The Silent Romeo chapter 5 by Mooseboo| ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Luna memang sudah menemukan trik untuk membuat Nash bersuara, yaitu dengan teknik dubber. Namun, dengan waktu yang mepet, akankah cara ini berhasil?
***
Malam itu, Nash berdiri seorang diri di depan cermin sambil menghapus riasan di wajahnya, sementara suasana backstage terlihat hiruk pikuk dan ramai di luar ruang ganti pribadinya. Penata riasnya sudah pulang beberapa menit yang lalu, baju-baju rancangan Yusman yang semula bergeletakan juga sudah menghilang dari ruangan, sedangkan Dimas tengah menjemput makanan mereka di luar.
Nash meletakan alat yang sengaja didesain mirip earphone bluetooth dari telinganya ke permukaan meja rias. Seketika suara di sekitarnya mereda dan menyisakan hening di telinga Nash. Dia pun tersenyum lega. Kadang kala dia justru menyukai saat-saat sunyi seperti ini.
BRUK!
Tas Dimas terjatuh dari atas kursi ketika tanpa sengaja dia menyenggol benda itu saat hendak merebahkan tubuhnya ke sana. Gulungan dokumen menyembul dari sana. Desisan jengah terdengar dari mulut Nash.
Ingatan saat Dimas berdebat minggu lalu dengan Luna pun mampir di kepalanya. Dia ingat bagaimana frustasinya air muka Luna kala itu. Peluh di pelipis juga rambut sebahunya terlihat sangat berantakan. Bahkan perempuan itu langsung pamit usai take ulang kesebelas kalinya dengan alasan dia harus kembali ke kantor.
Nash terkekeh teringat wajah pasrah Luna ketika menjejalkan dokumen itu ke dalam tas Dimas. Lebih konyol lagi ketika dia mendengar cerita dari Dimas, bila Luna sempat berceletuk akan membayar waktu Nash yang terbuang selama ini. Celetukan yang langsung dianulir oleh Luna.
Nash membaca script dari Luna | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Ceroboh dan tanpa perhitungan. Nash tidak percaya bila Luna bisa menjadi seorang wartawan.
Nash mengedik. Dia kemudian mengambil script pertanyaan interview dari lantai dan membaca satu per satu kalimat di sana. Kalimat yang akhirnya menghabiskan satu jam waktu Nash tanpa sadar. Sebuah pulpen bahkan sudah dia pakai untuk membuat beberapa catatan kecil di kertas itu.
“Nash,” panggil Dimas sambil menepuk pundak Nash dari belakang.
Nash sontak menoleh.
Dimas menunjuk Nash, lalu membalikan telapak tangan kanannya di depan Nash. “Se-dang a-pa?”
Segera, Nash menggeleng. Dia kemudian bangkit dari duduk dan meletakan tumpukan kertas itu ke atas meja.
“Mau ke ma-na?” tanya Dimas sembari membentuk tangan kanannya seperti mangkuk dan meletakannya ke dada, kemudian membuka kedua telapak tangannya ke atas.
“Toilet.” Nash menggerakan bibirnya dan menunjuk ruangan kecil di sudut.
Sepeninggal Nash, Dimas dibuat termenung seorang diri. Tatapannya kemudian beralih kepada tumpukan script yang ternyata sudah dipenuhi coretan juga catatan kecil dari Nash.
“Tumben dia niat banget begini.”
***
Pagi itu, seperangkat alat liputan sudah tertata rapi di salah satu sudut rumah Nash. Luna tampak mondar-mandir mengatur pencahayaan sampai set tempat. Sementara Dimas mengamati dengan mimik malas di belakang Luna.
“Belum nyerah juga?”
Luna menggeleng.
“Padahal perjanjian kita cuma tiga jam, kenapa sekarang jadi tiga minggu, ya,” sindir Dimas.
“Sebagai informasi, bukan gue loh yang salah-salah melulu, Mas Dimas sama Nash ‘kan yang nggak kompak,” jawab Luna sambil mencibir.
“Gimana kalau konsepnya ngikutin keseharian Nash aja? Lebih simpel kan? Lo cuma perlu buat suara narasi dan liput kegiatan Nash,” usul Dimas. “Lagian mulai minggu depan jadwal Nash penuh. Gue nggak yakin bisa atur jadwal buat interview.”
Luna menghentikan kegiatannya dan menoleh ke arah Dimas. “Ingat perjanjian awal kita loh, Mas. Lagian lo pasti malas kan kalau sampai ketemu wartawan kepo kayak gue lagi. Makanya video interview kayak gini, pastinya buat infotainment lain enggak lagi penasaran sama Nash.”
“Gue tahu. Tapi masalahnya, gue nggak yakin bisa kasih waktu lo buat interview minggu depan. Lusa aja, jadwal Nash udah mulai penuh,” jawab Dimas berjalan ke arah meja makan untuk menyantap sarapannya.
“Kalau gitu, kita kudu kelarin semuanya hari ini,” sahut Luna optimis. “Semangat dong, Mas. Ayo! Nash mana? Dia udah bangun, ‘kan?”
“Udah. Tapi dari pagi dia sibuk di halaman belakang, nggak tahu deh ngapain,” ujar Dimas meletakan bokongnya ke kursi meja makan. “Lo samperin aja. Gue mau sarapan dulu. Lapar berat.”
“Boleh?”
Dimas mengangguk. “Ingat ke halaman belakang, ya. Jangan nyelinap ke mana-mana. Banyak CCTV di sini.”
“Iya, takut banget apa gue rekam macam-macam,” decak Luna.
“Gue bukan takut. Tapi ini warning. Udah cukup gue dikerjain sama wartawan kayak lo.”
Luna meringis, kemudian membawa langkahnya menuju halaman belakang rumah Nash. Lengkungan lebar muncul di bibir Luna kala menemukan Nash tertidur dengan kepala di permukaan meja. Sementara gelas kopi yang tersisa ampas dan tumpukan kertas bertebaran pada meja rotan di teras halaman belakang itu.
“Nash,” panggil Luna.
Namun nihil, suara dengkuran halus masih terdengar samar dari tubuh Nash.
“Nash. Kita ada janji liputan loh hari ini. Bangun, dong. Gue cuma bisa sampai jam satu,” kata Luna lagi.
Tubuh Nash tetap bergeming. Jelas, Luna menggerutu kesal karenanya. Akan tetapi, senyum tipis muncul ketika menemukan script interview mereka ada di meja itu. Lebih lucu lagi ketika ada catatan kecil di area kosong tulisan-tulisan itu.
Nash tertidur karena saat mempelajari script | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Gitu dong niat,” gumam Luna menilai kerja keras Nash. Sampai kedua alis Luna terangkat naik ketika teringat bila Nash tidak mungkin terbangun karena suaranya. “Gue lupa.”
Luna pun mendekati tubuh Nash, berjongkok di samping tubuhnya, dan menggoyangkan tubuh lelaki itu. “Nash bangun! Nash!”
Kedua bola mata Nash terbuka lebar. Luna terkesiap. Teduhnya bola mata Nash sesaat mengalihkan dunia Luna. Dia baru menyadari satu hal, bila memandangi mata Nash bisa membuat tubuhnya kaku dan dadanya kejang-kejang. Pantas saja banyak perempuan mendadak tremor menyaksikan Nash di atas panggung runway.
“Sori,” jawab Luna ketika Nash memandanginya kebingungan. Segera, Luna bangkit. “A-yo ke da-lam. Wa-wan-ca-ra.”
“Maaf.” Nash menggerakan bibirnya sambil membuat tanda oke dengan tangan kanan dan meletakannya di pipi. Dia lalu memindahkan tanda oke itu ke pelipisnya. “Lupa.”
“It’s okay. Gue tunggu di dalam ya,” jawab Luna canggung, lantas kabur ke dalam rumah meninggalkan Nash yang kebingungan seorang diri.
***
Di luar dugaan, liputan hari ini berjalan lancar meskipun harus melewati lima kali take ulang. Dimas sampai-sampai termangu tidak percaya.
“It’s a wrap, guys,” gumam Luna tidak kalah kaget setelah Nash menyelesaikan gerakan bibirnya di kalimat terakhir. “It’s a wrap! Aaaaa!!!”
Spontan Luna berjingkrak-jingkrak di samping Dimas. Tidak hanya itu, bahu Dimas bahkan sudah menjadi target pelampiasan rasa bahagia Luna.
“Ingat rekaman yang tadi jangan sampai lo pelintir-pelintir, ya. Harus sesuai perjanjian,” ancam Dimas memasang wajah pura-pura kesal.
“Sip! Terima kasih Mas Dimas untuk waktunya. Saya akan kabari bila liputan tentang Nash akan tayang,” kata Luna menjabat tangan Dimas bergaya sok profesional. Sampai tepukan pelan di bahu Luna membuat dia sontak menoleh.
Nash menarik perhatian Luna | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Di belakang Luna, Nash menaikan satu alisnya dan menunjuk dirinya sendiri.
Luna terkekeh. “Terima kasih, Nash.”
“Terima kasih.” Nash meletakan tangan kanan ke dagunya dan menggerakkannya ke depan.
“Artinya, terima kasih,” sahut Dimas.
Luna mengangguk-anggukan kepalanya paham. Dia pun mengikuti bahasa isyarat Nash. “Terima kasih.”
Nash mengangguk dan tersenyum lebar. Senyum yang membuat bibir Luna melengkung tinggi tanpa sadar.
Mooseboo atau yang biasa dipanggil Acuy. Penggiat media digital yang menjadikan kegiatan menulis sebagai pelarian diri dari ganasnya deadline kantor dan berisiknya isi kepala. Untuk tahu lebih banyak karya-karya dari Mooseboo, kunjungi instagramnya di @Mooseboo_