The Love Case chapter 3 by Anothermissjo | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Rencana pertama dan kedua gagal total, tetapi tim Muara tidak menyerah. Mereka pun menyusun rencana ketiga. Namun, ternyata Joval justru punya kejutan.
***
Berselang beberapa hari setelah rencana gagal di restoran, Muara kembali menjalankan misi lainnya. Kali ini dilancarkan saat bertepatan dengan acara ulang tahun Enigma Brown, salah seorang pendiri JARED Law Firm. Entah rencana kali ini berhasil atau tidak, Muara dan teman-temannya akan mengupayakan berbagai cara.
Acara ulang tahun diadakan di salah satu restoran Italia. Enigma menyewa satu restoran untuk pegawai kantor dan mengundang beberapa kerabat lainnya. Dekorasi di dalam restoran terkesan sederhana, hanya menambah tulisan Happy Birthday di bagian dinding dan kue ulang tahun berbentuk palu pengadilan.
Muara dan teman-temannya duduk di dekat jendela, menikmati minuman yang dipesan sesuka hati. Mereka secara bersama-sama mengamati sekitar, mencari sosok Joval dan Amini.
“Perasaan gue itu orang ada di sekitar sini. Gue lihat, kok,” sambung Amal.
Muara tidak menemukan Joval di antara banyaknya tamu yang datang. Dia hanya melihat beberapa pegawai dan tiga pendiri kantor. Tidak ada Joval dan Amini. Mungkinkah dua orang itu berhalangan hadir? Rasanya tidak mungkin mengingat Joval sangat dekat dengan Enigma.
“Bu Amini udah datang, tuh. Kita tinggal nunggu Pak Joval aja.” Tyas menunjuk Amini yang berdiri di arah jam dua belas menggunakan ujung dagunya.
“Bu Amini secantik boneka Barbie, ya. Gue baru sadar dia cantik banget. Udah gitu lulusan Harvard pula,” gumam Yayan terkagum-kagum.
“He-em. Tapi galaknya selangit,” sela Amal.
“Lo ceritain, dong, Kar. Gue masih bingung Pak Joval sama Bu Amini kenal dari lama atau gimana? Lo cuma cerita setengah-setengah,” Tyas bertanya penasaran, menatap Karmen dengan serius.
“Gini, lho, Para Gosipers-ku. Semua pendiri law firm, tuh, sahabatan dari SMA. Nah, Pak Joval sama Bu Amini ini cinlok. Mereka pacaran dari kelas dua SMA setelah melalui friendzone sampai akhirnya pas umur 22 tahun nikah. Kan, mereka berdua sama-sama kuliah di Harvard. Pernikahan mereka berjalan selama enam tahun. Sebelum cerai mereka buat kantor Law Firm. Ya, dipikir hubungan bakal awet, eh, nggak tahunya nggak. Setelah cerai Bu Amini lanjut kuliah di luar negeri dan hilang gitu aja nggak ikut ngurus kantor. Gue dengar dia udah jadi travel blogger. Tapi nggak tahu kenapa malah muncul lagi. Udah jelas belum?” beber Karmen.
“Lo tahu dari mana, Sist?” tanya Muara.
“Ada, deh. Orang tepercaya. Informasi ini akurat,” Karmen menjawab sambil mengacungkan ibu jarinya. Saat menelengkan kepala ke samping, dia menemukan Joval. “Tuh, duda kesayangan kita muncul.”
“Pak Joval gantengnya nggak bisa santai, ya. Sebenarnya cocok sama Bu Ami,” komentar Tyas.
Muara mengamati penampilan Joval. Seperti hari bekerja di kantor, Joval mengenakan kemeja, celana bahan, dan sepatu pantofel. Dia belum pernah melihat Joval mengenakan pakaian yang lebih santai. Ketampanan di atas rata-rata dengan wajah blasteran itu menambah kesempurnaan Joval, selain otaknya yang encer. Tak cuma itu saja, Joval kharismatik dan pembawaannya tenang. Joval tipe-tipe yang sulit diraih. Iya, terlalu sempurna untuk menjadi pasangan.
“Biasa aja kali merhatiin Pak Bos,” bisik Tyas, menggoda Muara sambil menyenggol bahunya.
Muara tersentak dan spontan memukul bahu Tyas. “Sialan lo, ah. Bikin kaget aja.”
“Awas mata lo copot merhatiin Pak Joval. Gue nggak mau ada berita ‘Seorang perempuan jomlo matanya copot habis memperhatikan bosnya.’ Kan, nggak lucu,” ledek Tyas setengah tertawa.
Joval tampil menawan di pesta | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Kampret! Mana mungkin begitu.” Muara geleng-geleng kepala seraya mengambil cola miliknya, lalu meneguk sampai setengah gelas. Dia pun mengamati satu per satu temannya yang tengah melihat ke kanan dan kiri. “Gaes, gimana kalau kita ajak Pak Joval sama Bu Ami duduk bareng kita?” cetusnya tiba-tiba.
“Boleh, tuh.” Karmen menepuk bahu Amal. “Lo ajak Bu Ami ke sini, Mal.”
Amal menghela napas berat mendengarnya. “Kenapa harus gue, sih? Gue udah keseringan ngomong sama dia tahu. Setelah rencana kita di restoran, gue kasih alasan salah lihat jadwal ketemu klien dan dia maki-maki gue tengah malam. Dia nyerocos ngomelin gue berjam-jam.”
Karmen tertawa terbahak-bahak. “Lo dimaki-maki? Gue pikir lo nggak cerita karena Bu Ami nggak nyalahin lo.”
“Bu Ami yang galak itu nggak nyalahin gue? Bumi bisa gonjang-ganjing,” ujar Amal.
“Berarti lo diomelin juga sama Pak Jov, Mu?” tanya Karmen.
“Pak Joval ngomelin Muara? Mustahil. Muara, ‘kan, anak kesayangan Pak Joval. Mana ada istilah dimaki-maki kayak dia maki-maki pegawai lain,” serobot Tyas kembali meledek.
“Gue diomelin juga, kok. Kata siapa nggak diomelin?” sahut Muara berbohong. Sebenarnya dia tidak kena omel Joval. Bosnya hanya mengatakan untuk lebih teliti dan jangan lupa mengabari secepatnya kalau memang jadwalnya salah. Itu saja. Akan tetapi, dia tidak mau teman-temannya selalu menyebutnya anak emas Joval. Karena sebutan itu, beberapa pegawai di kantor suka melempar tatapan sinis padanya.
Yayan memicingkan mata tak percaya. “Yakin? Kok, gue nggak percaya, ya?”
“Serius. Apa perlu gue sumpah monyet?” Muara menampilkan wajah berpura-pura serius.
“Kalau nggak serius juga nggak apa-apa, sih. Lo memang anak emasnya Pak Joval.” Karmen mengibas tangannya dengan santai, tidak mau dipusingkan soal benar atau tidak masalah Muara sebelumnya. Dia bangkit dari tempat duduknya setelah melihat Amini berjalan mendekati meja. “Doain ajakan gue nggak ditolak sama Bu Ami. Biar nggak malu ditolak.”
“Nah, gini, dong. Lo ikutan melakukan upaya misi—”
Muara membekap mulut Yayan yang kebetulan duduk di sebelah kirinya. Kalimat Yayan tak selesai diucapkan. “Jangan berisik, kek. Diam aja, Yan.”
“Bu Amini,” sapa Karmen ramah.
“Hai, Karmen.” Amini balas menyapa sambil tersenyum tipis. Bola matanya bergerak mengamati satu per satu yang tengah duduk. “Kalian berlima selalu bareng, ya? Nggak di kantor, nggak di mana-mana, udah kayak perangko aja.”
“Kita ini best friend forever, Bu. Iya, kan, gaes?” Karmen menoleh ke belakang sambil memainkan alisnya agar semua setuju.
Amini tertawa kecil. “Nggak ada yang namanya BFF. Di tengah jalan pasti ada aja yang berkhianat.”
Suasana mendadak hening. Mereka seperti sedang mendengar sindiran, tetapi orangnya tidak ada di sekitar mereka. Dan bahas-bahas orang yang mereka pikirkan, orang itu muncul dan berdiri di samping Amini.
“Wah … pas banget ada Pak Joval.” Amini melirik sinis seperti biasa. “Kalian bisa tanya sama Pak Joval soal BFF. Dia pakarnya.”
“BFF?” ulang Joval dengan kening berkerut samar.
“Iya, Pak, itu singkatan dari best friend forever,” sahut Karmen.
“Ada apa sama BFF ini?” tanya Joval bingung.
“Saya bilang nggak ada BFF. Soalnya di tengah jalan pasti ada yang berkhianat. Kalau satu hilang tanpa kabar, pasti akan dibilang berkhianat. Bukankah begitu, Pak Joval?” sindir Amini dengan senyum miring.
“Tergantung hilangnya kenapa. Kalau hilangnya sampai bertahun-tahun, ya, bisa aja dibilang begitu. Kalau hilangnya cuma sehari atau dua hari, mana mungkin dibilang begitu,” balas Joval, masih santai.
Amini tertawa dan bertepuk tangan bertempo lambat. “Berarti kalau bertahun-tahun hilang, predikat best friend forever-nya hilang gitu aja? Kalau memang BFF, harusnya bisa memahami situasi dan kondisi sahabat sendiri, dong.”
“Buat apa memahami situasi kalau orang itu aja nggak pernah mau memberi klarifikasi atau alasan apa pun? Tiba-tiba hilang kayak nggak ada apa-apa. Apa masih patut dipahami?”
“Ya, susah, sih. Saya sendiri nggak percaya soal sebutan best friend forever itu. Saya lebih kenal BFF yang lain, singkatan dari best fake friend.”
Muara menendang kaki teman-temannya bergantian dari bawah meja. Untung saja teman-temannya langsung peka termasuk Amal. Mereka mengerti kalau harus menengahi perbedaan pendapat itu.
“Pak Joval dan Bu Ami, mau ikut main permainan nggak?” ajak Muara.
“Main apa? Bukan bekel, ‘kan?” tanya Amini.
“Bukan, Bu. Main truth or truth. Jadi semacam truth or dare, tapi ini lebih ke banyaknya pertanyaan untuk dijawab jujur, sih,” jelas Muara takut-takut. Kalau salah ngomong, dia takut kena semprot Amini.
“Nggak, deh. Saya mau pergi aja,” tolak Amini. Cukup mantap, Amini menepuk pundak Joval sambil tersenyum. “Kalian bisa ajak BFF tercinta saya di sini. Siapa tahu ada hal menarik yang bisa diambil dari banyaknya cerita membosankan versi Pak Joval.”
“Ayo, Pak, ikutan,” ajak Tyas.
Joval menjawab, “Maaf, ya. Saya juga nggak ikutan. Kalian main berlima aja. Saya permisi.”
Sepeninggal kepergian Joval, Muara dan teman-temannya saling melihat satu sama lain. Mereka sempat mengira Joval akan mengejar Amini, ternyata mereka salah. Joval pergi ke arah lain menemui Enigma. Sementara itu Amini entah pergi ke mana.
“Gue mau ke kamar mandi dulu, deh. Dari tadi udah nahan karena gemes sama mereka berdua.” Muara keluar dari tempat duduknya. “Kalau kalian mau main truth or truth duluan aja,” ucapnya seraya melambaikan tangan, lantas pergi berlalu.
Muara bergegas menuju kamar mandi. Di dalam kamar mandi dia bertemu dengan Amini. Perempuan itu tampak pucat dan memijat pelipisnya. Baru akan bertanya, Amini sudah masuk ke dalam kamar mandi dan muntah-muntah. Muara pun menghampiri Amini dan membantunya mengusap-usap punggung selagi Amini muntah. Muara bahkan membantu menahan rambut Amini agar tidak kotor. Selesai membantu Amini, dia tetap mendampingi perempuan itu saat membersihkan mulutnya di wastafel.
“Bu, tunggu sini, ya. Saya ambilkan teh hangat,” ucap Muara.
Amini menggeleng dengan mengibaskan tangannya berulang kali pertanda menolak. “Nggak usah. Saya baik-baik aja, kok. Bentar lagi pusingnya hilang.”
“Beneran, Bu?” Muara menatap tak yakin.
“Iya, benar.” Amini menyunggingkan senyum tipis. “Kamu mau ke toilet, ‘kan? Tinggalin saya aja. Saya nggak apa-apa. Makasih, ya.”
“Kalau gitu saya pamit dulu, Bu. Kalau Bu Ami pusing, ketuk aja pintunya. Saya nggak lama, kok, Bu.”
“Iya, makasih, ya.”
Muara masuk ke salah satu bilik kamar mandi. Dia hanya sebentar. Saat sudah selesai dia melihat Amini masih berada di depan kaca kamar mandi. Perempuan itu masih memijat pelipisnya. Muara tidak tega meninggalkan Amini sendirian. Namun, ide cemerlang muncul begitu saja.
“Bu Ami tadi ke sini nyetir sendiri?” tanya Muara.
“Nggak. Saya diantar sepupu. Kamu bisa bantu saya panggil taksi?”
“Bisa, Bu. Apa nggak sebaiknya menunggu di luar, Bu?”
“Nggak, saya tunggu di sini aja. Tolong, ya.”
“Baik. Tunggu sebentar, Bu.”
Muara beranjak keluar dan segera mencari keberadaan Joval. Dia tidak mau memanggil taksi, tetapi memanggil Joval. Dalam kondisi Amini sedang sakit, peluang manis-manis dan perhatian pasti akan muncul.
“Pak Joval,” panggilnya pelan.
Sang empunya nama menoleh ke belakang. “Ya?”
“Bu Ami sakit, Pak. Sepertinya dia mau pingsan.”
“Bu Ami di mana sekarang?”
“Di kamar mandi perempuan, Pak.”
“Antar saya ke sana.”
Muara memandu Joval sampai ke depan kamar mandi perempuan. Muara lebih dulu masuk ke dalam kamar mandi dan menemukan Amini sudah terduduk di lantai sambil memijat pelipisnya. Setelah itu dia memastikan kamar mandi kosong dari pengunjung lain. Muara keluar dan memberi tahu Joval mengenai kondisi Amini dan situasi di dalam kamar mandi.
Joval bergegas masuk ke dalam kamar mandi dengan ditemani oleh Muara. Menyadari kondisi Amini yang benar-benar sedang tidak sehat, Joval langsung menggendong Amini dan beranjak keluar dari kamar mandi.
Muara yang menyaksikan kejadian itu langsung tersenyum penuh arti. Tampaknya rencana kali ini akan berhasil.
Joval menggendong Amini yang sakit | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
***
Joval kembali ke restoran setelah mendapat kabar dari Ready kalau Muara masih berada di sana. Setelah mengantar pulang Amini, dia kepikiran soal Muara. Rumah Muara jauh dari restoran yang didatangi dan biasanya Muara pulang naik kereta api. Malam sudah selarut ini, dia tidak bisa membayangkan betapa sepi dan bahayanya pulang sendiri. Semua orang di kantor menyebut Muara sebagai anak emasnya. Namun, dia tidak menganggap Muara sebagai anak emasnya. Dia menganggap perempuan itu lebih dari sebatas pegawainya. Dia menyukai Muara.
“Gila, gila, lo beneran balik lagi. Mau ngajak Muara pulang bareng, ya?” goda Ready, yang menepuk pundak Joval saat tengah berdiri melihat seisi ruangan.
“Cari pakai mata, Bro, jangan pakai cinta. Itu orangnya.” Ready menunjuk perempuan berambut panjang sepunggung yang tengah duduk sendirian menikmati air putihnya. “Semangat, ya, ngajak pulang.”
“Ah, rese, deh. Gue duluan, ya.”
“Jangan lupa nyatain cinta sekalian.”
“Berisik.”
Joval bergegas menghampiri Muara sambil mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan. Padahal cuma ingin mengajak pulang bersama, tetapi gugupnya lebih dari beracara di pengadilan. Sebelum tiba di depan Muara, dia melihat perempuan itu sedang celingak-celinguk sambil memegang ponsel. Ternyata Muara ingin selfie. Perempuan itu ber-selfie ria memamerkan beberapa gaya andalannya termasuk duck face. Joval tak bisa menyembunyikan senyumnya memandangi Muara. Di saat dia tengah menikmatinya, Muara melihat ke arahnya dan buru-buru menyembunyikan ponsel, lantas nyengir. Untung saja Joval sigap menyembunyikan senyumnya, berpura-pura tidak melihat selfie itu.
“Lho? Bapak nggak nemenin Bu Ami?” tanya Muara agak kaget. Semoga saja Joval tidak melihatnya selfie tadi.
“Nggak, ada sepupunya,” jawab Joval berpura-pura tidak melihat selfie sebelumnya.
“Kok, balik lagi, Pak?”
“Saya belum pamit sama Enigma,” Joval beralasan, tersenyum tipis. “Saya pikir kamu udah pulang,” lanjutnya.
“Belum, Pak. Ini bentar lagi saya mau pulang.”
“Saya antar pulang, ya? Jangan pulang sendirian, bahaya. Rumah kamu lumayan jauh,” tawar Joval.
“Terima kasih, Pak, tapi saya pulang bareng Amal. Soalnya rumah kami searah,” tolak Muara.
Joval agak kecewa ajakannya ditolak. Namun, dia tetap berusaha terlihat santai dan baik-baik saja. “Oh, sama Amal? Orangnya mana?”
“Orangnya lagi ke—eh, itu dia.” Muara menunjuk Amal yang baru saja muncul setelah sebelumnya pamit ke kamar mandi. Dia pun bangun dari tempat duduknya dan menenteng tas tentengnya. “Lo udah selesai, kan, Mal?” tanyanya pada Amal.
“Udah, kok. Yuk, mau pulang?” balas Amal.
Muara mengangguk. Pandangannya beralih melihat Joval. “Pak, saya duluan, ya. Nanti kalau pulang hati-hati di jalan.”
“Ah, iya. Kamu juga hati-hati.” Joval tetap mempertahankan senyum. Dia melirik Amal dengan tatapan tajam. “Jangan ngebut, Mal. Hati-hati,” ucapnya penuh penekanan.
Amal manggut-manggut. “Iya, Pak, tenang. Kami pamit, ya, Pak.”
Setelah pamit-pamitan itu Joval ditinggal sendirian oleh Muara dan Amal. Dari tempatnya berdiri Joval masih memandangi punggung Muara yang perlahan mulai menghilang dari pandangan. Dia mengacak-acak rambutnya gemas sendiri.
“Ah, gagal, deh,” gumamnya kecewa.
Muara pulang bersama Amal | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Jo si pecinta cerita Misteri dan Thriller yang senang menulis Romcom. Hobinya menonton drakor dan lakorn Thailand. Jo telah menerbitkan beberapa buku di antaranya My Boss's Baby dan Main Squeeze. Karyanya yang lain bisa dilihat di IG @anothermissjo