Elva benar-benar membuat Kelvin mabuk kepayang. Tak pernah sebelumnya ia merasakan sensasi jatuh cinta seperti anak remaja sekaligus dua orang dewasa seperti ini. Namun, bagaimana dengan rencana Kelvin dengan Maudy? Haruskah ia mengorbankan itu semua demi Elva?
***
Perempuan bukanlah objek yang akan membuat Kelvin sampai berkhianat. Namun, jika sudah menyangkut uang dan kemungkinan memiliki masa depan yang cerah, tentu saja lain ceritanya. Ketika Kelvin memutuskan untuk mengincar masa depan bersama Maudy, faktor utamanya adalah kesuksesan finansial perempuan itu. Tak cuma karena pencapaian pribadi, melainkan juga latar belakang keluarganya.
Sebelum mereka menikah, Kelvin pernah beberapa kali digoda oleh perempuan yang ditemuinya dalam berbagai kesempatan. Tanpa bermaksud menyombongkan diri, dia adalah pria perlente yang selalu berusaha menjaga penampilan. Tak cuma yang berkaitan dengan pakaian belaka, tapi juga kebugaran tubuh. Kelvin rutin berolahraga untuk membentuk tubuhnya. Dia juga menjaga menu makanannya meski tak terlalu ketat. Selain itu, Kelvin juga bukan pria jelek.
Namun, selama ini, segala godaan dari lawan jenis itu tak mampu menggoyahkan hati Kelvin. Bahkan pada situasi tertentu, meski sangat menyukai uang, Kelvin pun bisa bergeming kendati ditawari kesempatan untuk menggandakan hartanya. Misalnya saja saat Ivan mendatanginya dan memberikan cek dengan angka fantastis agar Kelvin membatalkan pernikahan dengan Maudy.
Kelvin memang tidak menolak pemberian ayah Maudy itu. Dia bahkan mencairkan cek tersebut. Akan tetapi, Kelvin menggunakan uangnya untuk membeli mobil sport mewah yang pernah disinggung Maudy saat mereka berbincang dalam satu kesempatan. Lalu, dia menghadiahkan mobil itu untuk Maudy. Tentu saja perempuan itu kaget setengah mati.
“Papamu memberiku cek yang memiliki terlalu banyak angka nol di belakangnya. Beliau ingin aku membatalkan pernikahan kita. Cek itu semacam tiket akomodasi yang bisa membuat hidupku makmur. Aku memang tak menolak cek itu. Tapi uangnya kubelikan mobil impianmu,” cetus Kelvin dengan nada ringan. Maudy membelalak karena ucapannya itu
Kelvin tak akan melupakan ekspresi kaget yang terlihat di wajah Maudy kala itu. Begitu juga dengan Ivan, saat tahu apa yang dilakukan Kelvin dengan cek pemberiannya. Rasanya, puas sekali melihat mereka menyadari bahwa dirinya tak bisa dibeli. Apalagi, Ivan kemudian meminta maaf pada Kelvin dan mengaku sudah salah menilai calon menantunya. Mobil sport itu masih terparkir di garasi rumah mereka meski tak terlalu sering digunakan Maudy.
ADVERTISEMENTS
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!
“Aku tak bisa sering-sering memakai mobil itu karena tak mau dianggap pamer,” canda Maudy. “Lagi pula, mobil itu memiliki sejarah hebat yang luar biasa. Aku lebih suka memastikannya aman di garasi kita.”
Kelvin benar-benar kagum pada dirinya sendiri karena tak tergoda dengan uang berjumlah melimpah yang disiapkan Ivan untuknya. Dia ternyata memang sehebat itu.
Namun, situasinya berbeda saat ini. Pertemuan Kelvin dengan perempuan bernama Elva di Bali, mengubah permainan yang selama ini sudah diketahui arahnya oleh Kelvin. Mereka bertemu saat Kelvin sedang makan malam. Ketika Elva memasuki restoran hotel dengan penuh percaya diri, mengenakan gaun cheongsam hitam dengan corak merah, jantung Kelvin seolah berhenti berdetak!
Elva yang mengaku bekerja di sebuah perusahaan multinasional itu memiliki tubuh berlekuk yang menawan. Jika Maudy bertubuh mungil, Elva adalah perempuan jangkung. Intinya, kedua perempuan itu benar-benar berbeda.
Seumur hidup, Kelvin yakin dirinya tak pernah jatuh cinta pada seseorang. Dia pun belum pernah merasa terpesona pada kaum hawa seperti ini. Kelvin bahkan tak ingat dia pernah nyaris tak berkedip hanya karena melihat seorang perempuan cantik melintas di dekatnya.
Dia tak terlalu asing dengan perempuan cantik, terutama setelah bekerja di Bag to Bag pusat. Kelvin sering bertemu para model menawan yang bekerja sama dengan mereka untuk mengiklankan produk perusahaan milik Maudy itu. Bahkan, Maudy yang mungil itu pun tergolong perempuan cantik. Namun, Elva berbeda.
Elva duduk sendiri menikmati makan malamnya, hanya terpisah dua meja dari tempat Kelvin terpesona mirip orang bodoh. Perempuan itu jelas-jelas menjadi pusat perhatian banyak mata yang sedang berada di restoran itu. Menolak memikirkan efeknya jika Maudy tahu apa yang dilakukannya, Kelvin mengumpulkan keberanian untuk menghampiri Elva. Dia menyapa perempuan itu dengan sopan, meminta izin pada Elva untuk duduk satu meja dengannya.
Pupil mata Elva sempat membesar, mungkin kaget karena Kelvin berani mendatanginya. Namun, perempuan itu tak menolak. Elva malah mempersilakan Kelvin untuk bergabung dengannya. Reaksi itu agak di luar dugaan karena sesungguhnya Kelvin tak terlalu yakin akan mendapat respons positif. Karena itu, dia buru-buru menarik kursi di depan Elva, terlalu cemas perempuan itu akan membatalkan persetujuannya.
“Terima kasih karena sudah memberiku izin untuk duduk di sini,” kata Kelvin, sungguh-sungguh. Elva tersenyum lebar, menampakkan sepasang lesung pipi yang membuat perempuan itu kian menawan.
“Aku yang berterima kasih karena kamu sudah berani menyapaku dan tak cuma duduk di kursimu sambil memelototiku seperti yang lain,” sahut Elva penuh percaya diri.
Di hari normal, Kelvin tak akan menyukai lawan jenis yang tampaknya sangat tahu letak pesonanya. Namun, ini bukanlah hari normal. Karena dia malah tak keberatan sama sekali. Apalagi setelah mereka berbincang. Kelvin menilai perempuan yang mengaku berasal dari Jakarta dan sengaja datang ke Bali untuk berlibur itu, kian memikat saja. Apalagi, perempuan yang lengannya tampak berotot itu, memiliki kesamaan dengan dirinya. Tergila-gila pada olahraga untuk pembentukan tubuh.
“Sepertinya kita memiliki kesamaan lebih dari yang kukira,” kata Elva sambil menatap Kelvin dengan sepasang mata kucingnya yang seksi. Kelvin menahan napas tanpa sadar. “Bagaimana kalau besok pagi kita bertemu di gym hotel? Pukul enam?”
“Setuju, pukul enam,” putus Kelvin tanpa pikir panjang. Besok, dia memiliki waktu luang yang cukup banyak. Karena pertemuan dengan Wayan dijadwalkan saat makan siang. Sementara dengan calon distributor yang bernama Naomi, masih dua hari lagi.
“Berapa lama kamu di sini, Va?” tanya Kelvin sebelum mereka berpisah.
“Kenapa? Apa kamu ingin sering bertemu denganku?” goda Elva. Perempuan itu tertawa kecil. “Aku baru tiba hari ini. Rencananya, aku akan kembali ke Jakarta tiga hari lagi.”
“Wah, serius? Aku juga akan pulang tiga hari lagi. Pesawatmu pukul berapa?”
“Pukul sebelas lewat lima,” sahut Elva sembari menambahkan keterangan tentang maskapai penerbangan yang dipilihnya.
“Ini kebetulan yang mengejutkan karena kita satu pesawat,” respons Kelvin, tak kuasa menyembunyikan rasa senangnya.
Saat berolahraga bersama di gym hotel yang buka selama 24 jam itu, Kelvin kian menyadari ketertarikannya pada Elva yang terus membesar. Dia tak kuasa mengenyahkan bayangan perempuan itu dari benaknya, bahkan saat sedang membahas kontrak baru dengan Wayan atau bernegosiasi dengan Naomi.
Selama hari-harinya di Bali, Elva sudah memengaruhi Kelvin demikian telak. Hubungan mereka begitu intens, mirip kecepatan roller coaster. Seharusnya, bagi Kelvin yang terbiasa merencanakan segala langkah dengan hati-hati, apa yang terjadi di antara mereka adalah sesuatu yang menakutkan. Di malam terakhirnya di Bali, Kelvin sudah tidur dengan Elva! Dia bermalam ke kamar perempuan itu, tentunya setelah memastikan bahwa tak ada yang memergokinya.
Kelvin terpaksa mengenakan hoodie yang dibelinya setelah bertemu dengan Naomi, demi menyamarkan penampilannya. Padahal, hoodie bukanlah jenis busana yang akan dikenakan Kelvin. Dia melakukan semua itu hanya untuk berjaga-jaga. Tak ada salahnya memastikan dirinya aman, kan?
Di pagi terakhirnya di Bali, saat membuka mata, Kelvin menyadari satu hal. Bahwa dia sudah jatuh cinta pada Elva! Otaknya mulai menyusun rencana terkait apa saja yang akan dilakukan Kelvin setelah mereka kembali ke Jakarta. Dia bersumpah pada diri sendiri bahwa dirinya tak akan melepaskan Elva. Karena semua yang dikecapnya bersama Elva, belum pernah dirasakan Kelvin dengan siapa pun.
Karena itu, dia memutuskan untuk melakukan segalanya dengan cara yang tepat. Setelah mereka sarapan, Kelvin memberi tahu Elva bahwa dirinya sudah memiliki istri di ibu kota. Namun, dia tetap ingin bersama perempuan itu, bertemu lagi sesering yang mereka bisa. Kelvin sudah menyiapkan mental jika dia harus menghadapi kemarahan perempuan itu. Sangat wajar jika Elva merasa bahwa Kelvin sudah menipunya. Namun, Elva kembali mengejutkannya karena perempuan itu merespons dengan santai.
“Memangnya kenapa kalau kamu sudah memiliki istri? Artinya, hanya satu. Kita terlambat untuk bertemu. Tapi, bukankah itu lebih baik ketimbang tidak sama sekali?”
Kelvin benar-benar kehilangan kata-kata. Akhirnya, dia cuma mencium bibir Elva dengan penuh hasrat sebagai respons untuk ucapan perempuan itu. Kelvin benar-benar merasa lega. Dia akan mencari jalan keluar agar bisa bersama dengan Elva. Mungkin, dia terpaksa harus mengubah rencana jangka panjangnya hingga tak memakan durasi yang terlalu lama. Kelvin sudah tak sabar untuk bersama Elva tanpa harus memikirkan Maudy.
Ketika akal sehatnya sedang bekerja dengan baik, Kelvin tahu bahwa Elva sudah membuatnya berubah menjadi laki-laki impulsif. Dia bahkan tak mengenal dirinya yang sekarang. Karena biasanya Kelvin sangat ahli menahan diri dan menyembunyikan perasaannya dengan baik. Terbukti, tiga tahun bersama Maudy, tak ada yang mencium kebenaran di balik alasannya menikahi Maudy. Bahkan Ivan yang tadinya memandang Kelvin dengan sebelah mata, kini terkesan mengagumi menantunya. Tentunya terkait akan kesetiaan dan cinta Kelvin pada Maudy. Membelikan mobil mewah untuk Maudy dari dana sogokan yang disiapkan Ivan, ternyata memberi keuntungan yang dahsyat untuk Kelvin.
Elva mengubah segalanya. Apakah seperti ini efek dari cinta? Jika iya, sungguh berbahaya sekaligus mengerikan. Apalagi bagi Kelvin yang terbiasa merancang segala hal dengan detail dan bersabar menunggu prosesnya. Sekarang, dia seolah berubah kepribadian, menjadi orang yang tak sabaran.
Setelah kembali ke Jakarta dan mendapat komplimen dari Maudy tentang hasil kepergiannya ke Bali, barulah Kelvin teringat pada rencana istrinya untuk berinvestasi pada cita-cita lama lelaki itu. Elva benar-benar membuatnya lupa diri. Bahkan pada hal-hal penting yang sudah menjadi mimpi Kelvin selama ini. Saat bersama perempuan itu, seolah yang terpenting adalah tetap memadu cinta dengan Elva.
Padahal, membangun pusat kebugaran memang sudah menjadi impian lama Kelvin. Karena dia memang tergila-gila pada olahraga dan cukup memahami dunia itu. Konyol jika dia malah bermaksud membangun bisnis yang sama sekali tak dimengertinya meski tampak mentereng. Membuka restoran atau kedai kopi trendi yang sedang marak, misalnya. Gym berlisensi kelas dunia adalah mimpi masa depan Kelvin.
“Jadi, kapan aku bisa mendapatkan proposalmu, Vin?” tanya Maudy suatu hari.
Kelvin menjawab dengan tenang, “Secepatnya, Sayang. Aku sedang mengumpulkan informasi sedetail mungkin. Supaya kamu tak bisa menemukan kekurangannya,” dia setengah bergurau. “Pokoknya, aku akan berusaha semaksimal mungkin supaya kamu tak bisa menolak proposalku,” imbuh Kelvin dengan tekad memenuhi dada dan kepalanya.
“Oke, kutunggu, ya.”
Lalu, Maudy kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Kelvin pun tahu diri. Dia pamit untuk meninggalkan ruang kerja istrinya. Tadi, dia datang cuma untuk membawakan kopi yang dibelinya dari sebuah gerai yang berada di sebelah kantor Bag to Bag. Dia sering melakukan itu saat menjelang sore. Tak selalu membelikan kopi, tapi kadang juga membawakan minuman atau camilan yang tersedia di sekitar kantor.
Namun, tentu saja dia memilih dengan hati-hati dan hanya yang disukai oleh Maudy. Kelvin sengaja mengganti makanan atau minuman yang dibawanya, agar sang istri tak bisa menebak. Dia sudah belajar banyak selama ini. Mempertahankan efek kejutannya adalah sesuatu yang sangat penting. Sepanjang dia memastikan bahwa Maudy menyukai apa yang dibawanya. Perhatian kecil semacam itu membuat Maudy senang. Sementara bagi Kelvin, cukup memeras otak karena dia harus membuat pilihan dengan jeli. Dia bahkan membuat daftar khusus tentang minuman atau camilan sore untuk Maudy selama sebulan penuh.
“Sepertinya kamu sedang banyak pikiran. Belakangan ini kamu juga terkesan agak tegang,” komentar Anika saat Kelvin melewati mejanya. Perempuan itu berdiri dari kursinya dan menjajari langkah Kelvin. “Kebetulan aku ada keperluan ke lantai dua. Mungkin kita bisa mengobrol sedikit.”
Anika adalah orang yang sangat perhatian pada Maudy. Perempuan itu mirip penjaga keamanan yang akan memastikan Maudy baik-baik saja. Jika ada sesuatu yang dianggapnya tak beres, kendati Maudy tak mengatakan apa pun, Anika akan mencari tahu. Jadi, sudah pasti Anika mengajak “mengobrol” karena mencemaskan bosnya.
“Aku tidak banyak pikiran atau tegang,” bantah Kelvin. Diam-diam dia mengutuki diri sendiri karena tak bisa menjaga ketenangan dan kesantaiannya hingga Anika mencium sesuatu. Padahal, selama ini di sudah berhasil mengelabui perempuan bermata awas ini. Bahkan, tanpa sadar, Anika sudah membocorkan banyak cerita tentang Maudy saat Kelvin baru melakukan pendekatan pada perempuan itu.
Anika percaya bahwa Kelvin memiliki niat yang tulus pada bosnya. Itulah sebabnya Kelvin bisa menyiapkan mental sebaik mungkin karena tahu bahwa Maudy adalah perempuan yang tak akan menerimanya begitu saja tanpa melakukan sesuatu demi memastikan bahwa Kelvin tak akan mematahkan hatinya. Karena itu, meski tak ada bukti kuat dan tak tahu apa bentuknya, dia yakin Maudy sudah melakukan banyak hal untuk menguji kesetiaan Kelvin. Yang mencolok mungkin cek yang diberikan Ivan itu. Namun, Kelvin tak yakin apakah Ivan dan Maudy memang menyusun skenario tersebut.
“Kamu agak berbeda setelah pulang dari Bali dua minggu lalu,” ujar Anika blak-blakan. Mereka mulai menuruni tangga menuju lantai dua. Kata-kata Anika membuat tengkuk Kelvin seolah membeku. Kadang dia menilai bahwa Anika jauh lebih paranoid dibanding Maudy.
“Masa, sih? Aku merasa biasa saja,” Kelvin berlagak serius dengan alis bertaut. Tiba-tiba, seolah baru teringat sesuatu, dia berujar, “Ah, mungkin karena aku harus membuat proposal bisnis untuk Maudy. Sudah lewat beberapa minggu dan aku merasa masih jauh dari sempurna. Sampai harus direvisi berkali-kali. Siapa sangka kalau proposal itu ternyata cukup membebaniku? Aku tak mau mengecewakan Maudy. Aku juga tak ingin dia menolak.”
“Oh, begitu! Pantas saja,” respons Anika sambil tertawa kecil. “Aku ingat, Maudy sudah pernah membahas soal investasi untuk pusat kebugaran itu. Aku yakin, kamu pasti bisa membuat proposal yang tanpa cela. Maudy itu sangat percaya dengan kemampuanmu,” dia menyemangati. “Tak apa sedikit lebih lama asal hasilnya bagus.”
Kelvin menahan diri agar tak tertawa. Tanpa diberi tahu pun, dia sangat paham soal kepercayaan itu. Kalau tidak, mustahil Maudy bersedia menikahi Kelvin. Maudy sangat berhati-hati dan tergolong gampang mencurigai orang lain. Itulah sebabnya mereka tak memiliki pembantu, satpam, atau sopir di rumah.
Kelvin dan Maudy berbagi pekerjaan di rumah. Perempuan itu selalu menyiapkan sarapan. Kemampuan memasak istrinya itu patut mendapat komplimen. Mereka hanya makan malam di rumah sesekali, itu pun biasanya memesan makanan lewat layanan pesan antar. Kelvin mengurus masalah laundry. Keduanya berbagi tugas untuk masalah bersih-bersih rumah, tergantung siapa yang memiliki waktu luang.
Untuk masalah keamanan, Maudy tak mengenal tawar-menawar. Perempuan itu memastikan mereka tinggal di kompleks perumahan dengan keamanan yang bagus. Selain itu, Maudy juga memasang beberapa kamera CCTV di sekeliling rumah dengan layar monitor berada di kamar. Hidup bersama Maudy begitu teratur, mengikuti jadwal yang sudah disusun.
Paling tidak, sisi paranoid Maudy itu memberi pelajaran pada Kelvin. Dia mencontoh sikap sang istri saat diam-diam membeli apartemen yang letaknya tak terlalu jauh dari kantor Bag to Bag. Keamanan menjadi faktor utama meski itu berarti Kelvin harus merogoh kantongnya dalam-dalam. Dana yang tadinya dipersiapkan untuk masa depannya, terpaksa dipakai. Namun, Kelvin tak menyesal jika itu berarti dia bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama Elva. Apartemen itu dibelinya untuk sarang cinta mereka, kurang dari seminggu setelah kepulangannya dari Bali. Ya, Elva memberi impak sebesar itu padanya.
Di sisi lain, hal itu membuat Kelvin menderita sakit kepala parah belakangan ini. Sekarang, dia merasa rencana jangka panjangnya terlalu lama untuk diwujudkan. Dia sudah kian tak tahan hidup bersama Maudy. Rasa mualnya bertambah parah tiap kali berada di dekat perempuan itu. Apalagi saat dia harus menunaikan kewajiban sebagai seorang suami.
Yang diinginkan Kelvin hanya berpisah dari Maudy. Namun, dia tak bisa sepenuhnya mengabaikan masalah finansial. Cintanya pada Elva tak sebuta itu hingga harus menafikan hal penting yang sudah diincarnya sejak lama. Kelvin tahu, bercerai dengan Maudy saat ini, nyaris mustahil. Karena akan merugikan dirinya. Dia pasti tak akan mendapatkan apa pun kecuali terpaksa meninggalkan gaya hidup nyamannya selama ini.
Kelvin tak ingin kehilangan pekerjaannya di bag to Bag untuk saat ini. Apalagi, Maudy berniat mewujudkan mimpi lamanya, mengelola pusat kebugaran. Mana mungkin Kelvin melepaskan semuanya begitu saja meski demi Elva sekalipun?
Ponsel Kelvin berbunyi. Dia buru-buru meraih telepon genggamnya dari saku jas. Nama yang tertera di layar adalah Robby. Nama yang sengaja digunakan Kelvin untuk menyamarkan identitas perempuan yang dicintainya. Meski Maudy tak pernah mengecek ponsel dan dompetnya, lelaki itu hanya ingin berjaga-jaga. Panggilan telepon itu membuat Kelvin dipenuhi perasaan bahagia yang meluap-luap. Dia meminta izin pada Anika untuk menerima panggilan itu sebelum berderap ke arah ruang kerjanya.
“Kapan kamu datang ke sini, Sayang?” tanya Elva dengan suara manja yang membuat Kelvin mendadak bergairah. Lelaki itu menutup pintu dengan dada berdegup kencang. “Kamu memintaku pindah ke apartemen ini, tapi sudah tiga hari kamu tak mampir,” rajuknya.
“Aku baru saja ingin meneleponmu tapi kamu sudah mendahului,” balas Kelvin.
“Itu karena aku lebih merindukanmu,” sahut Elva.
Kelvin sungguh ingin mencium bibir kekasihnya hingga mereka kehabisan napas. Namun, dia harus berkonsentrasi saat ini. Toh, dia hanya perlu menunda hingga beberapa jam lagi. Katanya, “Aku akan sampai sekitar pukul enam.”
“Serius? Aku akan memasak makan malam yang tak akan pernah kamu lupakan,” cetus Elva dengan antusias. “Sumpah!”
“Aku percaya,” kata Kelvin. Ya, itu pengakuan yang jujur. Elva selalu mengejutkannya tiap kali mereka bertemu. Itulah sebabnya Kelvin kian terikat pada perempuan itu.
Kelvin benar-benar tak sabar menunggu jam pulang kantor tiba. Satu hal yang disukainya dari Maudy, perempuan itu tak pernah mengajukan protes jika Kelvin ingin bertemu teman sepulang kerja. misalnya. Maudy memberinya cukup kebebasan. Mungkin karena perempuan itu cukup sibuk dan hampir selalu memiliki janji temu dengan keluarga, teman, atau klien.
Hari itu, Maudy dan Anika meninggalkan Bag to Bag lebih dulu karena harus bertemu dengan calon pemasok bahan baku tas. Pertemuan itu tergolong mendadak karena Maudy tak sempat menyinggung hal itu saat bertemu Kelvin tadi. Alhasil, saat Kelvin kembali ke lantai tiga untuk memberi tahu istrinya bahwa dia akan bertemu dengan teman kuliahnya yang datang dari Bogor, Maudy sudah tak ada di ruangannya.
Kelvin melihat masih ada dokumen di meja kerja istrinya yang biasanya selalu kosong sebelum perempuan itu pulang. Karena tak ada Anika yang biasa membereskan hal semacam itu, Kelvin yang merapikan beberapa map dan tumpukan kertas, lalu dimasukkan ke dalam laci teratas. Saat itulah Kelvin menemukan polis asuransi jiwa atas nama Maudy yang tertanggal beberapa minggu silam. Dia terpana melihat namanya tertulis sebagai penerima manfaat jika pemilik polis meninggal dunia. Kelvin terperenyak karena tak pernah mengira Maudy memiliki kepercayaan sebesar itu padanya.
Mendadak, jantung Kelvin berdegum-degum. Lelaki itu menghela napas panjang beberapa kali untuk menenangkan diri. Dia terpikirkan satu hal, tapi memutuskan memberi waktu pada diri sendiri untuk mencerna semuanya dengan kepala dingin.
Kelvin menyempatkan diri menelepon istrinya sebelum meninggalkan Bag to Bag. Dia mengabari Maudy akan pulang telat hari ini. Setelah itu, yang dilakukan Kelvin sebelum mendatangi apartemen yang sekarang ditempati oleh Elva, mampir ke toko ponsel. Barulah kemudian dia menemui perempuan yang dicintainya setengah mati.
Seperti biasa, saat menuju apartemen di lantai tujuh belas itu, Kelvin sangat berhati-hati. Dia memastikan tak bertemu dengan orang-orang yang dikenalnya, sebelum masuk ke lift. Jantung Kelvin berdebar-debar begitu kencang saat menuju unit berkamar satu yang ditinggali Elva itu. Dia mirip remaja bodoh yang sedang dimabuk kepayang.
“Aku memasak makan malam yang enak untukmu, Sayang. Tapi, sebelumnya, aku cuma ingin tahu. Apa kamu suka sepatuku?” Elva bersuara, begitu Kelvin menutup pintu.
Kelvin berbalik. Perempuan itu berdiri di ambang pintu kamar dengan tangan kiri berada di pinggang. Kedua kakinya yang dibalut sepatu stiletto berwarna merah menyala, diposisikan dengan pose luar biasa menggoda. Tubuh Elva tak ditutupi sehelai benang pun!
-Bersambung-
Baca bab selanjutnya: The Blacklust – Chapter 5
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
Tim Dalam Artikel Ini
Indah Hanaco adalah penulis 53 buah novel. Indah sangat suka menulis novel bertema romance dengan isu kesehatan mental atau kekerasan yang dialami perempuan. Info tentang karya-karya Indah bisa dicek di akun Instagram @indah_hanaco.