The Silent Romeo chapter 6 by Mooseboo | iustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Terjebak hujan, Luna pun menghabiskan sore bersama Nash. Mereka berbincang melalui chat, dan perlahan-lahan, Luna menyadari bahwa Nash sangat jauh berbeda dari yang dia pikirkan sebelumnya.
***
Hujan yang semula gerimis mendadak deras di luar rumah Nash. Luna pun terpaksa bertahan di teras dengan tas peralatan liputan di kanan dan kirinya, sambil menunggu mobil yang dia pesan lewat ponsel. Namun, semenjak setengah jam lalu tidak ada satu pun kendaraan yang mau membawa dirinya. Luna jadi gelisah dan mencak-mencak tak keruan. Apalagi tiba-tiba telepon masuk dari Bejo mengagetkannya.
“Halo,” jawab Luna mengangkat telepon Bejo. “Gue lagi ngerjain tugas dari Mas Shafa. Ih, kepo. Ada deh. Kenapa?”
“Sekarang?!” seru Luna kaget kala mendengar Bejo sudah berada di rumah salah satu artis untuk melakukan doorstop interview.
“Kok Mbak Mirna enggak kasih tahu gue sih. Jemput gue dong. Gue di daerah Kemang, dari tadi gue udah coba pesan ojek online sampai taksi online enggak ada yang mau angkut. Macet banget di sini kayaknya. Please…” pinta Luna.
“Iya sih… Tugas dari mas Shafa. Tapi kan gue takut Mas Shafa enggak bisa backing gue depan Mbak Mirna. Jo, Bejo! Lah, malah dimatiin,” kata Luna kesal. “Dia balas dendam karena gue main rahasia-rahasiaan kali ya. Dasar baperan.”
Luna berdecak sambil memandangi hujan dan layar ponselnya bergantian. Masih belum ada tanda-tanda kendaraan yang mau membawa dirinya pergi. Luna pun mendesah pasrah.
TING!
Suara notifikasi pesan masuk terdengar dari ponselnya. Luna segera membuka pesan di sana.
Dimas_Manajer Nash: Belum balik?
Luna tercenung. Rasanya agak aneh mendapatkan pesan dari Dimas yang jelas-jelas orangnya masih berada di dalam rumah. Alih-alih menjawab pesan itu, Luna menolehkan kepalanya. Kedua alisnya naik spontan ketika menemukan Nash mengangkat tangan kanannya dengan sebuah ponsel di tangan yang lain di depan pintu.
“Ini ka-mu?” tanya Luna menunjuk ponselnya.
Nash mengangguk. Dia kemudian berjalan mendekati Luna sembari mengetikan sesuatu pada ponsel di tangannya.
Nash mengirimi Luna pesan | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Dimas_Manajer Nash: Saya nggak tahu harus komunikasi sama kamu pakai apa biar nggak miskom. Jadi saya iseng pinjam ponsel Dimas
Usai membaca pesan Nash, Luna mencebik. “Kenapa nggak pakai ponsel kamu? Kan bisa minta nomor saya dari Mas Dimas?”
Alis Nash menyatu. Dia membalik kedua tangannya di depan Luna. “Apa?”
“Ke-na-pa eng-gak pa-kai pon-sel ka-mu aja? Kan bi-sa min-ta no-mor sa-ya da-ri Mas Di-mas,” eja Luna perlahan.
Nash terlihat kesal ketika Luna mengeja kalimatnya masih terlalu cepat dan buru-buru menatap lurus ke gerbang. Jelas, membuat dia sulit membaca gerak bibir dan ekspresi Luna.
Dimas_Manajer Nash: Bisa nggak terlalu cepat? Saya nggak bisa baca bibir kamu. Apalagi kamu nggak mau menghadap saya. Lewat chat aja.
Luna memutar bola matanya, kemudian mengikuti arahan Nash dengan mengetikan balasan di ponsel miliknya.
Luna: Saya bilang, kenapa kamu nggak pakai ponsel kamu aja buat kirim pesan. Kamu kan bisa save nomor saya dari ponsel Dimas.
Dimas_Manajer Nash: Kamu wartawan Lagipula saya nggak biasa hubungin orang asing pakai ponsel pribadi saya.
Luna melongo. Kata wartawan dan orang asing cukup membuat hatinya sedikit terusik.
Dimas_Manajer Nash: Maaf. Tapi saya memang nggak terlalu suka orang lain tahu banyak soal saya. Dimas yang selalu ingetin saya buat jangan terlalu percaya sama orang lain. Apalagi wartawan gosip.
Luna: Termasuk nomor telepon?
Luna melirik Nash di sebelahnya. Lelaki itu mengedik dengan kedua sudut bibirnya terangkat naik. Sementara hujan semakin deras di depan mereka.
“Terserah,” gumam Luna kepada dirinya sendiri.
Dimas_Manajer Nash: Kenapa belum balik?
Luna: Enggak ada yang mau angkut. Mungkin karena takut kejebak macet.
Dimas_Manajer Nash: Mau nunggu di dalam?
Luna: Saya malas ketemu Dimas Nanti saya diledekin kalau balik lagi ke dalam.
Dimas_Manajer Nash: Dimas tidur abis makan siang. Kemarin kita emang baru sampai rumah tengah malam.
Setelah menimbang beberapa saat, Luna mengangguk. Dia pun berjalan mengikuti Nash kembali ke dalam rumah.
***
Baru kali ini Luna saling berkirim pesan dengan seseorang yang jelas-jelas berdiri di sebelahnya. Rasanya unik dan lucu bersamaan. Apalagi Nash ternyata tidak kaku dan pendiam seperti reputasi lelaki itu selama ini. Justru kebalikannya, Nash sangat ekspresif.
Luna: Saya baru tahu kalau kamu ternyata seekspresif ini.
Dimas_Manajer Nash: Orang-orang seperti saya memang seperti ini. Karena bahasa isyarat akan sulit dimengerti kalau nggak pakai ekspresi.
Luna menganggukkan kepalanya. Sementara kakinya terus melangkah masuk ke dalam rumah Nash. Banyak hal yang baru dia pahami tentang orang-orang seperti Nash. Jujur, ini semakin membuat Luna penasaran.
Luna: Boleh saya tahu gimana awalnya kamu bisa tahu kalau kamu tuna rungu?
Langkah kaki Nash berhenti di ruang tengah. Tatapan yang semula pada layar ponsel berpindah ke arah Luna. Sontak saja, Luna serba salah.
Dimas_Manajer Nash: Tuli. Kami lebih suka dipanggil tuli.
Luna meringis serba salah membaca jawaban Nash. “So-ri.”
Nash mengangguk maklum. Dia kembali mengetikan sesuatu di ponsel Dimas. Kali ini ketikan lelaki itu lebih lama dari biasanya. Seperti tengah menuangkan kisah hidupnya di sana. Luna bahkan dapat melihat ekspresi serius dari wajah Nash. Tak lama, Nash menunjuk ponsel Luna dibarengi suara notifikasi ponsel.
Dimas_Manajer Nash : Saya lupa sejak kapan saya tahu saya tuli. Tapi yang pasti, sejak dulu saya enggak pernah bisa dengar jelas suara dari luar. Termasuk suara saya sendiri. Ibu bilang ambang pendengaran saya 90 db ke atas. Itu yang buat saya nggak bisa dengar bunyi. Saat kecil saya sempat akan operasi implan, tapi Ibu nggak yakin bisa berhasil dengan kondisi pendengaran saya, apalagi waktu itu keuangan kami belum seperti sekarang. Ibu lebih pilih support saya dengan cara yang lain. Salah satunya dengan jadi model.
Luna : Kenapa model? Dan gimana caranya kamu bisa dengar background musik saat runway?
Nash menunjuk alat mirip wireless earphone di telinganya. Alat yang ternyata adalah alat bantu dengar.
Dimas_Manajer Nash : Enggak sejelas kamu. Tapi seenggaknya saya masih bisa dengar sedikit kalau fokus. Soal model, mungkin karena sedari dulu Ibu udah tahu saya ganteng dan punya bakat. Jadi, walau sejujurnya saya minder sama kondisi saya, Ibu selalu semangatin saya.
Luna mencibir kala membaca kata ganteng pada pesan Nash. Alih-alih tersinggung, lelaki itu malah tertawa pelan melihat wajah Luna.
Luna: Kamu kayaknya dekat banget sama Ibu kamu?
Nash mengangguk. Dia lantas mendongak dan memandangi foto dirinya dengan sang ibu.
Dimas_Manajer Nash: Ayah saya udah nggak ada sejak kecil. Beruntung keluarga Ayah masih mau bantu kita. Kayak Dimas. Dimas itu anak dari kakak pertama Ayah.
“So-ri,” ucap Luna spontan kepada Nash.
Dimas_Manajer Nash : Ibu bilang nggak perlu minta maaf buat sesuatu yang memang udah ditakdirkan. Karena semua orang punya takdirnya masing-masing. Termasuk kondisi saya.
Luna: Saya suka kata-katanya. Kalau kamu bisa terima kondisi kamu, kenapa nggak jujur ke publik?
Nash terdiam. Matanya masih memandangi pigura itu. Ada rasa yang sepertinya tengah dia simpan rapat-rapat.
Nash memandangi foto dirinya dengan sang Ibu | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Dimas_Manajer Nash: Saya masih belum seberani dan sepercaya diri itu. Saya masih takut sama komentar orang lain.
Luna: Tapi kamu berbakat loh. Dengan kelebihan kamu sebagai model, mungkin bisa kasih inspirasi sama anak-anak spesial kayak kamu.
“Ke-na-pa? Omo-ngan sa-ya be-nar, kan?” tanya Luna ketika Nash memandanginya tidak yakin. Luna kemudian kembali memandangi pigura di hadapannya. “Kamu beruntung punya mimpi dan tujuan yang jelas. Apalagi kamu juga punya kesempatan. Banyak orang yang katanya sempurna tapi justru nggak bisa dapat kesempatan itu.”
Nash mencolek lengan Luna, lalu membalik kedua tangannya di depan Luna. “Apa?”
Buru-buru Luna menggeleng. “Cantik. I-bu ka-mu can-tik,” ulang Luna menguncupkan tangan kanannya di depan mulut dan menggerakan jari-jarinya dengan bibir mencibir kemudian menunjuk pigura keluarga Nash.
“Ibu?” Nash meletakan tangan kanannya ke telinga.
Luna mengangguk dan mengulangi gerakannya barusan. “Iya. Ibu kamu cantik. Ini ar-ti-nya can-tik kan? Di-mas bi-lang gi-tu.”
Nash mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Susah payah dia menahan tawanya, padahal seharusnya dia tersinggung ketika ibunya disebut cerewet oleh orang lain. Namun, ekspresi polos Luna akhirnya membuat tawa Nash tidak lagi bisa ditahan.
Jelas, Luna curiga melihat tingkah Nash. “Kok ketawa? I-ni ar-ti-nya can-tik, kan? Nash! Ngeselin banget sih.”
Nash menghentikan tawanya. Dia kemudian menggenggam tangan kanan Luna, mengusapkannya di dagu Luna, lantas mengacungkan jempol perempuan itu di depannya.
“Can-tik,” eja Nash dengan artikulasi yang kurang jelas.
Tubuh Luna mendadak beku. Apalagi Nash malah tersenyum lebar dengan tatapan lurus kepadanya. Sebuah kombo yang mengkhawatirkan bagi dada Luna.
Nash memegang tangan Luna | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“It–Itu artinya can-tik?” tanya Luna tergagap.
Nash mengangguk dan mengulangi gerakan tadi dengan tangannya sendiri. “Cantik.”
“Cantik,” gumam Luna tersipu malu sambil menundukan kepalanya. Sampai-sampai dia tidak sadar Nash tengah mengetikan sesuatu di ponsel Dimas. Sampai notifikasi pesan masuk terdengar.
Dimas_Manajer Nash: Kalau kapan-kapan kita ngobrol di luar, mau? Saya rasa kamu bisa jadi teman ngobrol yang seru.
Luna menyelipkan anak rambutnya ke telinga sambil berusaha menahan tawa ketika membaca pesan Nash. Kemudian, sambil menyipitkan matanya ke arah Nash, dia membalas pesan itu.
Luna: Kamu ngajak saya nge-date ceritanya?
Alih-alih langsung membalas pesan Luna, Nash malah mengedik sambil memasang mimik iseng. Sontak, Luna mencibir sebal.
Mooseboo atau yang biasa dipanggil Acuy. Penggiat media digital yang menjadikan kegiatan menulis sebagai pelarian diri dari ganasnya deadline kantor dan berisiknya isi kepala. Untuk tahu lebih banyak karya-karya dari Mooseboo, kunjungi instagramnya di @Mooseboo_