The Silent Romeo chapter 7 by Mooseboo | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Luna lupa menghapus 20 detik momen ketika Nash dan Dimas berbicara dengan bahasa isyarat. Atasan Luna ingin menayangkan adegan tersebut dan membocorkan kondisi Nash sebagai berita eksklusif. Luna berperang antara hati dan iming-iming bonus setara mobil Mercy. Mana yang Luna pilih?
***
Hari itu akhirnya tiba, momen di mana Luna berhasil menyelesaikan misi dari Shafa selama hampir satu bulan ini. Dendangan tidak henti-hentinya menghilang dari bibir Luna sepanjang perjalanan menuju kantor.
Di kepala Luna sudah terbayang ketika dia bisa semakin dekat dengan mimpinya keluar dari desk Showbiz. Sampai-sampai di kantor, Bejo dan Tito dibuat keheranan dengan sosok Luna, apalagi bila disandingkan dengan wajah murung Luna sebulan belakangan.
“Dia kenapa?” tanya Tito.
Bejo mengedik. “Kayaknya ada sangkut pautnya sama tugas dari Mas Shafa. Misi rahasia katanya.”
“Kok Mas Shafa nggak ngasih tahu gue? Kenapa malah Luna yang ditugasin?”
Luna yang baru saja meletakan tas dan barang-barangnya ke atas meja, tersenyum pongah mendengar kasak-kusuk para jejaka sibuk menggosipkan dirinya.
“Bisa nggak sih kalian gosipin orang agak jauhan dikit. Orangnya denger loh. Untung mood gue lagi happy,” kata Luna dengan wajah pongah di hadapan Bejo dan Tito. “Oh iya, Mas Shafa udah datang belum?”
“Udah. Tadi gue lihat sih dia udah di ruangannya. Hm… Aura-auranya ada yang habis kelar ngerjain misi nih.”
Luna terkekeh makin besar kepala. “Ya… gitu deh.”
“Emang misi apaan sih? Kok lo main rahasia-rahasian gini ke tim?” sahut Tito.
“Enggak penting kok. Tapi yang pasti cukup menggemparkan dari gosip selingkuhnya Gina. Dan lebih FRESH,” kata Luna sengaja menekan kata fresh untuk membuat Tito makin kesal. “Gue bikin kopi dulu deh. Semalaman gue nggak tidur habis rapihin video, gue ngantuk banget. Bye, Mas.”
Tito berdecak sementara Bejo menahan tawa melihat wajah jengkel seniornya itu. Apalagi Luna malah makin bertingkah bak model ketika berjalan menuju pantri di sudut ruangan.
Sejujurnya, bukan hanya keberhasilan tugasnya meliput Nash yang membuat dada Luna serasa penuh, melainkan obrolan dan tingkah laku Nash ketika terakhir kali mereka bertemu. Pipi Luna sampai memanas hanya dengan mengingat isi pesan Nash yang berniat mengajaknya keluar saat itu.
“Ngedate,” gumam Luna lantas terkekeh seorang diri.
Walaupun obrolan kemarin sudah dihapus oleh Nash untuk menghilangkan jejak dari rasa penasaran Dimas, tidak dengan Luna. Momen sore itu bahkan masih tersimpan jelas di dalam ingatannya. Luna terkekeh. Teman-temannya pasti tidak menyangka bila dia bisa dekat dengan Nash.
Luna sedang bahagia | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Morning, Luna.”
Luna berjengit ketika seseorang menyentuh pundaknya dari belakang. Senyum lebar Shafa tampak di sana.
“Mas ngagetin aja,” gerutu Luna sebal. “Baru juga gue mau ke ruangan Mas.”
“Habis gue udah terlanjur excited buat nagih janji lo ke gue. Lo nggak tahu gimana hebohnya gue kemarin waktu lo ngabarin kalau Nash berhasil lo liput,” kekeh Shafa. “Gimana? Gue udah bisa lihat hasilnya sekarang?”
Luna mengangguk mantap. “Ada di flashdisk gue. Sebentar gue ambilin.”
“Soal hubungannya sama Freya, lo berhasil kulik juga, kan?” tanya Shafa. “Soalnya gue dengar program sebelah berencana mau angkat gosip Freya, yang ketahuan jalan berdua lagi dengan Nash kemarin. Kebetulan banget, kan? Kita punya liputan lo. Eksklusif.”
Luna serasa diguyur air dingin tiba-tiba. Bayangannya mengenai senyum Nash, obrolan mereka sore itu, dan ajakan Nash seketika menghilang tanpa jejak. Luna lupa bila Nash adalah seorang supermodel dan dirinya hanya sebatas wartawan gosip biasa. Jelas tidak mungkin dalam waktu sebulan dapat mengubah kenyataan itu di mata Nash.
“Lun, kok ngelamun? Gimana lo dapat juga kan info soal Freya?” tagih Shafa.
“Secara langsung belum. Tapi… gue dapat foto Freya dengan Nash. Mas lihat dulu aja failnya,” kata Luna kemudian berjalan menuju mejanya dan menyerahkan flashdisk itu kepada Shafa.
“Thanks ya,” kata Shafa langsung pergi meninggalkan Luna, yang mendadak lesu dan murung sepeninggal produsernya itu
Bejo dan Tito yang masih duduk menggosip pada meja meeting di dekat meja Luna, sontak saling pandang.
“Sekarang kenapa lagi dia?” cibir Tito.
Bejo mengangkat kedua bahunya. “Gagal dapat bonus kali.”
***
Malamnya, Luna merenung sambil mengamati laptop di kamar kostnya. Layar laptop itu dipenuhi momen-momen saat dia melakukan liputan di rumah Nash. Kecewa di dadanya makin menjadi-jadi apalagi foto ketika Freya dan Nash basement tampak di layarnya.
“Semua cowok sama aja. Sok manis!” gerutu Luna jengkel lantas menutup laptopnya.
Foto Nash dan Freya membuat Luna kesal | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Suara dering ponsel terdengar tiba-tiba. Nama Shafa terpampang nyata di layar ponselnya. Segera, Luna angkat telepon itu.
“Malam Mas. Ada apa? Tumben amat telepon malam-malam. Jackpot?”
Mulut Luna menganga lebar mendengar penjelasan Shafa. Dia lantas membuka kembali laptopnya dan memeriksa fail video yang dia berikan kepada Shafa. Luna spontan mengumpat ketika video Nash dan Dimas yang menggunakan bahasa isyarat terekam kurang dari dua puluh detik di video itu. Luna sepertinya luput menghapus bagian itu.
“Video lain? Hm… nanti gue coba cari ya, Mas,” kata Luna ragu-ragu. “Tapi ini nggak apa-apa kan kalau sampai bocor ke publik? Gue cuma takut pihak Nash malah nuntut kita. Perjanjian tertulis? Enggak. Gue sama pihak Nash nggak bikin perjanjian apa-apa soal rahasia Nash.”
Alih-alih senang ketika mendengar Shafa menyerukan kata cerdas, Luna malah semakin gamang. Hatinya bilang ini tidak etis.
“Bonus?” tanya Luna spontan mengikuti ucapan Shafa.
Luna mengigiti bibir bawahnya gelisah. Namun, foto Freya bersama Nash kembali mengusik hatinya. Apalagi Shafa kembali mengiming-imingi bonus sebesar harga Mercy bila potongan video itu dipublikasikan.
Luna gamang. Dia bingung memilih Mercy atau hatinya yang diam-diam mulai nyaman dengan sosok Nash.
“Oke Mas. Gue mau. Tapi dengan syarat, janji lo buat mindahin gue dari desk Showbiz harus lo tepatin,” tegas Luna.
Dari balik telepon, Shafa menyanggupi. Telepon itu pun terputus. Luna termangu. Dia merasa ada yang mengganjal di benaknya.
“Sori,” ucap Luna pelan.
***
Luna terbangun pagi harinya ketika notifikasi pesan masuk pada ponselnya berdering. Alis Luna menyatu ketika nomor ponsel tak dikenal muncul di sana.
087321444xxx: Pagi. Hari ini kamu udah ada rencana buat lunch di mana?
Luna: Ini siapa ya?
087321444xxx: Baru seminggu nggak ketemu udah lupa
Luna: Gak usah bercanda
087321444xxx: Ini saya. Nash
Kedua bola mata Luna membulat. Dia bahkan sudah berdiri dari kasur sambil membaca pesan itu lebih teliti. Namun, ejaan di sana tetap tidak berubah, nama itu tetap terbaca di layar.
087321444xxx: Saya tebak kamu pasti lagi kaget sekarang Konfirmasi aja nomor saya ke Dimas kalau kamu nggak percaya Saya cuma mau menuhin janji buat ngajak kamu jalan Atau mungkin yang kamu sebut ngedate
Luna: Kamu ngajak saya lunch bareng nggak ada yang marah?
087321444xxx: Maksudnya?
Luna: Cewek kamu mungkin. Atau Freya
087321444xxx: Ternyata wartawan gosip bisa juga ya kena prank gosip. Freya itu adik Dimas Enggak mungkin kan saya punya hubungan sama sepupu sendiri
Luna merasakan tubuhnya semakin melemas. Tulang-tulang di kakinya bahkan tidak lagi dapat menopang tubuh Luna. Dia terduduk di lantai. Keringat dingin mulai bermunculan apalagi ketika dia teringat obrolannya dengan Shafa semalam.
087321444xxx: Lun kamu masih di sana kan? Kalau gitu, siang nanti saya tunggu di Kafe Friday. Kebetulan saya sedang ada pemotretan di sana Kantor kamu dekat sana kan?
Alih-alih menjawab pesan dari Nash. Luna buru-buru bangkit dan bersiap-siap menuju stasiun televisi nya sambil membenahi barang-barangnya dengan senewen. Di kepalanya sekarang dipenuhi sosok Shafa. Dia berharap Shafa belum menyiarkan liputan itu ke publik.
***
“Mas Shafa mana?” tanya Luna kepada Mirna ketika dia tiba di kantor.
Mirna mengedik. Akan tetapi, dari tatapannya Mirna seperti menyimpan sesuatu ketika melihat Luna.
“Mas Shafa mana sih. Udah gue teleponin dari tadi nggak diangkat,” gumam Luna menekan-nekan nomor Shafa dengan ponselnya.
“Lun, selamat ya,” kata Mirna tiba-tiba.
Luna terdiam, lantas menatap Mirna bingung. “Maksud Mbak Mirna?”
“Gue udah lihat liputan lo dari Mas Shafa. Menurut gue bakal jadi berita gede sih,” komentar Mirna dengan wajah bangga. “Kenapa sih lo nggak dari dulu semangat kayak gini. Kalau gini kan program kita bisa ngalahin acara sebelah.”
Luna tersenyum masam menjawab ucapan Mirna. “Beritanya … udah tayang?”
Mirna menggeleng. “Belum. Beritanya baru bakal ditayangin di Wazzup Celebrity Siang. Kenapa?”
“Masih ada kesempatan,” gumam Luna buru-buru berbalik.
“Lo nggak berencana cancel penayangannya kan, Lun?” tanya Mirna membuat langkah Luna berhenti di tempat. “Lun, ingat ya. Sebagai wartawan lo pasti tahu kalau berita yang udah disetujuin oleh redaksi buat tayang nggak mungkin di cancel gitu aja. Lo juga kudu ingat kalau lo itu wartawan Showbiz, ya tugas lo buat cari berita soal artis.”
Luna berdecak jengkel. “Dan gue nggak pernah bangga jadi wartawan yang selalu cari celah berita dari masalah pribadi artis. Artis juga manusia, dia berhak punya karya tanpa dikulik-kulik masalah pribadinya.”
“Lo yakin masih ada artis yang mentingin karya ketimbang sensasi?” cibir Mirna.
Luna mengangguk. “Masih.”
Mirna tersenyum tipis. Sementara Luna kembali berlari untuk mencari Shafa tidak peduli dengan tatapan orang-orang kepadanya.
Menit demi menit pun berlalu, tersisa kurang dari setengah jam berita itu akan tersebar ke seluruh Indonesia. Sementara Luna terduduk di meja kerjanya dengan air muka putus asa. Sudah beragam cara dia coba untuk menggagalkan penayangan berita hari ini, dari mulai memaksa masuk ke control room sampai meneror telepon rumah Shafa. Namun, gagal.
Wajahnya makin mengenaskan ketika dia membaca pesan dengan sebuah foto secangkir kopi dan pastri yang dikirimkan Nash kepadanya.
Nashayoga: Saya di sini sampai jam 3 Kalau kamu setuju sama ajakan saya, saya tunggu Pastry di sini enak loh
Luna mengusap wajahnya kasar. Air muka Luna makin nelangsa ketika akhirnya rekaman itu tersiar dari televisi di dinding ruangan. Dada Luna mencelos, apalagi isi berita itu terkesan memojokkan Nash dengan tuduhan pembohongan publik.
Luna panik setelah berita tersebar | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Rahang Luna mengeras. Kecewa, marah, dan kesal memenuhi dadanya. Dia sampai-sampai tidak mengindahkan telepon dari Dimas yang menghubunginya beberapa kali. Luna paham Dimas pasti murka dengannya sekarang. Baru ketika pop-up pesan dari Nash muncul, Luna memberanikan diri membuka pesan itu.
Nashayoga: Saya kecewa sama Kamu. Saya kira kita bisa berteman.
Luna menenggelamkan wajahnya berbantalkan tangan ke atas meja. Tangis tidak lagi bisa dia tahan. Luna kini patah hati.
Mooseboo atau yang biasa dipanggil Acuy. Penggiat media digital yang menjadikan kegiatan menulis sebagai pelarian diri dari ganasnya deadline kantor dan berisiknya isi kepala. Untuk tahu lebih banyak karya-karya dari Mooseboo, kunjungi instagramnya di @Mooseboo_