Tiga bulan penuh Kelvin menyusun rencana untuk menyingkirkan Maudy dari hidupnya, agar ia bisa bersama Elva. Hasilnya? Sungguh mengejutkan.
***
Tiga bulan kemudian.
Kelvin terbangun dengan perasaan lega yang membanjir, saat menyadari bahwa inilah hari yang ditunggu-tunggunya. Baru kali ini Kelvin merasa tiga bulan sama seperti tiga puluh tahun. Seolah dia sudah menunggu seumur hidup untuk bisa tiba di hari ini. Namun, mengingat dirinya akan mendapat tiket kebebasan hanya dalam hitungan jam, penantian panjangnya sungguh sepadan. Setelah hari ini, dia tak perlu lagi mencuri-curi waktu saat menemui Elva.
Apalagi, belakangan Elva makin sering mendesaknya untuk berpisah dari Maudy. “Kalau kamu betul-betul mencintaiku, kamu harus membuat pilihan, Vin. Aku tak bisa selamanya cuma menunggu saja. Aku bosan menjadi perempuan kedua. Aku ingin bisa menemuimu sebebas mungkin, tinggal bersamamu. Aku tak mau kamu cuma mampir ke apartemen selama beberapa jam sebelum pulang ke rumah istrimu. Jalan satu-satunya adalah, kamu menceraikan istrimu. Kalau tidak, aku tak tahu berapa lama lagi bisa bertahan.”
Tuntutan sekaligus ultimatum Elva yang nyaris selalu disuarakan tiap kali mereka bersama, membuat Kelvin kian berteguh hati untuk berpisah dari Maudy. Dia tak sanggup kehilangan Elva. Lelaki itu menganggap serius ucapan kekasih gelapnya itu. Karena itu, Kelvin pun menyusun rencana detail untuk memastikan dirinya dan Elva bisa segera bersama.
Kelvin berjuang untuk tetap bersikap seperti biasa, menjadi suami yang penyayang dan penuh perhatian. Ini hari besarnya, dia tak boleh melakukan kekacauan. Kendati rasa mual yang meremas perutnya kian parah saja. Tadi malam, saat berciuman dengan Maudy, Kelvin tak kuasa menahan rasa ingin muntah yang membuatnya melompat dari ranjang dan berlari ke kamar mandi. Lelaki itu mengeluarkan lagi semua yang disantapnya saat makan malam.
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!
“Kamu kenapa, Vin?” tanya Maudy dengan raut cemas, saat Kelvin kembali ke ranjang.
Kelvin menyeka sisa keringat dingin yang membasahi keningnya dengan tangan kanan. “Entahlah, mungkin salah makan. Sejak siang perutku memang tak nyaman,” dusta Kelvin.
Lelaki itu sangat lega karena Maudy tampak memercayai ucapannya. Perempuan itu memintanya untuk segera beristirahat. Kelvin bahagia karena tak perlu bercinta dengan istrinya. Sejak bertemu Elva, tidur dengan Maudy menjadi siksaan luar biasa yang membuat Kelvin ingin mati saja rasanya.
Pagi ini, Kelvin sedianya ingin memberi semacam hadiah perpisahan untuk istrinya. Memulai pagi mereka dengan morning sex yang hebat dan tak terlupakan. Namun, Kelvin tahu dia tak akan sanggup melakukannya. Karena itu sesuatu yang terlalu muluk untuk diwujudkan saat ini. Dia tak mau benar-benar muntah di atas ranjang mereka.
“Selamat pagi, Sayang,” sapa Kelvin setelah menginjakkan kaki di dapur. Maudy menjawab sambil melambai ke arahnya. Perempuan itu baru saja meletakkan semangkuk nasi goreng teri medan yang aromanya menggugah selera. Itu salah satu menu kesukaan Kelvin yang bisa dimasak Maudy tanpa cela. Perut lelaki itu sontak keroncongan.
“Makan sekarang ya, Vin?” tanyanya sebelum mengecup bibir Kelvin sekilas saat lelaki itu mendatanginya. Kelvin menahan napas selama beberapa detik, berdoa agar rasa mual tak menghampirinya. Tuhan mendengarkan doa pendosa seperti dirinya pagi itu.
“He-eh. Tapi sedikit saja ya, Dy,” kata Kelvin sambil mengitari meja makan. Dia menarik kursi di depan istrinya.
“Perutmu masih sakit?” Maudy mengisi sebuah piring dengan masakannya. Alis perempuan itu terangkat dengan mata terlihat cemas. “Mau ke dokter?”
“Masih terasa tak nyaman. Tapi tak perlu ke dokter,” jawab lelaki itu. Dia menerima piring berisi nasi goreng yang disodorkan sang istri. Kelvin menggumamkan terima kasih. Dia bersyukur karena piringnya cuma terisi sedikit. Kelvin benar-benar tak akan sanggup menelan banyak makanan saat ini. Karena kegugupan mendominasi dan membantai sekujur tubuhnya.
Mereka mengobrol ringan sambil menghabiskan sarapan. Untuk kesekian kalinya selama satu bulan terakhir, Maudy mengeluhkan hal yang sama. Kamera CCTV yang mati dan alarm rumah yang menyala dan membuat pihak keamanan perumahan mengecek kediaman mereka. Namun, tidak ada tanda-tanda ada yang membobol masuk.
“Kamu kan tahu, masalah semacam itu sudah sering terjadi di kompleks ini,” hibur Kelvin. “Bukan cuma rumah kita saja yang kamera CCTV-nya mendadak mati selama puluhan menit atau alarm berbunyi begitu saja.”
“Betul. Tapi, sebulan terakhir ini frekuensinya terlalu sering,” sanggah Maudy. Perempuan pecandu kopi itu meraih gelas minumannya. Seperti biasa, Maudy membuat kopi untuk dirinya sendiri dan teh hangat tanpa gula untuk suaminya.
“Tidak usah cemas, Sayang. Tidak akan terjadi apa pun,” respons Kelvin. Dia memasukkan suapan terakhir nasi goreng ke dalam mulutnya.
Maudy tampaknya tak sepenuhnya setuju. “Tetap saja membuat cemas, Vin. Menurutku, perusahaan yang menangani masalah keamanan di kompleks ini, harus diganti. Sudah banyak yang mengajukan komplain, tapi tak ada perubahan sama sekali. Mungkin nanti aku akan bicara dengan tetangga kita yang lain, membahas masalah ini.”
Kelvin memberi dukungan pada istrinya. Dia tahu, jika Maudy sudah berkehendak akan sesuatu, percuma saja menentangnya. Dia malah memberi dorongan halus pada Maudy untuk segera mengontak para tetangga mereka. Diam-diam Kelvin merasa puas saat Maudy menuruti sarannya tanpa menunda-nunda. Maudy membahas masalah CCTV dan alarm di grup WhatsApp khusus penghuni kompleks perumahan itu.
“Hari ini, aku akan pulang telat. Karena bagian keuangan ingin merayakan kenaikan pangkat Ramona,” beri tahu Kelvin pada istrinya. Dia sedang berdiri di depan cermin sambil mengenakan dasi. Sementara Maudy sedang memilih pakaian. Nama yang disebut Kelvin adalah salah satu bawahannya.
“Kamu sudah memberitahuku sebelas kali,” gurau Maudy.
“Bagaimana dengan jadwalmu? Kemarin, Anika bilang hari ini kamu akan sibuk sekali,” komentar Kelvin dengan gaya sambil lalu. Saat itu, jantung Kelvin rasanya hendak meledak, menunggu jawaban dari Maudy. Lelaki itu mati-matian menahan diri agar tak menatap Maudy. Dia cemas, istrinya bisa melihat apa yang bergolak di dalam benaknya.
“Memang. Jadwalku padat sejak pukul sepuluh hingga sore. Hari ini, aku akan langsung pulang. Mungkin, aku akan membeli makanan di perjalanan atau memesan dari rumah saja.”
Kelvin menarik napas lega. Tampaknya, semua akan sesuai jadwal. “Aku pun memiliki agenda rapat dari pagi. Baru bebas setelah jam makan siang. Itu pun kalau tak ada kendala.” Dia berdeham. “Aku ingin membawakanmu makanan tapi mungkin terlalu malam.”
“Tidak usah,” larang Maudy. “Aku sudah lama tak sempat lagi berendam di bathtub sepulang kerja. Jadi, hari ini, itu yang akan kulakukan sebelum makan. Aku ingin sedikit memanjakan diri. Untungnya besok adalah hari Sabtu,” seloroh Maudy. “Oh ya, minggu depan sepertinya masalah lisensi dari BeFit Daily pusat akan beres. Kalau semua lancar, tak lama lagi cita-citamu akan terwujud.”
Air liur Kelvin nyaris menetes mendengar ucapan istrinya. BeFit Daily yang berpusat di Inggris itu bukanlah pusat kebugaran kelas teri. “Terima kasih ya, Sayang. Kamu sudah memberi terlalu banyak untukku. Sungguh, aku laki-laki paling beruntung di dunia,” ucap Kelvin sambil menatap istrinya.
“Aku yang beruntung karena menjadi istrimu. Kamu yang terbaik, Vin.”
Saat melihat tatapan penuh cinta di mata Maudy, Kelvin tersentuh. Dia sempat terpikir untuk mengontak Ari dan meminta pria dengan pengalaman panjang sebagai perampok rumah-rumah mewah itu untuk membatalkan aksinya. Namun, pikiran itu cuma melintas sejenak sebelum ditebas oleh Kelvin dengan kejam. Dia tak boleh mendengarkan hati nurani, terutama saat ini. Karena mungkin kesempatan semacam ini tak pernah ada lagi. Bukankah ini harga yang harus ditebusnya demi kebebasan? Jadi, tak ada jalan kembali.
Sebelum berangkat ke kantor lebih dulu, Kelvin mencium bibir istrinya dengan lembut. Kali ini, anehnya, tak ada rasa mual yang menyiksa dirinya. Ini adalah ciuman terakhirnya untuk Maudy. Setelah ini, mereka akan berpisah jalan.
Kelvin sungguh ingin malam segera tiba karena dia tersiksa menunggu detik demi detik berlalu. Sayang, hari ini seolah melamban seperti tiga bulan terakhir ini. Kendati sejak pagi dia sudah disibukkan dengan beragam pekerjaan. Ada rapat di divisi keuangan yang harus dipimpin Kelvin dan membuatnya mesti mencurahkan konsentrasi.
Untung saja rapat berjalan lancar dan tak semembosankan bayangan Kelvin. Setelahnya, dia makan siang di sebuah restoran yang letaknya tak jauh dari kantor Bag to Bag. Restoran yang khusus menyediakan menu serba ayam itu menjadi favorit sebagian besar pegawai di kantor Kelvin. Dia pun tergolong sering makan di situ. Namun, biasanya Kelvin memilih waktu lebih siang, di atas pukul satu. Saat restoran tak terlalu ramai.
“Tumben Bapak makan siang secepat ini,” komentar Risa, salah satu pegawai bagian desain yang bertemu dengan Kelvin di restoran. “Biasanya, saat saya dan yang lain mau pulang, baru Bapak datang.”
“Kali ini pengecualian, Ris. Saya lapar berat.”
Kelvin jujur. Dia memang sudah terlalu lapar karena hanya makan sedikit saat sarapan tadi. Apalagi, malamnya dia memuntahkan semua isi perutnya. Karena itu, Kelvin tak peduli meski restoran sendiri ramai saat ini.
Dia sengaja memilih restoran yang banyak didatangi rekan sejawatnya. Karena misi Kelvin hari ini adalah bertemu para pegawai Bag to Bag sebanyak mungkin. Dia juga tak terganggu meski sempat ditabrak seseorang yang baru keluar dari lorong ke arah toilet saat menuju meja yang kosong. Lengan kanannya lumayan nyeri tapi Kelvin terlalu gugup untuk marah pada gadis muda yang ceroboh dan berkali-kali menggumamkan kata maaf itu.
Sepanjang sisa hari itu, entah berapa kali Kelvin merasakan punggungnya dijalari keringat dingin. Belum lagi tengkuk yang terasa membeku tiba-tiba dan perut kram. Namun, Kelvin meyakinkan diri sendiri bahwa dia adalah seorang aktor yang andal. Waktu telah membuktikannya, terutama tiga tahun terakhir.
Selama makan malam dengan lebih dua puluh orang pegawai bagian keuangan, Kelvin menjaga sikap santainya yang biasa. Dia bukannya tak tahu bahwa para bawahannya cenderung memuja dirinya. Karena Kelvin tetap membumi dan tak bersikap bossy kendati beristrikan Maudy. Dia tak pernah menjaga jarak dari para bawahannya di Bag to Bag.
Kelvin menahan diri agar tak bolak-balik mengecek arlojinya. Kelvin bertahan di restoran sampai akhir, tak mau menjadi orang yang lebih dulu meninggalkan tempat itu. Padahal, betapa putus asanya Kelvin saat ini karena dia ingin menghabiskan waktu bersama Elva sambil menunggu Ari menuntaskan pekerjaannya. Akan tetapi, tentu saja itu tak mungkin dilakukan karena akan membuat pihak berwajib mencurigainya. Dia pasti dimintai alibi. Jika Kelvin ketahuan menghabiskan waktu dengan wanita simpanannya saat rumah mereka dirampok, sudah pasti dia akan dicurigai.
Waktu untuk pulang akhirnya tiba. Saat itu sudah hampir pukul sembilan. Tampaknya, semua orang bersenang-senang hingga lupa waktu, apalagi besok akhir pekan. Kecuali Kelvin. Lelaki itu baru saja hendak meninggalkan restoran ketika ponselnya berbunyi. Kelvin mengernyit saat menemukan nama Ari terpampang di layar. Sambil menggerutu, lelaki itu menolak panggilan. Lalu, dia berniat menaruh gawainya ke smartphone holder yang menempel di dashboard. Namun telepon genggamnya kembali berbunyi.
“Kenapa kamu menelepon ke sini? Kenapa tidak ke nomor yang biasa?” ucap Kelvin dengan suara tajam. Dia tak punya pilihan kecuali menjawab panggilan itu.
Ari menjawab pendek, “Karena ponselmu tidak aktif. Aku cuma ingin bilang, paket sudah diantar.”
Kata-kata Ari itu membuat Kelvin terkesima. Dia mematung di tempat duduknya meski panggilan telepon itu sudah berakhir. Akhirnya, semuanya terjadi. Seakan ada beban berat yang terangkat dari bahu Kelvin. Ari menuntaskan pekerjaan yang diberikan olehnya. Meski Kelvin tak menyukai pilihan kata Ari. Teman lama Kelvin itu mungkin terlalu banyak menonton film kriminal ala Hollywood hingga menggunakan istilah “paket” segala.
Butuh waktu selama hampir dua menit bagi Kelvin untuk menenangkan diri. Setelah itu, dia sempat merogoh saku jas yang lain untuk mencari ponsel yang satu lagi. Apakah ponselnya mati karena dia lupa mengisi daya? Namun, benda yang dicarinya itu tak ditemukan. Kelvin mencoba mengingat-ingat. Dia tahu pasti tak pernah meninggalkan ponsel yang disembunyikannya dari dunia itu. Hanya ada dua orang yang tahu nomornya. Ari dan Elva.
Tak kunjung menemukan jawabannya, Kelvin akhirnya mengabaikan masalah ponsel rahasianya. Pikirnya, nanti juga akan ditemukan. Barulah setelah itu dia berjuang mengembalikan akal sehat ke kepalanya. Kelvin mengingatkan dirinya sendiri agar tak bereaksi berlebihan saat ini. Meski dorongan untuk mengabari Elva tentang berita bagus itu begitu kuat, Kelvin tak melakukan apa-apa. Dia justru tak ingin Elva tahu apa yang sudah dilakukannya demi bersama dengan perempuan itu. Biarlah hal itu menjadi rahasia antara dirinya dan Ari saja.
Kian dekat dengan rumahnya, jari-jemari Kelvin makin gemetar. Dia mencengkeram setir sekuat mungkin demi mengurangi kegugupan. Mulas di perut dan denyut di kepala pun mendadak muncul. Lelaki itu baru saja menyetir selama lima menit saat ponselnya kembali berbunyi. Kali ini, si penelepon adalah salah satu tetangganya, Carlo.
“Vin, syukurlah kamu mengangkat teleponmu,” ucap Carlo terdengar lega. “Kamu di mana? Masih di kantor? Aku mencoba menelepon Maudy beberapa kali tapi ponselnya tidak aktif,” imbuh lelaki itu. “Cepatlah pulang, sepertinya ada sesuatu yang terjadi di rumahmu.”
“Ada apa? Aku memang sudah di perjalanan menuju rumah. Mungkin aku akan sampai beberapa menit lagi. Maudy tadi bilang, dia akan langsung pulang setelah jam pulang kantor. Sementara aku baru selesai makan malam dengan para pegawai di divisiku,” cerocosnya dengan jantung hendak meledak. Kelvin terdengar panik, bahkan di telinganya sendiri. “Memangnya apa yang terjadi?”
“Cepatlah pulang. Nanti kita bicara lagi,” ulang Carlo sebelum mengakhiri panggilan teleponnya. Jawaban itu tak memuaskan Kelvin tapi imajinasi pria itu sudah terbang melampaui bintang. Dia tahu apa yang terjadi. Karena Kelvin sudah merancang semuanya dengan detail. Dia bahkan sudah berjuta kali membayangkan semua yang terjadi hari ini.
Jadi, dia tak kaget saat mendapati area depan rumahnya sudah dikerubungi para tetangga, pihak keamanan kompleks, hingga para polisi. Kelvin meninggalkan mobil yang diparkirnya asal-asalan di depan rumah. Lalu, dia melengkapi sandiwaranya sembari berlari menyerbu masuk ke dalam rumah sambil memanggil nama istrinya berkali-kali dengan kalap.
Semua persis yang diimajinasikan Kelvin selama ini. Ruang tamu tampak berantakan, menandakan adanya pergulatan. Dua orang polisi awalnya berusaha menghalanginya masuk, hingga dia memperkenalkan diri sebagai si pemilik rumah. Lalu, Kelvin bertemu beberapa tetangga yang berusaha menenangkannya. Salah satunya Carlo. Namun, Kelvin tetap “menggila”, berteriak-teriak histeris sembari memanggil nama istrinya. Dua orang polisi sampai memegangi tubuhnya dengan kencang.
Kelvin terus mempertahankan aktingnya. Hingga dia sendiri hampir yakin bahwa semua kepanikan itu memang nyata adanya. Sampai kemudian dia diizinkan memasuki kamar utama yang pintunya terpentang lebar untuk mengenali siapa yang terbaring di ranjang. Tentu saja itu cuma formalitas karena lelaki itu sudah tahu korbannya.
Kelvin melihat sesosok tubuh bersimbah darah yang terbaring di ranjang. Yang tak siap dihadapinya cuma satu. Bukan Maudy yang terbujur kaku di atas tempat tidur berseprai biru tua dengan motif kotak-kotak yang dipenuhi darah itu. Melainkan … Elva!
Kini, Kelvin benar-benar menjerit histeris.
-Bersambung-
Baca bab selanjutnya: The Blacklust – Chapter 6
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
Tim Dalam Artikel Ini
Indah Hanaco adalah penulis 53 buah novel. Indah sangat suka menulis novel bertema romance dengan isu kesehatan mental atau kekerasan yang dialami perempuan. Info tentang karya-karya Indah bisa dicek di akun Instagram @indah_hanaco.