Nash sudah menyetujui permintaan wawancara, Luna juga sudah datang ke rumah mewah Nash untuk interview secara langsung dalam bentuk video. Namun, dengan kondisi spesial Nash, bagaimana cara Luna untuk membuat Nash “bersuara”?
***
Tepat pukul 10 pagi Luna turun dari taksi online di depan sebuah rumah bertingkat dua di daerah Kemang. Agak ragu, dia mengamati rumah berpagar tinggi itu dan memastikannya sudah sesuai dengan alamat yang tertera pada layarnya.
Ucapan Dimas kemarin masih terngiang-ngiang di telinganya, interview tidak lebih dari satu jam dan hanya dengan Luna tanpa ada orang lain. Benar-benar merepotkan Luna yang harus membawa kamera, perangkat microphone, dan lighting seorang diri. Apalagi tubuh Luna yang mungil, membuat dia tampak seperti anak SMP yang baru kabur dari rumah.
Getaran ponsel di kantung celananya, membuyarkan lamunan Luna. Nama Shafa muncul di layar.
Mas Shafa_Produser : Tetap fokus dan hati-hati. Gue tunggu rahasia besar Nash yang lo janjiin kemarin. Inget NO PIC HOAX
Luna mengerucutkan bibirnya. Dia memang belum membocorkan rahasia Nash kepada Shafa. Sebab Luna paham betul arti bukti rekaman dalam sebuah berita.
Sambil membawa lighting di bahu kanan, tas kamera di punggung, dan tripod serta barang printilan lainnya di bahu kiri, Luna berjalan tertatih menuju pintu gerbang dan mencari bel di pintu.
Setelah menekan bel beberapa kali, seorang wanita paruh baya muncul dari dalam rumah dan membukakan pintu gerbang rumah itu.
“Mbak Luna, ya? Mas Dimas sama Mas Nash udah nunggu di dalam. Ayo, masuk!”
Luna mengangguk kemudian mengekori asisten rumah tangga itu sampai ke dalam rumah.
“Liputan langsung?! Ngelunjak ini orang,” semprot Dimas kepada Luna ketika perempuan itu menjelaskan rencana liputannya hari ini.
Nash yang sedang menyantap nasi goreng di sebelahnya, memasang wajah penasaran. Dimas mendecak ke arah Luna lantas menjelaskan maksud umpatannya kepada Nash yang segera meletakan sendoknya kesal ke atas piring, melipat kedua tangannya ke dada, dan mengamati Luna tajam.
Sesaat, Luna menelan ludahnya kasar. Kemudian, dengan mimik pongah Luna menyabet tasnya dari atas meja makan. “Oke, kalau nggak mau. For your information ya, Mas Dimas, saya masih punya bukti soal Nash. Mas Dimas tahu kan, konsekuensinya apa kalau Mas ngelanggar perjanjian kita?”
Dimas mendengkus. “Apa bedanya dengan ngelakuin liputan langsung. Orang tetap tahu juga kan soal kondisi Nash?”
Bibir Luna mengatup. Ucapan Dimas ada benarnya. Sampai sebuah ide brilian mampir di dalam kepalanya. Wajah Luna bahkan tampak semringah. “Dubbing.”
“Dubbing?” sahut Dimas bingung.
“Coba Mas Dimas bilang … Saya Nash, sekarang kegiatan saya hanya menjadi model,” ujar Luna lalu mengamati sosok Nash.
“Buat apa?”
“Udah buruan,” decak Luna.
“Saya Nash, sekarang kegiatan saya hanya menjadi model,” kata Dimas setengah hati.
“Nice! Perfect! Sekarang kita punya suara Nash!” seru Luna sambil bertepuk tangan heboh sendiri. Sampai-sampai Nash menaikan salah satu alisnya kebingungan dengan tingkah Luna.
“Maksud lo, gue jadi dubber Nash?” tanya Dimas membaca jalan pikiran Luna.
Luna mengangguk mantap. “Suara Mas nggak jelek-jelek banget kok, masih cocok sama muka Nash. Dan kalau sekali ini aja Nash mau tampil dan bicara langsung di publik gue rasa orang enggak lagi penasaran sama sosok Nash. Kalian tetap aman kan?”
“Yakin bakal berhasil? Kalau malah gagal gimana?” tanya Dimas skeptis.
Lengkungan lebar tampak di bibir Luna, dia pun bangkit dari duduk. “Serahin sama gue. Ayo! Mending sekarang kita cari spot oke buat ambil gambar sekaligus buat script.”
Nash dan Dimas saling tatap. Apalagi Luna dengan lincahnya berjalan ke sana-kemari mengamati area rumah Nash. Luna bahkan melupakan barang-barangnya yang masih bergeletakan di sekitar meja makan.
“Dia pikir, ini rumah dia sendiri apa,” gerutu Dimas sambil menggelengkan kepalanya. Sementara Nash tersenyum sinis sambil mengamati punggung Luna.
Di sisi lain, rahang Luna hampir lepas ketika matanya disuguhi ruangan megah dan perabotan serba mewah ketika dia berkeliling rumah Nash. Bahkan di antara artis atau pun publik figur yang pernah dia kunjungi rumahnya, sedikit yang dapat menandingi rumah ini. Hanya beberapa kalangan pejabat yang memiliki rumah serupa rumah, yang katanya milik Nash ini.
Belum lagi foto-foto Nash saat tengah melakukan runaway bertebaran di tembok rumah. Sesaat Luna seperti berada di istana kerajaan antahberantah dengan Nash sebagai rajanya.
Rumah mewah Nash membuat Luna takjub | Ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Sampai tatapan Luna berpindah ke arah pigura besar di tengah ruangan. Pigura yang berisi foto seorang wanita paruh baya berwajah lembut dengan anak lelakinya, Nash. Tanpa sadar, Luna melengkungkan bibirnya ketika dia tahu dari mana wajah tampan Nash berasal.
“Hm.”
Bahu Luna berjengit ketika seseorang menepuk bahu kanannya. Tas lighting miliknya diserahkan dengan kasar oleh Nash yang entah sejak kapan sudah berada di belakangnya.
“Punya kantor nih, kalau rusak bisa nggak gajian dua bulan gue. Pelan dikit lemparnya bisa nggak sih?” gerutu Luna mengusap-usap tas itu.
Nash berdecak kemudian menguncupkan tangan kanannya di depan mulut dan menggerakan jari-jarinya dengan bibir mencibir. Sementara ekspresi bodo amat dia tampakkan, seperti sengaja mengejek Luna.
Luna yang tidak paham bahasa isyarat Nash, hanya mendengkus kesal.
“Gimana? Udah dapat?” tanya Dimas di belakang mereka.
“Di ruang keluarga kayaknya oke. Kalau gitu gue siapin setnya. Kalian jawab aja dulu daftar pertanyaan ini,” kata Luna menyerahkan kertas ke tangan Dimas.
“Pertanyaan macam apa nih?!” seru Dimas ketika membaca daftar pertanyaan Luna pada selembar kertas di tangannya. “Kapan pertama kali pacaran? Pertama kali ciuman kapan? Pernah mempunyai hubungan dengan perempuan dari kalangan artis?”
“Justru masyarakat kita itu selalu penasaran sama hidup orang lain. Apalagi itu kehidupan pribadi Nash the Almighty,” cerocos Luna sengaja menekan kata almighty seakan masih kesal dengan kelakuan Nash. “Lagian pertanyaan gue itu masih lebih baik loh ketimbang wartawan lain yang lebih detail dan maksa. Ingat perjanjian kita, Mas.”
Dimas berdecak kesal. Dia lantas meminta Nash mengikuti dirinya ke arah sofa untuk berdiskusi tentang pertanyaan-pertanyaan dari Luna. Sementara Luna tersenyum sombong lantas melanjutkan kegiatannya merapikan set liputan.
Selang satu jam, Dimas menyerahkan beberapa lembar kertas berisi jawaban Nash. “Happy? Terus sekarang gimana?”
Luna mengangguk puas sambil membaca jawaban-jawaban Nash. “Oke, sekarang gue jelasin dulu konsepnya. Konsepnya nanti seperti talkshow. Gue bakal duduk di sebelah kamera dan ajuin pertanyaan ini ke Nash. Mas Dimas duduk di sebelah gue dan ikutin gerak bibir Nash di depan kamera.”
“Buat Nash, jawaban lo ini nanti gue pegang dan gue arahin ke elo, tinggal lo baca aja. Masih bisa ke baca sampai situ kan?” terang Luna menunjuk kursi di tengah set. Alisnya mengernyit ketika Nash malah memasang wajah bingung. “Lo ngerti kan maksud gue?”
“Biar gue yang jelasin,” decak Dimas kepada Luna. “Bisa nggak sih kasih instruksi pelan dikit.”
“Maaf. Gue lupa,” gumam Luna serba salah.
Setelah Dimas menjelaskan panjang lebar, liputan hari itu pun dimulai. Sayangnya, rencana hanya tinggal harapan. Sebab menyamakan gerak bibir Nash dan suara Dimas ternyata sulit bukan main. Mereka bahkan sudah melakukan take yang ke dua puluh kali hari itu.
Dimas menjadi dubber Nash | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Janji liputan yang semula satu jam, tanpa mereka sadari sudah lebih dari tiga jam. Rambut Luna sudah berantakan tak tentu arah, suntuk bercampur frustasi tampak jelas terlihat di wajahnya.
“Kalian bisa lebih serius nggak sih? Kita masih mentok di pertanyaan ketiga loh, masih ada lima belas pertanyaan lagi,” gumam Luna meraup wajahnya frustasi.
“Memang kita kurang serius gimana sih?” sinis Dimas bangkit dari duduk. “Denger ya. Gue udah nggak peduli lo mau bocorin rahasia ini atau nggak, gue capek. Lagian lo ngotot banget sih dapatin berita soal Nash, berapa emang bonus yang stasiun TV lo kasih ke elo?”
Luna mengepalkan tangannya gusar. “Ini bukan soal bonus. Tapi lebih dari itu.”
Nash yang duduk di depan mereka, mengamati obrolan Luna dan Dimas penasaran.
“Oke, kita lanjut. Kali ini kita pasti bisa! Ayo, Nash! Tunjukin kalau lo emang model internasional, tunjukin aura lo!” seru Luna tiba-tiba bergaya bak orang gila di depan Nash.
Luna menyemangati Nash | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Nash melirik Dimas kebingungan. Dia lantas menguncupkan tangan kanannya di depan mulut dan menggerakan jari-jarinya dengan bibir mencibir. Nash kemudian menunjuk Luna sambil membalikan telapak kanannya ke arah Dimas. Sepupunya itu terkekeh lantas mengedik dan melirik Luna.
“Kalian ngomongin gue, ya?” tanya Luna mulai curiga.
“Enggak,” jawab Dimas.
“Apaan tuh artinya begini-begini?” ujar Luna menirukan gerakan Nash tiap kali berada di depannya.
“Cantik,” kata Dimas asal.
“Bohong banget. Ekspresi kalian aja ngetawain gue gitu,” gerutu Luna.
“Jadi, lanjut nggak nih?” sindir Dimas dengan manahan tawa.
Luna berdecak. “Ayo mulai. Tiga… Dua… Satu… Action!”
Mooseboo atau yang biasa dipanggil Acuy. Penggiat media digital yang menjadikan kegiatan menulis sebagai pelarian diri dari ganasnya deadline kantor dan berisiknya isi kepala. Untuk tahu lebih banyak karya-karya dari Mooseboo, kunjungi instagramnya di @Mooseboo_