ruang percakapan bersama Candra, sebelum ingat bahwa pacarku itu sama sekali tidak bisa berempati terhadap urusan pekerjaan. Bagi Candra, bekerja itu lakukan jika suka, tinggalkan bila tidak. Dia tidak paham untuk masuk ke program management trainee bank ini aku harus berusaha superkeras, juga melewati masa menganggur enam bulan selepas lulus kuliah. Aku memang tidak suka sebagian pekerjaanku, tapi resign bukan pilihan. Lagi pula kontrakku masih tersisa sekitar 3 tahun di perusahaan ini.
Omong-omong soal Candra, aku akan membicarakan masalah kami nanti malam. Aku tidak mau terseret-seret lebih lama.
Kira, jangan lupa paprika. Kamu pasti lupa karena bukan kesukaanmu. Oh, ajak Candra dan Winny. Bilang ke mereka, gak perlu kasih Mama kado, tapi bantu beres-beres aja. Hehe bercanda Tapi Mama senang sih kalau ada yang bantu bebenah.
Aku menggeleng, meski tak urung tersenyum. Mama sangat suka pesta ulang tahun, bahkan menjelang usia lima puluh. Hari Minggu ini Mama mengundang beberapa teman dekatnya untuk barbeku di halaman belakang rumah. Tentu saja, pacarku masuk daftar undangan. Artinya, aku tidak bisa memutuskan hubungan malam ini, karena Mama pasti akan kecewa.
Setidaknya Mama memberiku alasan untuk membentang jarak dengan Candra hari ini. Setelah mengiakan permintaan Mama, aku mengetik pesan untuk Candra.
Kira mulai merasa perasaannya dan Candra tidak mutual via www.hipwee.com
Kira
Nanti aku pulang sendiri ya, ada yang mau aku beli. Kalau nunggu kamu meeting dulu, kelamaan. Pulangnya bakal kemalaman.
Candra
Beli apa?
Kira
Paprika.
Candra
Buat acara mama kamu hari Minggu? Memang harus dibeli hari ini juga?
Selama beberapa detik mataku menyipit, seolah ponselku yang bersalah atas pertanyaan menyebalkan Candra. Sebelum aku sempat membalas, Candra sudah mengirim pesan tambahan.
Candra
Aku reschedule meeting hari ini buat besok. Kita pulang bareng, sekalian beli paprika. Di supermarket biasa?
Benar-benar konyol! Apakah pulang bersamaku lebih penting dibanding rapat mingguan dengan timnya? Lagi pula, kenapa perkara membeli paprika harus jadi serumit ini? Aku bisa melakukannya sendiri. Paprika bahkan tidak seberapa berat hingga membutuhkan bantuan Candra untuk membawanya.
Kalau tidak ingat niatku membahagiakan Mama, aku pasti memutuskan Candra detik ini juga. Namun, hal terakhir yang kuinginkan adalah menodai hari bahagia Mama. Dia jarang memiliki waktu untuk bersenang-senang, jadi aku akan menunda perihal putus sampai pesta ulang tahunnya selesai. Aku pasti bisa bersabar lebih lama. Bukan hal sulit, kan?
***
Ternyata sulit. Bertahan dengan Candra tak ubahnya cobaan hidup selama beberapa minggu terakhir, tapi malam ini kesabaranku habis.
“Apa salahnya kalau aku jalan sama teman-temanku?” tanyaku gusar.
Sambil mengemudikan mobil meninggalkan area SCBD, Candra menjawab, “Terus apa masalahnya kalau aku ikut?”
Aku memejamkan mata. Jumat malam, setelah lima hari bekerja penuh tekanan, minum satu atau dua gelas wine tampaknya ide bagus. Kecuali kalau aku harus membawa serta pacarku yang tidak kuat minum dan bersikeras ikut hanya untuk mengantarku. Kami pernah melakukan itu di awal pacaran, hasilnya sungguh menyedihkan. Candra duduk diam sepanjang malam, membuatku tidak enak bersenang-senang sendirian. Sejak itu, aku hanya mengiakan ajakan teman-temanku ketika Candra terlalu sibuk untuk ikut.
Candra memaksa ikut jalan dengan teman-teman Kira via www.hipwee.com
“Jadi?”
Pertanyaannya yang bernada santai justru membuatku makin emosi.
“Pulang,” jawabku.
“Mau makan malam dulu?”
“Di rumah aja.”
Percakapan kami selesai. Namun, otakku tidak bisa menghapus prasangka yang telanjur bersemayam. Kutatap Candra yang seperti biasa mengenakan kemeja dengan lengan digulung sebatas siku, rambut terpotong rapi, dan wajah bersih. Dia selalu bercukur setiap hari, entah sebuah kewajiban atau tidak mengingat perusahaan rintisan tempatnya bekerja cukup santai hingga membebaskannya memakai jeans dan sneakers kapan saja. Selintas lihat, bahkan setelah melihat untuk kali kedua dan keseratus, Candra memang tampan. Dia potret sempurna Mas-mas SCBD yang memikat. Di umur 28, dia masih tampak semuda diriku yang belum genap berusia 25 tahun.
Namun, aku tahu lebih baik daripada siapa pun, monster tidak selalu berpenampilan buruk. Dan menatap laki-laki yang selama satu tahun terakhir menyandang status sebagai pacarku, aku bertanya-tanya, apakah akhirnya Candra akan menjadi seperti Papa?