The Silent Romeo chapter 6 by Mooseboo | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Luna tahu dirinya sudah melakukan kesalahan besar, wajar jika Nash begitu marah. Namun, akankah ada kesempatan kedua untuk Luna? Ataukah Luna dan Nash semata-mata hanya dua orang yang pernah berjumpa dan berpisah begitu saja?
***
Luna mengelap sisa keringat di pelipisnya sore itu. Padahal sudah ada lima buah pendingin ruangan dalam ballroom hotel bintang lima yang dia tempati saat ini. Namun, jumlah wartawan yang hampir menyentuh angka lima puluh orang, jelas membuat pendingin ruangan pun angkat tangan.
Dengan serius, Luna mendengarkan dan mencatat penjelasan dari beberapa petinggi BUMN di depannya pada laptop, terkait peluncuran aplikasi berbasis pertanian itu. Sampai tanpa terasa acara selama hampir dua jam itu pun selesai.
“Mau langsung ketemu Pak Pri atau makan siang dulu?” tanya Adam, partner in crime baru Luna setelah dia berhasil pindah divisi tiga bulan lalu, sembari merapikan peralatan liputan mereka sore itu.
Hampir saja Luna lupa akan janjinya untuk mewawancarai seorang pemilik kafe yang bisnisnya terkait dengan kasus money laundry salah seorang pejabat.
“Untung lo ingetin. Sekarang udah mau jam empat, nggak bakal keburu kalau balik dulu. Kita makan di sana aja deh. Mas Guntur udah kasih alamatnya, ‘kan?”
Adam mengiakan. Dia lantas mengirimkan alamat kafe kepada Luna. Ekspresi wajah Luna berubah aneh membaca alamat kafe itu.
“Friday?” gumam Luna.
“Iya,” kata Adam dengan peralatan sudah tersampir di punggungnya. “Kata Mas Guntur kopi sama pastry di kafe ini terkenal enak.”
“Gue udah tahu,” kata Luna kemudian melangkah pergi meninggalkan Adam menuju tempat parkir.
“Mau makan di sana aja? Lumayan buat ganjel sebelum makan malam,” kata Adam lagi yang dibarengi anggukan oleh Luna.
Sepanjang perjalanan menuju kafe kepala ingatan Luna tidak pernah bisa tinggal diam. Apalagi jingga keemasan di atas kepalanya mengingatkan dia akan suasana kafe itu tiga bulan yang lalu, kala dia nekat berlari menuju kafe untuk meminta maaf kepada lelaki itu. Sebuah perjuangan berujung nihil karena acara pemotretan lelaki itu harus dihentikan akibat serbuan wartawan yang tiba-tiba setelah melihat berita yang Luna buat.
Luna merogoh ponsel di tasnya. Kemudian dia membuka aplikasi chatting dan mencari sebuah nama di sana. Nama yang tidak lagi menghubunginya setelah hari itu. Senyum tipis muncul di bibir Luna ketika dia membaca pesan-pesannya di sana. Pesan yang mungkin selamanya tidak akan berbalas.
Luna: Nash, saya minta maaf buat berita hari ini. Saya akui ini memang kesalahan saya karena potongan video itu tersiar ke publik Saya seharusnya nggak ikutin mau produser buat siarin itu. Seharusnya saya lebih nekat buat gagalin siaran itu. Saya minta maaf. Nash, saya tahu saya bukan teman yang baik. Kamu berhak buat benci saya Terima kasih buat kebaikan kamu selama satu bulan ini dan saya yakin kamu bakal makin sukses setelah ini. Seperti yang kamu bilang, kamu itu spesial. Jadi, nggak perlu sembunyi lagi mulai sekarang. Terakhir, sampaikan maaf saya juga ke Dimas. Saya udah coba hubungi dia balik, tapi nggak direspons. Bye.
“Lun, udah sampai. Ayo!” ajak Adam membuyarkan lamunan Luna. Segera, Luna memasukan kembali ponselnya dan keluar mengikuti kaki Adam menuju kafe itu. Kafe yang masih tetap sama seperti hari itu.
***
“Baik, Pak. Terima kasih atas wawancaranya, ya,” kata Luna menyambut tangan pria berumur di akhir lima puluhan bernama Priyatno itu.
“Sama-sama, Mbak Luna. Terima kasih juga, Mas. Silakan dicoba dulu kopi sama cake-nya,” kata Pri sambil menyodorkan senampan kudapan ke depan Luna. “Saya permisi ke ruangan dulu, ya. Saya ada tamu sebentar lagi, soalnya ini orang terkenal jadi harus saya sendiri yang nyambut.”
“Iya enggak apa-apa, Pak. Terima kasih juga ya buat kopinya. Jadi, betah ‘kan,” kelakar Adam.
“Kalau kalian masih butuh keterangan dari saya, jangan sungkan. Saya terbuka kok,” kata Pri sebelum benar-benar pergi dari hadapan Luna dan Adam.
Sepeninggal Pri, senyuman ramah di bibir Adam menghilang. “Lo percaya sama keterangan dari Pak Pri tadi?”
Luna mengedik sementara tatapannya masih fokus kepada layar yang sudah berganti dari keterangan Pri menjadi liputan hasil press conference sore tadi. “Dam, lo masih inget penjelasan menteri tadi soal balance of thrade? Maksudnya gimana, ya?”
“Belum beres?” tanya Adam memindahkan posisinya duduk di hadapan Luna.
Luna mengangguk.
“Lo udah hampir tiga bulan di sini masih aja nggak paham? Lo ke mana aja waktu training wartawan dulu?” cibir Adam.
“Itu ‘kan udah bertahun-tahun yang lalu. Lupa lah gue. Lagian belum setahun gue di sini, ‘kan butuh adaptasi juga kali. Mana banyak banget lagi istilahnya,” protes Luna memandangi hasil liputannya yang masih tampak bolong-bolong.
“Lagian lo kenapa pindah sih? Udah enak di program infotainment yang nggak banyak tekanan, malah minta pindah ke berita sore. Aneh.”
“Di sana juga banyak tekanan kali,” jawab Luna sebal. “Entah. Mungkin panggilan hati.”
Adam terkekeh. “Beuh… berat.”
“Apalagi kalau kita udah dipaksa buat cari-cari berita,” sahut Luna sambil menyesap kopi di atas meja. “Cari sudut pandang yang beda dari isi liputan lah biar dapat headlinefresh, neror artis buat ngorek personal life mereka. Bukan gue banget.”
“Apa bedanya sama kita sekarang, Lun? Kita juga ngejar-ngejar Pak Pri seminggu ini buat minta keterangan dia, atau lo masih ingat waktu kita diundang presscon dan kita dikasih tanda terima kasih?”
Luna terdiam. Dia teringat wajah linglungnya ketika diberi amplop oleh salah satu humas usai press conference.
“Semua lini punya minusnya masing-masing, Lun. Tinggal kita mau ikut arus yang mana, fokus aja sama kerjaan kita,” tukas Adam. Tatapan lelaki itu kemudian berpindah ke arah televisi di belakang tubuh Luna yang sedang menampilkan acara talkshow malam. “Contohnya dia. Lo masih ingat kan waktu gosipnya pertama kali muncul. Semua orang hujat dia, tapi sekarang? Semua balik support dia. Bayangin kalau nggak ada wartawan gosip yang bocorin rahasia dia. Mungkin dia masih main kucing-kucingan sama publik. Kasihan, ‘kan?”
“Siapa?” tanya Luna berbalik. Mukanya berubah pasi melihat layar televisi yang dipenuhi wajah lelaki itu. Nash.
“Kelihatannya kejam sih, tapi kalau nggak ada wartawan yang bocorin. Gue justru makin kasihan sama dia.”
Luna menghela napas berat. “Tetap aja menurut gue nggak etis. Dia pasti stres banget jalanin ini gara-gara berita kemarin.”
“Eh iya, bukannya liputan dia yang kemarin dari TV kita? Lo tahu Lun siapa yang berhasil liput dia? Hebat juga loh bisa ngeliput Nash yang tertutup kayak gitu.”
“Enggak tahu,” jawab Luna cepat dan buru-buru bangkit dari duduk. “Gue ke toilet bentar.”
Tanpa menunggu jawaban Adam, Luna berjalan menuju toilet kafe itu. Sepanjang lorong, pikiran Luna teringat akan lelaki itu. Dia bersyukur baru dua minggu berita itu viral dan pihak Nash melakukan press conference, banyak orang justru mendukung lelaki itu. Bahkan Luna sering mendengar bila Nash sering kali diundang sebagai motivator di acara-acara khusus disabilitas.
Sementara Luna, setelah kejadian itu tidak ada yang berubah darinya. Tetap menjadi wartawan, masih jauh dari mimpinya seperti Nasyila Sina, dan uang seharga Mercy yang dijanjikan Shafa sampai detik ini tidak pernah mampir ke rekeningnya. Satu-satunya penghiburan yang ia dapatkan adalah berhasil berpindah divisi.
Luna masih merasa bersalah | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Usai mencuci tangan di toilet, Luna mengamati dirinya dari pantulan cermin. Mengamati sosok pengkhianat yang selama tiga bulan ini membuat hidupnya selalu terbayang akan wajah Nash. Selain rindu yang diam-diam muncul di dada Luna dan membuat matanya berair tanpa sadar.
***
Di luar, Luna melihat beberapa orang sudah mengerumuni mejanya, termasuk Pri dan Adam yang sedang mengobrol santai dengan orang-orang itu. Awalnya, Luna tidak ambil pusing, dan terus melangkah ke arah meja.
Akan tetapi, semakin mendekati mejanya, Luna dapat dengan jelas menemukan sosok yang familier di sana, Dimas. Dia pun dapat melihat bayangan tubuh Nash tidak jauh dari sana. Luna membeku di tempat.
“Lun! Luna! Sini!” teriak Adam tiba-tiba.
Luna terkesiap. Wajahnya panik. Dia pun segera berbalik dan kabur dari sana. Sebelum benar-benar pergi, Luna sempat melihat ekspresi Dimas yang juga sama kagetnya dengan dia.
“Lun! Kok malah kabur? Luna!”
Beberapa kali, Luna menarik napasnya yang hampir habis karena melihat Nash. Dadanya juga berdetak cepat tidak keruan. Luna bahkan tidak pernah bisa berdiri tenang di teras kafe. Sampai sebuah notifikasi terdengar pada ponsel Luna. Awalnya Luna pikir itu Adam, tetapi membaca nama pada pop up pesan di layar, air muka Luna terlihat panik.
Luna kabur saat melihat Nash | ilystrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Nashayoga: Kenapa kabur?
Suara langkah kaki seseorang terdengar di belakangnya. Ingatan sore itu di rumah Nash, membuat Luna makin tidak tenang.
Luna: Jangan ke sini. Saya nggak mau ketemu kamu.
Nashayoga: Kenapa? Harusnya saya kan yang bilang begitu?
Luna merasakan tubuhnya semakin lemas. Kecewa, sesal, dan marah terhadap dirinya sendiri memenuhi benak Luna. Apalagi suara napas seseorang semakin jelas terdengar di belakangnya.
Luna: Saya udah khianatin kamu. Saya egois, Nash. Saya bukan orang baik. Please tinggalin saya sendiri.
Nashayoga: Yakin kamu mau saya pergi?
Luna mengangguk dengan masih membelakangi Nash.
Nashayoga: Oke. Kalau gitu sebelum pergi, saya mau ngucapin terima kasih ke kamu. Terima kasih karena buat saya berani terbuka ke publik. Ternyata respons mereka nggak seseram yang saya kira. Walaupun cara kamu tetap nggak bisa saya terima. Jadi, jangan ngerasa bersalah lagi. Saya udah maafin kamu.
Luna menggenggam ponselnya erat usai membaca pesan Nash. Haru tidak lagi bisa ditahan oleh Luna.
Nash memaafkan Luna | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Nashayoga: Masih nggak mau nengok?
Luna berdecak. Dia lantas berbalik kemudian tersenyum tipis pada sosok di belakangnya. Sambil mendekat, Nash pun ikut membalas senyum Luna.
“Hai,” sapa Nash mengangkat tangan kanannya setinggi telinga.
Mooseboo atau yang biasa dipanggil Acuy. Penggiat media digital yang menjadikan kegiatan menulis sebagai pelarian diri dari ganasnya deadline kantor dan berisiknya isi kepala. Untuk tahu lebih banyak karya-karya dari Mooseboo, kunjungi instagramnya di @Mooseboo_