The Love Case chapter 9 by anothermissjo | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Di tengah kegalauannya tentang melanjutkan misi perjodohan Joval dan Amini, Muara malah mengetahui rahasia yang disimpan Joval tentang dirinya. Apa yang harus Muara lakukan sekarang?
***
Ketika semua pegawai pergi keluar mencari makan, Muara memilih makan di kantor setelah memesan melalui ojek online. Dia sedang irit uang untuk membeli laptop baru. Kalau makan di luar bersama Karmen dan kawan-kawan, dia tidak bisa menabung karena tempat yang didatangi selalu mahal-mahal. Dompetnya selalu menjerit. Apalagi ini baru tengah bulan. Muara menyiapkan makanannya dengan menggunakan piring yang ada di pantry kantor. Makan di kantor pun enak karena pantry bersih dan menyediakan meja makan yang sama terawatnya. Pikirannya tiba-tiba melayang jauh.
Beberapa hari setelah omnya meninggal, Muara berusaha ceria. Omnya sudah dimakamkan di dekat makam orangtuanya yang telah meninggal bertahun-tahun lalu. Dia masih ingat betul Joval menemaninya sampai sore dan menceritakan soal perceraian. Namun, entah kenapa dia kepikiran soal Joval menariknya untuk bersandar di bahu kokoh laki-laki itu. Sejak hari itu, dia tidak bisa mengenyahkan betapa hangatnya sentuhan Joval.
“Udah gila. Bisa-bisanya gue mikirin hal itu,” gumamnya pelan.
“Siapa yang gila, Mu?”
Muara terlonjak kaget, nyaris mengumpat kalau tidak melihat wajah si pemilik suara. Dia buru-buru nyengir melihat Dalamm. “Eh, Pak Dalamm. Saya pikir siapa.”
“Kamu pikir Amal gitu?”
“Kok, Amal, Pak?”
Dalamm terkekeh. “Satu kantor gosipin kalian, tahu? Kamu belum dengar kabar Amal sama kamu bermesraan di atas rooftop? Saya dengar gosipnya.”
Muara ingin memaki penyebar gosip murahan itu. Iya, dia sudah dengar. Rasanya tidak tepat menjadikan dia dan Amal sebagai bahan gosip. Dia sudah menganggap Amal seperti saudaranya, tidak mungkin ada remah-remah cinta di antara mereka.
“Gosipnya salah, Pak. Saya sama Amal cuma rekan kerja, nggak lebih.”
“Kalau sama Pak Joval gimana?”
“Eh? Pak Joval?” ulang Muara, takut salah dengar.
“Siapin dulu makanannya, Dal, baru lo ngobrol.” Enigma tiba-tiba muncul dari belakang, sambil menenteng paper bag yang dipesan melalui ojek online.
“Oh, iya! Gue sampai lupa. Sini, biar gue siapin.” Dalamm mengambil paper bag tersebut dan mengeluarkan makanan yang dipesan. “Nggak apa-apa, kan, kalau saya sama Enigma ngomongnya gue-lo di depan kamu, Muara?” tanyanya sembari membuka plastik.
“Nggak apa-apa, kok, Pak.” Muara bergeser ke samping, membiarkan Dalamm menguasai depan tempat piring-piring. Kemudian, dia mengambil makanannya yang sudah disiapkan, bergerak mundur agar bisa keluar dari sana.
“Memangnya kenapa? Daripada kamu sendirian lebih baik makan bareng di sini. Apa serunya makan sendirian? Iya, nggak, En?” Dalamm menjawab seraya berbalik badan, memamerkan senyum penuh membujuk. “Jangan pikir-pikir, udah duduk aja.”
Muara memperhatikan Enigma sekilas. Dia tidak segan jika berhadapan dengan Dalamm karena pembawaan laki-laki itu yang humoris. Berbeda dengan Enigma yang terlihat galak dan jutek di setiap kesempatan. Jika dibandingkan dengan Joval, dia lebih suka dinginnya Joval ketimbang Enigma. Inilah alasannya dia menimbang-nimbang, takut sama Enigma.
“Ya, elah … kamu masih berdiri aja macem manekin.” Dalamm sudah selesai menyiapkan makanan dan meletakkan dua piring di atas meja. “Enigma nggak bakal nelan kamu, kok. Dia baik. Tapi mukanya memang agak nggak bersahabat, udah dari lahir begitu.”
Muara akhirnya duduk setelah melihat Enigma menyuruhnya duduk melalui gerakan mata secara singkat. Dia meletakkan makanannya di atas meja, duduk dengan manis, dan mengatup mulutnya rapat-rapat agar tidak mengeluarkan pertanyaan yang tidak perlu.
“Kamu belum jawab pertanyaan saya tadi, lho!” tagih Dalamm.
“Soal Pak Joval, Pak?”
Dalamm mengangguk.
“Saya agak kurang paham, Pak. Maksudnya gimana saya sama Pak Joval?”
Enigma menyela, “Kamu ada hubungan lebih dari sebatas bos dan pegawai nggak? Itu maksudnya Dalamm.”
“Nah, itu!” sahut Dalamm dengan senyum lebar, merasa senang karena Enigma mau ikut campur.
“Saya sama Pak Joval nggak ada hubungan seperti itu, Pak. Memangnya ada gosip tentang kami berdua?” Muara menahan tangannya yang hendak menyuap nasi ke dalam mulut, tidak sabar mendengar jawaban kedua pendiri itu.
Sambil menyuap nasi ke dalam mulut, Dalamm menjawab, dengan mulut penuh. “Nggak ada, saya pikir kalian udah kencan.”
“Makan dulu, baru ngomong. Keselek aja lo,” kata Enigma.
“Mana mungkin kencan, Pak.”
“Mungkin aja, kan, Joval suka sama kamu,” beber Dalamm.
“Suka?” Muara mengulang dengan wajah kaget. “Maksudnya suka gimana, Pak?”
“Aduh, Muara. Kamu nggak pekaan atau memang pura-pura nggak tahu? Joval suka sama kamu dari tiga tahun lalu. Saya pikir kalian makin dekat ke sininya karena dia udah ngajak kencan, eh, ternyata belum,” cerocos Dalamm.
Muara diam cukup lama. Suka? Joval menyukainya? Kalimat itu terus terulang di kepala. Dia tidak tahu hal itu kalau Dalamm tidak memberi tahu. Kenapa Joval bisa menyukainya?
Muara makan siang bersama Dalamm dan Enigma | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Joval naksir berat sama kamu, Muara. Dia mana pernah mau belain orang secara cuma-cuma terkecuali keluarganya sendiri atau memang orang itu nggak mampu. Tapi karena Sasya itu teman kamu, dia rela bantuin teman kamu secara cuma-cuma. Karena sebesar itu perasaannya untuk kamu. Waktu itu aja dia balik lagi ke acara ulang tahun saya untuk ngajak kamu pulang,” sambung Enigma ikut membeberkan.
“Dia bete, tuh, kamu pulangnya sama Amal. Cemburu dia,” timpal Dalamm setengah tertawa.
“Kata Ready, sih, Joval lebih cemburu pas di rooftop. Waktu itu kamu berduaan sama Amal. Sahabat saya itu cemburu tingkat tinggi,” kata Enigma.
“Tapi beneran, deh, Joval bucin banget orangnya. Kalau dia suka sama seseorang, dia bisa melakukan apa pun. Waktu sama Ami begitu. Tapi lebih bucin pas sama kamu, sih, kelihatannya.” Dalamm memberi tahu lagi dengan tangan yang sibuk menyuap makanan ke dalam mulut untuk ke sekian kali. “Pokoknya dia suka banget sama kamu, deh.”
Muara masih tidak percaya. Tiga tahun bukan waktu sebentar. Bagaimana bisa Joval tahan memendam perasaannya dan tidak menunjukkan sama sekali? Dia bingung sendiri. Entah yang diucapkan Enigma dan Dalamm benar atau cuma sebatas candaan untuk mengisi obrolan di sela makan mereka.
“Ini suka beneran, Pak? Atau, candaan aja?” Muara bertanya tak yakin.
Dalamm tertawa pelan sampai-sampai nasi yang ada di dalam mulutnya nyaris keluar. Dia pun mengontrol diri sebelum akhirnya menjawab, “Beneran, dong, Mu. Ya kali kami berdua bercanda. Saya ngasih tahu ini biar kamu tahu perasaan Joval. Siapa tahu kamu punya perasaan yang sama kayak dia.”
Enigma menyenggol kaki Dalamm dari bawah. “Cukup, cukup. Lo lihat, tuh, Muara terkaget-kaget. Biar otaknya memproses yang kita kasih tahu dulu. Dia harus makan juga biar nggak makin pusing denger ini.”
“Betul juga. Makan, Muara, makan. Jangan dipusingin soal perasaan Joval. Yang penting kamu udah tahu.”
Muara cuma bisa melempar senyum tipis, lalu mulai menyantap makanannya. Biarpun sudah dibilang tidak perlu dipusingkan, dia tetap kepikiran. Kenapa Joval malah menyukainya? Padahal dia tetap ingin menyatukan dengan Amini. Sungguh kabar yang luar biasa tidak terduga.
***
Selama Muara menjelaskan beberapa hal, Joval tak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah perempuan itu. Bukan karena cantiknya, melainkan karena Muara tampak berusaha menghindari kontak mata dengannya. Setiap kali dia menatap, Muara akan langsung memalingkan wajah. Biasanya Muara tidak seperti itu.
“Berarti kasus penipuan Pak Bram udah dimasukkan ke pengadilan?” tanya Joval.
“Udah, Pak,” jawab Muara. “Oh, iya, sama sekalian kasus KDRT Bu Maya udah masuk ke pelaporan juga, Pak.”
“Oke. Soal Bu Maya nanti biar Tyas yang urus selanjutnya. Kamu urus kasusnya Pak Bram aja.”
“Baik, Pak.”
Joval mengambil minuman isotonik yang dia beli sebelumnya. Dia sengaja membeli dua untuk diberikan satu kepada Muara. Dia mendorong botolnya dengan pelan dan mengatakan, “Ini buat kamu, Muara. Tadi saya beli buy one get one.”
Muara ingin menolak, tapi dia tidak enak. Akhirnya mengambil botolnya. “Makasih, Pak,” ucapnya dengan kepala tertunduk sedikit. Dia berusaha mengurangi kontak mata dengan Joval. “Kalau begitu, saya permisi, Pak.”
Minuman isotonik untuk Muara | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Iya, Muara.”
“Oh, iya, Pak. Saya lupa bilang.” Muara berbalik badan sebelum sempat membuka pintu. Dia kembali mendekati meja Joval agar lebih sopan. “Sore ini Bu Sasya mau datang ke sini, Pak. Katanya penerbitan udah mulai merespons dan akan mengirimkan uang royalti Bu Sasya.”
“Syukurlah kalau gitu. Nanti kalau ada Bu Sasya, kamu panggil saya aja.”
“Baik, Pak. Saya permisi.”
Beberapa menit setelah Muara meninggalkan ruangan, Joval bangun dari tempat duduknya. Dia ingin membahas kasus lain yang sedang ditanganinya bersama Enigma, masalah kasus penipuan dengan nominal yang besar.
Tepat saat akan membuka pintu Joval melihat interaksi dari celah jendela pintu. Muara terlihat memberikan minuman yang dia kasih kepada Amal. Ada bara yang berkobar, tapi bukan api sungguhan. Perasaan cemburunya meningkat dan tanpa sadar saat membuka pintu Joval berdeham cukup keras, hingga membuat beberapa orang kaget, termasuk Muara.
Joval berlalu dengan cepat menuju ruangan Enigma. Baru kali ini dia memberikan sesuatu kepada Muara malah dikasih ke orang lain. Biasanya Muara langsung meminum minuman isotonik darinya atau pun yang dia belikan. Apa takut dia kasih racun? Atau, takut dikasih jampi-jampi?
“Kenapa muka lo ditekuk macam kemeja kusut?” tanya Enigma.
Muara memberikan isotonik kepada Amal | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Nggak apa-apa,” jawabnya dingin.
“Muara mesra sama Amal lagi?” tebak Enigma semakin ingin tahu.
Joval menggeleng. “Nggak usah bahas. Ini gimana masalahnya Pak Barjo?”
Enigma tidak bertanya lagi, mulai membahas persoalan kasus yang ditanyakan. Namun, diam-diam dia menyadari raut wajah Joval yang tak bersemangat. Matanya bergerak ke mana-mana, tidak fokus dengan apa yang dia bicarakan.
“Jov, ini kasus nggak main-main. Pak Barjo bisa masuk penjara kalau lo nggak fokus sama kasus ini. Kalau memang ada yang mengganggu pikiran, lo usir dulu,” nasihat Enigma.
“Sori, sori.” Joval berusaha mengenyahkan pikirannya soal alasan Muara tampak menjaga jarak. “Lanjut, lanjut. Gue dengerin, kok.”
Enigma kembali menjelaskan kasusnya, sedangkan Joval mendengarkan. Kali ini Joval lebih fokus meskipun masih ada rentetan pertanyaan yang mengganggu—tidak sampai menguasai pikiran sepenuhnya seperti tadi.
Jo si pecinta cerita Misteri dan Thriller yang senang menulis Romcom. Hobinya menonton drakor dan lakorn Thailand. Jo telah menerbitkan beberapa buku di antaranya My Boss's Baby dan Main Squeeze. Karyanya yang lain bisa dilihat di IG @anothermissjo