Kedatangan Amini, salah satu pendiri JARED Law Firm sekaligus mantan istri Joval—pendiri law firm yang lain—membuat situasi kantor jadi tegang dan tidak kondusif. Masalahnya, dua bos itu selalu bersitegang dan berdebat, membuat bawahannya serbasalah. Muara dan teman-temannya harus putar otak mencari solusi kalau mau hidup mereka di kantor kembali damai sejahtera.
***
Suara ketukan pintu menjadi awal dari pecahnya hening di dalam ruangan. Muara memasuki ruang kerja Joval Prambadi, bosnya di kantor JARED Law Firm. Dia menenteng berkas yang seharusnya diberikan oleh salah seorang pegawai di kantor, sayangnya pegawai itu berhalangan masuk karena sakit. Muara bertanggung jawab atas pegawai itu karena berada di bawah bos yang sama.
“Permisi, Pak. Saya mau kasih kelanjutan kasus Bu Sasya. Sarah sakit, jadinya saya yang membawa berkasnya. Sarah udah melakukan beberapa permintaan yang Bapak suruh,” Muara menjelaskan maksud kedatangannya sebelum ditanya.
“Kamu udah periksa?”
“Udah, Pak. Kemarin saya tanya lagi sama Sarah. Katanya, lusa dia akan mengajukan surat gugatan ke pengadilan.”
Joval mengernyit. “Gugatan? Memangnya udah somasi tiga kali?”
“Somasinya baru satu kali, Pak. Pihak tergugat nggak menanggapi sama sekali jadi–”
Joval memotong kalimat Muara yang belum selesai. “Siapa yang suruh satu kali? Saya, kan, minta Sarah untuk kasih somasi tiga kali.”
“Bu Amini menyuruh Sarah melanjutkan setelah somasi nggak ditanggapi sesuai dengan tenggat waktu, Pak,” jawab Muara pelan. Dia agak takut melihat wajah kesal bosnya.
Joval menghubungi salah seorang pegawai untuk memanggilkan sosok yang disebut dalam percakapan. Lalu, dia melihat Muara yang berdiri tak jauh darinya. “Bilang sama Sarah, kalau udah masuk langsung menghadap saya.”
“Baik, Pak.”
“Oh, ya, saya beli—”
Suara pintu yang terbuka tanpa diketuk berhasil menunda kata-kata yang hendak dilontarkan oleh Joval. Kedatangan Amini seenaknya menambah kekesalan Joval.
“Kamu ada perlu?” tanya Amini tanpa basa-basi.
Muara sampai terlonjak kaget Amini datang tanpa permisi. Dia mundur sedikit, memberi ruang untuk Amini.
“Siapa yang nyuruh kamu ikut campur urus kasusnya Bu Sasya?” Joval mulai meninggikan suaranya, menunjukkan perubahan ekspresi dari rahang yang mengeras. “Kamu seenaknya nyuruh Sarah lanjut ke tahap selanjutnya padahal baru somasi satu kali.”
“Kenapa? Kamu nggak senang?” Amini menyahuti dengan nada menantang. Wajah juteknya ditunjukkan dengan jelas sambil bersedekap di dada.
“Kamu jangan seenaknya, ya, Ami!”
“Kenapa, sih? Lagian kamu lama banget. Di mana-mana somasi satu kali aja cukup, nggak usah nunggu sampai tiga kali!”
“Tapi harusnya kamu tanya dulu, dong, sama saya. Bukan asal lanjut tanpa konfirmasi apa-apa sama saya. Ini, kan, kasus yang dipegang pegawai di bawah naungan saya, bukan kamu!”
“Pergerakan kamu lama. Saya harus ambil tindakan sebelum kamu merecoki semua kasus di sini.”
Muara diam memperhatikan keduanya berdebat. Gendang telinganya sampai sakit mendengar suara yang bersahut-sahutan dengan keras. Dua-duanya tidak mau kalah. Biasanya Joval termasuk bos yang paling tenang dan tidak mudah marah, hanya saja setelah ada Amini, amarah Joval semakin meningkat tidak keruan. Bukan cuma Joval saja yang sering marah-marah, tetapi keadaan kantor yang beberapa kali jadi tidak kondusif karena perbedaan pendapat kedua orang itu.
Perdebatan bermula dari dua minggu yang lalu—tepat saat kedatangan Amini Doara Indrawan—salah satu pendiri yang sebelumnya hilang tanpa menyatakan keluar dari Law Firm. Kabarnya Amini dan Joval pernah menikah. Kabar pernikahan yang kandas sejak enam tahun lalu itu menyeruak ke permukaan dari mulut Karmen—salah satu pegawai lama dari awal kantor didirikan. Huruf A dalam JARED Law Firm merupakan inisial nama Amini, yang mana bersanding dengan inisial nama pendiri yang lain yakni; Joval, Ready, Enigma, dan Dalamm. Sejak itulah Muara menjadi lebih sering menyaksikan Joval menarik urat.
“Kamu, tuh …” Joval menahan kalimat dan nada bicaranya setelah sadar masih ada Muara di sana. Tidak mau membuat Muara membuang waktunya, dia mendorong paper bag cokelat agar bisa dijangkau Muara. “Kamu boleh keluar, Muara. Ini sekalian kamu bawa sarapan kamu.”
“Sarapan?” Amini menyela diikuti senyum miring. “Kamu beliin sarapan buat Muara? Luar biasa. Waktu kita nikah, nggak pernah kamu beliin saya sarapan. Seorang Joval udah berubah sok manis, ya.”
Muara yang tadinya ingin maju mengambil sarapan itu mendadak diam membeku. Selain berdebat, dia sering mendengar Amini menyindir soal Joval. Entah sindiran pedas atau pedas banget.
“Kamu, kan, bisa beli sendiri,” kata Joval.
“Terus Muara nggak bisa beli sendiri? Manja banget.” Amini menoleh ke belakang, menatap sinis sang pegawai. “Kamu nggak lapar, ‘kan? Saya belum makan sama sekali. Kamu nggak mau berbagi sarapan?” tanyanya dengan nada sinis.
Muara melihat Joval sebentar, lalu menatap Amini dengan takut. Seandainya dia menolak pemberian Joval, nanti dikira tidak menghargai. Kalau tidak memberikan kepada Amini, maka Joval akan disindir-sindir terus. Posisinya serba salah. Maju salah, mundur apalagi.
“Ambil aja, Bu. Saya sudah kenyang, kok,” jawab Muara akhirnya.
“Nggak usah, Muara. Kamu ambil aja. Bu Ami bisa beli sendiri,” sela Joval.
“Kamu beliin lagi aja buat Muara. Kok, repot banget.” Amini kembali menunjukkan kesinisannya pada Joval. Bahkan mengambil paper bag yang ada di atas meja dengan entengnya.
Sebelum Muara semakin pusing, ada baiknya dia pergi dari sana. Dia pun mundur perlahan-lahan. “Saya permisi, Bu Ami dan Pak Joval.” Lalu, dia menghilang dari balik pintu walaupun belum ditanggapi apa-apa.
Dari luar pintu Muara dapat mendengar perdebatan yang tak kunjung selesai. Dia diam sebentar untuk mendengarkan, memastikan pembahasan bukan lagi soal sarapan. Namun, dia salah.
“Kamu nggak seharusnya ambil makanan orang. Kamu bisa beli sendiri. Muara itu pernah pingsan di pengadilan!” ucap Joval, masih dengan nada yang meninggi.
“Terus gara-gara pingsan, kamu beliin dia makan? Jangan sok baik, deh. Kamu aja nggak pernah baik sama aku. Kok, bisa baik sama orang lain?” Amini berdecak kasar, tetap menggunakan suaranya yang nyaring untuk membalas setiap perkataan Joval.
“Memangnya aku nggak pernah bersikap baik sama kamu pas kita nikah? Jangan bicara seolah-olah aku jahat terus. Dan tolong, ini kantor, seharusnya kamu lebih profesional untuk nggak membahas hal-hal pribadi di depan pegawai lain. Kamu boleh nyindir aku atau ngatain apa pun di luar kantor, tapi jangan pas di depan pegawai. Apa nggak malu jadi konsumsi publik?” Kali ini suara Joval mulai terdengar lebih tegas.
“Nggak, tuh. Kamu, kan, tahu aku nggak tahu malu dan nggak peduli kalau masa lalu kita jadi konsumsi orang lain. Biar kalau ada yang deketin kamu di sini, mereka bisa pikir dulu supaya nggak tersiksa kayak aku dulu.”
“Tersiksa? Aku nggak pernah bilang tersiksa selama nikah sama kamu, tapi kamu? Semua kesalahan selalu dilimpahkan ke aku.”
Kepala Muara rasanya mau pecah. Dia buru-buru pergi, tidak mau tahu akan perdebatan tak penting kedua orang itu. Perkara makanan saja bisa ribut sampai sewot-sewotan. Muara benar-benar tak habis pikir.
Perdebatan cukup intens mengisi suasana tenang di kantor. Para pegawai saling melempar tatap satu sama lain. Ini bukan kali pertama dua pendiri kantor JARED Law Firm berdebat. Entah sudah berapa banyak mereka mendengar perbedaan pendapat dari dua orang yang dulunya pernah saling mencintai.
“Lo nggak misahin mereka, Mu? Mereka ribut lagi, tuh,” tanya Amal setelah melihat Muara duduk di tempatnya.
Tempat duduk Muara bersebelahan dengan Amal. Tidak ada bilik di kantor mereka sehingga dengan mudahnya mereka bisa langsung mengobrol tanpa harus berdiri dari tempat duduk. Bahkan laptop tidak bisa menjadi penghalang area gosip paling hot—tempat duduk Muara dan keempat temannya. Posisi tempat duduk sangat strategis, berada di tengah-tengah ruangan. Meskipun lebih banyak minusnya duduk di tengah-tengah, ada plusnya juga.
Muara memutar bola mata gerah. “Duh, lo pikir semudah itu menengahi mereka? Dua-duanya ngotot. Mana ngomong keras-keras kayak lagi di hutan belantara.”
“Mereka nggak takut, ya, pita suara putus narik urat mulu?” Karmen—si pencipta gosip di kantor—ikut nimbrung dalam obrolan. Dialah yang memberi tahu semua orang di kantor bahwa Joval dan Amini pernah menikah. Reputasinya sebagai bigos alias biang gosip sekaligus pegawai lama sudah melekat bagai lem.
“Gimana nggak mau narik urat kalau Bu Ami seenaknya gitu,” sahut Tyas.
“Bicara baik-baik, kan, bisa,” sambung Yayan.
“Mereka bicara baik-baik?” Muara memutar bola mata sekali lagi. “Nggak akan mungkin. Mereka lebih suka debat daripada ngomong lembut.”
“Gue heran sendiri. Dulu kan mereka pernah nikah. Eh, sekarang macam kucing sama anjing aja.” Yayan ikut berkomentar. “Berapa lama, sih, nikahnya, Kar? Ada nggak lebih dari dua tahun?”
“Lo nggak pernah dengerin gosip gue, sih. Waktu itu gue udah bilang kalau mereka nikah selama empat tahun. Lulus kuliah mereka langsung nikah. Mungkin masih labil-labilnya, jadi cerai. Nggak pernah ada yang tahu, sih, cerai kenapa.” Karmen memberi tahu sambil meniup-niup tangannya yang baru saja dipoles dengan kuteks warna pink muda.
“Bukannya kata lo keluarganya Bu Amini galak-galak? Apa mungkin disewotin sama semua sepupu Bu Amini, makanya mereka cerai?” serobot Muara.
“Nggak mungkin, sih. Biar kata keluarga Bu Amini terkenal sebagai Kardashian versi Indonesia, mereka nggak mungkin urusin masalah pernikahan Bu Amini sama Pak Joval. Tapi pernah, sih, Bu Amini nampar sepupunya di sini. Memang keluarga Indrawan agak problematic. Katanya gitu,” ucap Karmen sambil tetap meniup jari-jari lentiknya dengan santai.
“Nggak ada niatan balikan gitu, ya? Biar tenteram ini kantor.” Tyas mengambil permen karet dari dalam laci kerja dan menyodorkan kepada tiga orang yang berjejer dekat dengan tempat duduknya. Ketiga orang itu menolak permennya. “Beneran nggak ada yang mau, nih?”
“No, thank you.” Muara memperhatikan ruangan Joval yang menjadi saksi bisu perdebatan tanpa akhir. “Kenapa mereka nggak balik—tunggu! Gue punya ide brilian!” cetusnya tiba-tiba.
“Ide apa?” tanya Tyas.
“Kenapa kita nggak jadi mak comblang mereka berdua? Kalau mereka balikan dan bisa lembut satu sama lain, pasi nggak ada perdebatan lagi. Mereka pasti sayang-sayangan dan kantor kita juga nggak akan panas mulu kayak sekarang. Ide gue cemerlang, ‘kan?” Muara menyuarakan ide yang tiba-tiba muncul di saat tak terduga sambil tersenyum melihat satu per satu rekan kerjanya.
ADVERTISEMENTS
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!