The Blacklust Chapter 3 by Indah Hanaco | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Terlepas dari misinya, Kelvin merasa bahwa istrinya adalah perempuan yang hebat dan menarik. Hal itu membuat hati Kelvin tersentuh, terutama saat Maudy berencana untuk membantunya mewujudkan bisnis yang diimpikan. Kelvin pun berjanji untuk belajar mencintai Maudy dengan tulus. Namun, berhasilkah?
***
Kelvin mencoba mengingat-ingat semua yang sudah dilakukannya hari ini. Lelaki itu sedang berada di ruang kerjanya, menghadap ke arah dinding kaca yang menampakkan pemandangan ke arah jalan raya yang dipenuhi kendaraan. Setelah yakin bahwa tak ada yang terlupa, pria itu menarik napas panjang. Lega, tentunya.
Dari ekspresi dan respons Maudy, Kelvin tahu bahwa dirinya sudah mengesankan perempuan itu. Tak sia-sia usahanya untuk mencari hadiah yang bisa membuat istrinya bahagia. Kelvin benar-benar harus memeras otak agar semuanya memberi efek yang diinginkannya. Dia tak mau gagal setelah bersabar sekian tahun ini, kan?
Kelvin mengecek arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Jam operasional perusahaan akan dimulai kurang dari lima belas menit lagi. Namun, dia yakin istrinya sudah sampai di kantor. Sejak Kelvin dipindahkan ke Jakarta, dia tak pernah mendapati Maudy datang terlambat ke kantor. Itu adalah salah satu hal positif yang sangat perlu mendapat apresiasi. Meski menjadi pemilik Bag to Bag, Maudy tak pernah bersikap seenaknya. perempuan itu memberi contoh tentang etos kerja yang baik pada seluruh bawahannya.
Kelvin beranjak dari tempat duduknya. Dia sempat berhenti untuk merapikan pakaiannya. Seperti biasa, Kelvin mengenakan setelan jas trendi berwarna biru muda, dasi berwarna senada hanya saja satu tingkat lebih tua warnanya, dipadu dengan kemeja berwarna krem. Setelahnya, barulah pria itu meninggalkan ruang kerjanya yang berada di lantai dua. Tujuan Kelvin adalah lantai tiga, tempat istrinya berkantor.
Saat melewati meja yang ditempati Anika, perempuan yang tanpa sadar sudah memberi banyak sekali bantuan pada Kelvin selama ini, lelaki itu mendapati dirinya dihadiahi senyum lebar. Kelvin berhenti melangkah.
“Apa dia menyukai buketnya?” tanya Kelvin dengan ekspresi cemas yang disengaja. Tangan kanannya menyilang di depan dada, menempel tepat di jantungnya. Dia ingin menegaskan kesan bahwa dirinya benar-benar cemas menunggu reaksi istrinya.
Kelvin memasang ekspresi cemas | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Tentu saja suka. Dan aku yakin, kamu sudah bisa menebaknya,” balas Anika dengan suara penuh semangat. Lalu, dia bicara lagi dengan suara sengaja direndahkan. “Perempuan mana yang tak suka dengan perhatian detail yang umumnya tak terpikirkan oleh para laki-laki di luar sana? Hebat, kamu sampai terpikirkan untuk memesan cokelat yang pernah dicicipi Maudy setahun lalu.”
Anika geleng-geleng kepala dengan senyum masih mengembang sempurna. Kelvin menghela napas panjang sembari menurunkan tangan dari dadanya. Lelaki itu menegakkan tubuh. “Aku benar-benar lega karena Maudy suka. Aku—”
“Dasar pembohong! Kamu pasti sudah menebak kalau istrimu akan suka dengan hadiahmu. Juga satu set perhiasan yang cantik itu,” sela Anika. Perempuan itu mengibaskan tangan kanannya ke udara. “Sudah, masuk sana! Silakan lihat sendiri reaksi istri tercintamu. Tapi kalian tidak punya banyak waktu untuk mesra-mesraan karena Maudy harus bertemu dengan klien sebentar lagi.”
Kelvin tertawa kecil. Adakalanya dia merasa bahwa Anika lebih mengenal dirinya dibanding Maudy, entah mengapa. Sedetik kemudian, Kelvin menuruti saran asisten istrinya. Dia berderap menuju pintu ruangan yang ditempati Maudy, mengetuk pintu, lalu masuk setelah mendengar izin dari istrinya. Begitu pintu terpentang, dia mendapati Maudy sedang bicara di telepon. Tangan kiri perempuan itu memeluk buket bunga yang dipesan Kelvin, sedangkan tangan kanannya menempelkan ponsel di telinga.
Maudy buru-buru mengakhiri perbincangan di telepon setelah melihat suaminya menutup pintu. Lalu, perempuan itu berdiri dengan senyum lebar mengembang di bibirnya. “Buket ini luar biasa. Aku tidak mengira kalau kamu sampai terpikir menambahkan cokelat-cokelat ini. Sungguh, Vin, ini ide yang brilian. Aku benar-benar senang mendapat kado bertubi-tubi pagi ini. Semuanya mengesankan.” Dia menyongsong Kelvin yang berjalan mendekat.
Kelvin tertawa kecil dengan kedua tangan terentang. Maudy melangkah masuk ke dalam pelukannya setelah meletakkan buket bunga tulip dan cokelat itu di atas meja. Hidung Kelvin menghidu aroma parfum yang sudah dikenakan Maudy sejak bertahun silam. Dulu, saat pertama kali dia mendekap Maudy, Kelvin nyaris muntah. Entah karena aroma tubuh, parfum, sampo, atau hati nuraninya yang masih tersisa. Karena dia dengan sadar sedang bersandiwara, berpura-pura jatuh cinta pada perempuan ini.
Kelvin bersyukur, dirinya cepat beradaptasi. Seiring berjalannya waktu, perasaan mual, jijik, atau semacamnya sudah sangat berkurang meski tak bisa benar-benar hilang. Kelvin bisa lumayan menikmati kebersamaan dengan Maudy. Ini risiko yang dipilihnya. Dia sempat gamang saat hendak mengajak Maudy menikah. Bagaimana dia bisa bertahan dengan perempuan yang sama sekali tak dicintainya? Sampai berapa lama dia harus berpura-pura?
Namun, Kelvin memiliki akal sehat yang bekerja dengan maksimal. Bertemu perempuan kaya seperti Maudy adalah peluang sekali seumur hidup yang bisa menghindarkan Kelvin dan keluarganya dari masalah finansial yang sudah menaungi mereka sejak dia kecil. Karena itu, dia sungguh dungu jika tak melakukan apa pun. Kelvin bertekad akan menciptakan rumus cinta sendiri.
“Kenapa cokelatnya belum dimakan?” tanya Kelvin setelah Maudy merenggangkan dekapan. Kedua tangan perempuan itu kini melingkari leher sang suami. Dia agak berjinjit untuk mencium bibir Kelvin sebelum memberi jawaban.
Maudy bahagia dengan kado dari Kelvin | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Aku tak mau merusak buket itu,” sahut Maudy. Jawabannya itu ditertawakan oleh Kelvin. “Buketnya terlalu cantik, Vin,” perempuan itu membela diri.
Kelvin memandang istrinya dengan senyum terkulum. Kadang, ada bagian diri Maudy yang begitu polos dan jujur. Hal itu, sering kali mencubit hati Kelvin. Dia pernah terpikir untuk benar-benar belajar mencintai istrinya. Bagaimanapun, perempuan ini sudah begitu tulus padanya selama ini. Maudy juga sudah banyak memberi bantuan finansial pada keluarga besar Kelvin yang menetap di Bukittinggi.
Kini, keluarga Kelvin bisa hidup lebih nyaman. Maudy yang memang murah hati, memberi modal yang dimanfaatkan ayah dan ibu Kelvin untuk membuka toserba dengan omzet cukup menggiurkan. Itulah alasan lain mengapa orangtua Kelvin begitu menyayangi menantu mereka.
“Oh ya, kebetulan kamu datang ke sini. Ada beberapa hal yang ingin kubicarakan.”
“Sekarang?” tanya Kelvin, agak keheranan. “Barusan Anika bilang, kamu akan bertemu dengan klien sebentar lagi.”
“Memang. Tapi kita tidak akan lama, kok! Jadi, aku tidak akan telat.”
Maudy mempersilakan Kelvin duduk dengan tangan kirinya. Lelaki itu pun menurut. Beberapa saat kemudian, pasangan suami istri itu sudah duduk berhadapan, dipisahkan oleh meja kerja yang terbuat dari kayu.
“Pertama, aku tidak bisa pergi ke Bali minggu depan. Karena ada berita tak terduga yang baru kudengar pagi ini. Yaitu, ada calon investor penting yang ingin bertemu denganku di sini. Orangnya cuma punya waktu bertepatan dengan jadwal ke Bali itu. Kalau tidak, si calon investor itu baru punya waktu luang sekitar dua bulan lagi. Aku tak mau berspekulasi karena semua bisa terjadi dalam waktu singkat, kan? Karena itu, aku ingin meminta bantuanmu, Vin.”
Kelvin memajukan tubuh. “Bantuan apa?” Suaranya terdengar lebih antusias dari yang dimaksudkan lelaki itu.
“Aku ingin memintamu mewakiliku ke Bali. Tidak lama, hanya empat hari. Agendanya pun pasti kamu sudah paham. Cuma bertemu dengan Pak Wayan untuk membahas kontrak kerja sama yang baru. Selain itu, kamu juga akan bertemu satu orang calon klien lain yang ingin menjadi distributor tunggal Bag to Bag untuk wilayah Bali. Karena memang selama ini produk kita belum masuk ke sana, ini kesempatan yang menurutku terlalu sayang untuk dilewatkan,” urai Maudy.
Seperti biasa, penjelasan Maudy begitu runut dan jelas. Hingga Kelvin cuma menggumamkan persetujuan. Ini bukan pekerjaan sulit baginya. Dia sudah berkali-kali mendampingi Maudy untuk pertemuan semacam itu. Kelvin sangat paham pekerjaan istrinya meski dia selama ini menjadi kepala bagian keuangan di Bag to Bag. Maudy juga selalu mengatur jadwal bepergian yang fleksibel dan tak serba terburu-buru. Jadi, acara di bali itu tak akan menyusahkan Kelvin. Lagi pula, bisa dianggap ini sebagai refreshing karena Kelvin bisa bepergian sendiri.
“Semua dokumennya sudah disiapkan, jadi kamu tidak akan kerepotan. Termasuk untuk si calon distributor, kalau semuanya berjalan lancar,” kata Maudy lagi. “Anika cuma perlu memesan tiket penerbangan atas namamu saja, kalau kamu memang setuju.”
Kelvin mengangguk. Dia tak perlu mempertanyakan efisiensi sang istri. Maudy adalah orang yang terbiasa merencanakan segala sesuatunya dengan detail. Klop dengan Kelvin. Jika mau jujur, menikahi Maudy membuat lelaki itu kian ahli memanfaatkan waktu dan peluang. Kelvin sudah belajar banyak dari Maudy.
“Ke Bali adalah poin pertama. Berarti, ada yang kedua dan ketiga?” Kelvin mengingatkan. Dia sempat mengecek arloji. “Mau dibahas sekarang atau setelah kamu bertemu klien?” tanyanya.
“Cuma ada yang kedua,” sahut Maudy. “Aku lebih suka membahasnya sekarang.” Perempuan itu melipat tangan ke atas meja sambil tersenyum ke arah Kelvin. “Ini soal mimpi lamamu, membangun pusat kebugaran.”
Bulu kuduk Kelvin meremang seketika. Namun, tentu saja dia harus memainkan perannya dengan baik. Mustahil Kelvin menunjukkan perasaan senangnya dengan gamblang meski sudah mulai bisa menebak apa maksud ucapan Maudy. Karena itu, Kelvin sengaja mengerutkan glabela dengan ekspresi bingung yang sering dilatihnya saat sedang sendiri.
“Ada apa dengan itu?” tanyanya dengan nada heran yang terdengar mulus.
Senyum Maudy merekah begitu cantik dan membuat Kelvin menahan napas, menunggu perempuan itu bicara. “Aku tertarik ingin berinvestasi supaya kamu bisa mulai membangun bisnismu sendiri. Yang kubutuhkan cuma proposal lengkap. Kalau aku menyukai data-datanya, mimpi lamamu akan segera terwujud.”
Kelvin berdiri dari tempat duduknya sebelum menghampiri sang istri. Detik ini, dia benar-benar bersyukur akan keputusan Maudy itu. Kelvin menarik Maudy ke dalam pelukannya sembari menggumamkan terima kasih. Kali ini, ucapan itu benar-benar tulus.
Pada momen itu, mendadak Kelvin merasa yakin. Bahwa dia bisa benar-benar jatuh cinta pada istrinya. Perempuan ini sudah begitu baik, dia harus mengakui itu. Maudy tak berhak dikhianati, bahkan oleh Kelvin. Diam-diam lelaki itu bersumpah, dia akan berusaha menjadi suami yang benar-benar tepat untuk Maudy.
Sumpah yang diucapkan Kelvin pada dirinya itu, cuma bertahan selama satu minggu. Saat dia berada di Bali, sesuatu terjadi dan mengubah arah hidupnya.
Indah Hanaco adalah penulis 53 buah novel. Indah sangat suka menulis novel bertema romance dengan isu kesehatan mental atau kekerasan yang dialami perempuan. Info tentang karya-karya Indah bisa dicek di akun Instagram @indah_hanaco.