The Love Case chapter 2 by anothermissjo | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Setelah keempat temannya sepakat, misi untuk mengakurkan kembali Pak Joval dan Bu Amini dimulai. Kira-kira apa yang akan Muara dkk lakukan untuk menyatukan dua bosnya tanpa mereka serang dan sindir satu sama lain?
***
Sesuai dengan rencana, Muara dan teman-temannya sepakat untuk memulai misi mendekatkan Joval dan Amini hari ini––tepat saat ada kasus di pengadilan yang sama. Beruntung saja mereka menemukan momen yang pas. Jadi, tidak perlu menunggu lama melancarkan misi. Pegawai di bawah naungan Amini ada Karmen, Yayan, dan Amal, sedangkan pegawai di bawah naungan Joval adalah Muara dan Tyas. Mereka terpecah menjadi dua kubu. Beruntung kubu-kubu yang terpecah adalah tim sukses penyatuan Amini dan Joval.
“Gue cabut sekarang, nih?” tanya Yayan kepada Muara sambil melihat rekan-rekannya yang lain secara bergantian.
“Iya, buruan. Mumpung bos-bos kita masih ngobrol sama klien,” suruh Muara.
“Oke, deh. Gue sama Yayan duluan. See you later. Nanti ceritain sama gue, ya, gengs!” Karmen menarik Yayan pergi dengan cepat, meninggalkan teman-temannya.
Tyas menyenggol bahu Muara. “Lo yakin bakal berhasil? Kalau ternyata Bu Amini ngamuk gimana? Bisa aja dia ngomel-ngomel sama Yayan atau Karmen. Lo tahu sendiri wataknya Bu Amini udah macam raja hutan,” katanya penuh keraguan.
“Tenang aja, kita harus usahakan biar singa itu—eh, eh, orangnya jalan ke sini.” Muara menepuk lengan Tyas, menyudahi obrolan yang belum selesai.
Amini berjalan mendekat ke arah mereka, disusul Joval dan Amal di belakangnya.
“Karmen sama Yayan mana?” tanya Amini.
“Karmen udah pergi ke pengadilan lain bareng Yayan, Bu. Mereka masih harus mengurus sidang lain. Katanya mereka udah izin sama Bu Amini,” jawab Tyas.
“Kapan izinnya? Yayan nggak ada bilang, tuh.” Amini memasang wajah kesal. “Berarti naik mobil Yayan, dong?”
Tyas mengangguk pelan. “Iya, Bu.”
“Saya pesan taksi dulu, deh.” Amini mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya dan bersiap memesan taksi online.
Tyas menyenggol punggung tangan Muara sambil berkedip pelan sebagai tanda awal menjalankan misi. Kepergian Yayan memang disengaja agar Amini ikut kembali ke kantor dengan menaiki mobil Joval. Ini merupakan misi pertama yang dijalankan.
“Bu, kenapa nggak bareng naik mobilnya Pak Joval?” ajak Muara.
“Nggak usah, saya bisa pesan taksi,” tolak Amini.
“Bareng aja sama Pak Joval, Bu. Kita masih bisa ditampung ‘kan, Pak?” tanya Tyas kepada sang empunya mobil.
“Bisa, kok,” jawab Joval. Singkat dan padat.
Amini mengalihkan pandangan dari layar ponsel, lalu melirik mantan suaminya. Dia menimbang-nimbang sebentar.
“Kalau Bu Amini nggak mau, nggak usah. Pesan taksi aja,” kata Joval.
Muara berkedip pelan saat melihat Amal, meminta pertolongan agar laki-laki itu ikut berkomentar. Amal malah menaikkan alis dan tidak paham akan kodenya barusan. Muara berkedip sekali lagi. Sialnya Joval ikut melihat ke arahnya.
“Kamu kenapa, Muara? Kelilipan?” tegur Joval.
Muara nyengir. Kalau boleh dia bilang sedang kasih kode buat Amal, dia sudah melakukannya. Namun, dia justru mengatakan hal lain. “Iya, Pak. Mata saya pedih kemasukan debu,” alasannya sambil mengucek mata.
“Jangan dikucek nanti merah, Mu,” ucap Amal.
Muara ingin menoyor kepala Amal sekarang juga. Dikasih kode tidak peka dan mengira dia beneran kelilipan. Sungguh susah cari teman yang kooperatif.
Tyas memelototi Amal agar laki-laki itu ikut berkontribusi membujuk Amini, karena kode ala Muara gagal. Semoga saja Amal langsung paham maksudnya. Untung saja, temannya itu tidak bolot-bolot banget untuk mengetahui maksud bola mata yang nyaris keluar ini.
“Iya, benar kata Tyas, Bu. Kita nebeng mobil Pak Joval aja. Lagi pula, ‘kan, searah.” Amal membujuk setelah sekian lama baru memahami maksud kode-kode antik buatan Muara dan Tyas.
Amini melirik Amal dan Tyas bergantian. “Ya, udah, kita bareng sekalian sama Pak Joval,” ucapnya setelah sekian lama berpikir.
“Bukannya mau naik taksi, Bu?” Joval menekankan kalimatnya menyiratkan ketidaksetujuan Amini satu mobil dengannya.
Amini menarik senyum miring dan menepuk pundak Joval. “Buat apa punya mantan kalau nggak bisa dimanfaatkan? Saya bareng sekalian.”
Muara dan Tyas hampir saja ketahuan menyiratkan rasa senangnya kalau mereka tidak menahan diri. Mereka bertiga duduk di belakang. Muara di tengah, Amal di sisi kanan Muara, dan Tyas di sisi kiri Muara. Dari belakang mereka saling senggol-senggolan lengan dan tak berhenti tersenyum riang. Misi pertama mereka tampaknya akan berjalan sesuai rencana. Namun, pemikiran itu dipatahkan oleh sindiran Amini sejak masuk ke dalam mobil. Jangankan berharap melihat kedua bos mereka berbicara yang manis-manis, mereka justru saling menyindir dan menunjukkan kilat sebal satu sama lain.
“Tumben wangi mawar. Biasanya kamu nggak suka pakai wangi bunga begini. Kepincut perempuan mana sampai rela pakai pengharum bunga mawar?” Amini melancarkan sindiran dengan lirikan sinis kepada mantan suaminya.
“Biar hidung tamu yang nebeng nggak kebauan sama sindirannya sendiri, jadinya saya pakai pengharum,” balas Joval tak mau kalah. Sebenarnya dia agak malas meladeni Amini, tapi kalau tidak diladeni, Amini akan lebih parah. Dia tahu bagaimana watak Amini yang keras kepala, semaunya, dan tidak segan-segan debat di depan orang lain membahas hal-hal pribadi. Kalau dia diam, maka Amini akan semakin merajalela mengoloknya.
Amini berdecak. “Cih! Bilang aja biar gebetan kamu nggak kebauan nyium kesombongan kamu itu.”
“Kamu lagi ngomongin diri sendiri?” Joval merespons dengan santai, sambil tetap fokus mengemudikan mobil.
“Saya lagi ngomong buat kamu, ya, Mr. Almost Right.” Amini memajukan bibirnya dengan gaya meledek andalannya. Baginya, menyindir mantan suami bukan lagi hobi, tetapi sudah makanan sehari-hari.
“Di dashboard ada kaca. Kamu ngaca, gih.”
Amini tertawa pongah, lalu menoleh ke belakang. “Amal, menurut kamu siapa yang benar soal sombong? Saya atau Pak Joval?”
Amal meneguk ludah ngeri. Salah menjawab bisa tamat riwayatnya. Sambil nyengir, dia menjawab, “Ibu yang benar. Maaf, Pak Joval.”
“See?” Amini menunjukkan tatapan penuh kemenangan sambil menunjuk ke belakang. “Kamu yang sombongnya selangit, bukan saya.”
“Itu karena dia takut untuk jujur. Kalau jujur kamu bisa mencak-mencak kayak harimau kelaparan,” balas Joval tak mau kalah.
Amini mendelik tajam. “Mending harimau daripada kamu buaya darat.”
Di bagian jok tengah Muara tengah berbisik di telinga Amal. “Harus banget apa lo menganut jawaban perempuan selalu benar?”
“Gue harus jawab apa, Sist? Kalau jawab yang nggak-nggak bisa dipecat dalam sekejap,” balas Amal ikut berbisik.
Muara mengangguk, membenarkan pemikiran Amal. Belum berapa lama Amini bergabung sudah ada dua pegawai yang dipecat. Tidak ada yang bertanya kesalahan apa yang telah diperbuat. Orang-orang di kantor hanya tahu tidak boleh bertindak seenaknya kalau tidak mau dipecat Amini.
Muara dan Amal serbasalah | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Bu Amini tolong diam,” ucap Joval mulai gerah, semakin tidak nyaman berdebat dengan Amini di depan pegawai yang lain.
“Salah kamu sendiri nerima saya bareng. Lagi mulut-mulut saya, bukan mulut kamu. Kalau merasa berisik, kamu tutup telinga pakai earphone.”
Muara, Tyas, dan Amal kembali menyaksikan perdebatan tiada akhir. Mereka mengamati kedua bos secara bergantian dan tidak ada tanda-tanda ada mau mengalah. Sindiran demi sindiran menunjukkan mereka telah gagal menciptakan suasana adem ayem untuk kedua orang itu. Jangankan mau manis-manis, mereka disuguhi adegan yang pahit terus.
“Misi kita gagal, Sist,” bisik Tyas ke telinga Muara.
Muara mengangguk sambil cemberut. “Kita harus cari cara lain,” balasnya berbisik.
“Kalian bahas apa? Bagi-bagi, dong,” tanya Amal dengan suara pelan.
“Kita mau bikin rencana baru,” bisik Muara kepada Amal. Laki-laki itu mengangguk seakan setuju dengan ucapannya.
Mereka bertiga saling mengangguk, sepakat untuk melakukan rencana lain. Misi mereka belum berakhir. Semangat mereka terus berkobar-kobar. Pokoknya mereka harus menyatukan kucing dan anjing agar bisa hidup tenang dan damai sentosa.
***
Suara embusan napas lolos dari mulut Muara, Tyas, dan Amal. Mereka bertiga baru saja tiba dan langsung menyandarkan tubuh di tempat kerajaan masing-masing. Mereka tak menyangka perjalanan yang ditempuh selama satu jam lebih itu hanya diisi perdebatan Joval dan Amini tanpa henti. Bukannya pulang dari pengadilan bisa tenang dan rileks, mereka malah dibuat pusing tujuh keliling.
“Cara apa yang bisa menyatukan mereka berdua, ya?” Tyas mulai buka suara sambil menatap layar laptop.
“Kempesin ban mobilnya Bu Amini?” usul Amal.
“Gue nggak mau ikutan. Kalau tahu ada yang ngempesin ban mobilnya, bisa-bisa pelakunya dijadiin gantungan baju. Bu Amini galak banget,” sambung Muara sambil menggeleng. Membayangkan kejutekan Amini saja sudah menyeramkan. Bagaimana kalau ketahuan? Bisa dijadikan rujak bebek.
“Terus apa, dong?” Tyas melirik Amal dan Muara. “Kalian nggak punya ide gitu? Gue langsung patah semangat pas lihat mereka debat tanpa malu-malu di depan kita bertiga.”
“Bikin mereka saling tabrakan?” usul Amal lagi.
“Lo punya usulan yang lebih kece nggak, sih? Kalau mereka tabrakan terus saling minta maaf itu bagus. Lah, ini pasti saling maki. Mereka nggak akan saling minta maaf.” Muara kembali menyuarakan kemungkinan-kemungkinan terburuk seandainya usulan Amal dilakukan.
“Tahu, ah, gelap. Gue nyerah,” kata Amal pasrah.
“Gue punya ide!” Muara teriak kencang-kencang sambil berdiri dengan spontan, berhasil membuat beberapa pegawai menoleh. Tak mau semakin malu, dia segera duduk sambil nyengir melihat yang lain.
“Makanya, inget ini kantor, bukan rumah nenek lo,” ujar Tyas setengah terkekeh.
“Sial lo, ah!” Muara malu sendiri. Dia agak merendahkan posisi tubuhnya sambil melihat Tyas dan Amal bergantian. “Gimana kalau kita bikin mereka ketemu di tempat yang sama lagi? Bikin seakan-akan nggak sengaja ketemu. Gimana?”
“Ini rencana simpel lo, kan? Rencana lengkapnya kayak gimana? Tell us right now,” tanya Tyas tak sabar.
“Sini, gue bisikin biar nggak ada yang dengar.”
Ketika Muara akan membisikkan sesuatu, tiba-tiba seorang pegawai meletakkan paper bag berwarna hitam berisi lima milk tea boba di atas meja Muara.
“Ini milk tea boba bonus dari Pak Joval buat kalian. Ada namanya masing-masing, ya.” Indah, salah seorang pegawai yang membawakan minuman memberi tahu. Setelah itu Indah kembali ke tempatnya.
Muara mengambil lebih dulu miliknya. Seperti kata Indah barusan, ada nama di bagian cup yang berukuran besar itu. Untuk minuman ber-boba, Muara lebih suka rasa taro milk tea. Kebetulan, minuman yang dia ambil taro milk tea, berbeda dengan milik Amal dan Tyas. Saat mengedarkan pandangan, Muara melihat rasa minuman yang seragam. Hanya miliknya yang berbeda. Selain teman-temannya ada satu orang yang tahu rasa favoritnya. Joval.
Tidak mau ketahuan minumannya beda sendiri, Muara langsung memasukkan kembali taro milk tea miliknya ke dalam paper bag dan mengikat tali paper bag sebanyak dua kali agar sulit dibuka. Untung saja paper bag-nya warna gelap jadi tidak akan terlihat bagian dalamnya dari luar.
Dalam hati Muara berucap. Thank you, Pak Bos.
Muara mendapatkan minuman kesukaannya dari Joval | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
***
Rencana baru dilakukan oleh Muara dan teman-temannya. Sore ini, setelah pulang bekerja, Muara mengatakan pada Joval kalau salah satu klien mereka ingin bertemu di restoran Italia—tempat yang dia pijak sekarang. Muara memberi alasan kalau klien mereka hanya bisa hari ini dan mengambil jam pulang kerja. Kenyataannya janji temu itu dilakukan esok hari. Muara bisa beralasan salah jadwal. Pokoknya urusan dimaki-maki belakangan. Amal pun melakukan hal yang sama seperti Muara saat mengatakan janji temu kepada Amini.
Muara dan teman-temannya duduk di bagian paling belakang. Mereka berdandan dengan berbagai macam atribut agar tidak ketahuan sedang memantau. Karmen memakai wig warna cokelat muda, Amal memakai kumis-kumisan, Yayan memakai kumis dan kacamata, Tyas memakai kacamata hitam, dan Muara memakai kacamata pink berbentuk hati. Posisi Muara, Amal, dan Tyas memunggungi tempat duduk Joval dan Amini—sehingga mereka perlu menoleh kalau ingin memantau keadaan.
Muara dkk mengintai ” ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Lima belas menit yang lalu, mereka melihat Joval sudah lebih dulu tiba. Laki-laki itu tampak diam memainkan ponsel. Kegiatan tenang itu berakhir setelah Amini datang sambil bersedekap di dada. Suara yang keluar dari mulut Amini dapat didengar dengan baik, mengingat suara itu selalu nyaring dan keras. Mereka berlima mengamati dengan sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan menguping dan mengintip.
“Kamu ngapain di sini?” tanya Amini.
“Mau tahu aja urusan orang,” jawab Joval dingin.
“Sok dingin banget. Kamu pikir kamu freezer pakai acara dingin segala?” Amini berdesis sebal, melempar tatapan yang sulit diartikan. “Kamu nggak ngerebut klien aku, ‘kan? Soalnya aku mau ketemu klien di sini.”
Joval memasukkan ponsel ke dalam saku celana, lalu menatap mantan istrinya. “Buat apa, sih, aku ambil klien kamu? Kalau pun aku yang urus klien kamu, itu bukan diambil. Kita satu kantor, bukan beda kantor. Jangan suka ngomong yang mengherankan, deh.”
“Mengherankan? Kamu masih jadi lawyer aja udah mengherankan. Aku pikir kamu jadi ambil alih perusahaan papa kamu. Kalau kamu ambil alih perusahaan papa kamu, kita nggak perlu ketemu kayak gini.”
“Seharusnya kamu nggak perlu kembali ke kantor setelah cukup lama hilang tanpa kabar. Kamu nggak ada niatan izin cuti kek, apa kek. Kamu seenaknya datang ke kantor setelah enam tahun, seolah nggak ada apa-apa. Kamu pikir kepergian kamu selama enam tahun itu cuma enam hari?” Joval menahan diri untuk tidak meninggikan suara mengingat tempat yang dikunjungi adalah restoran. Dia tidak mau memicu perhatian publik.
Amini berdecak, masih tetap bersedekap di dada. “Harusnya kamu senang, dong, bisa ketemu mantan istri. Dulu, ‘kan, kita jarang ketemu di rumah. Sekarang kita ketemu terus di kantor.”
“Bisa nggak kamu nggak bahas yang udah berlalu?”
“Itu fakta, kok. Kamu nggak pernah nggak sibuk. Suami macam apa yang selalu mengutamakan pekerjaan ketimbang istrinya? Hanya perempuan berhati baja aja yang betah nikah lama sama laki-laki tipe begitu,” sindir Amini semakin menjadi.
“Kamu maunya apa, sih? Aku lagi nunggu klien dan aku nggak mau buang waktu cuma untuk meladeni kamu. Terserah kamu aja.”
“Aku juga buang waktu papasan sama kamu di sini. Semoga klien kamu batal datang biar kamu tahu rasanya nunggu,” balas Amini dengan penuh kekesalan, yang kemudian segera berlalu mencari tempat duduk lain.
Di belakang sana, Muara dan teman-temannya mendengar semua perdebatan kecil itu karena suara Amini yang cukup kencang. Muara dan teman-temannya langsung menghela napas bersamaan. Rencana kedua mereka gagal total.
Jo si pecinta cerita Misteri dan Thriller yang senang menulis Romcom. Hobinya menonton drakor dan lakorn Thailand. Jo telah menerbitkan beberapa buku di antaranya My Boss's Baby dan Main Squeeze. Karyanya yang lain bisa dilihat di IG @anothermissjo