Hari ini Kelvin dan Maudy merayakan anniversary pernikahan pertamanya. Satu hari berjalan penuh dengan gula-gula cinta, menunjukkan keduanya sebagai pasangan paling bahagia sedunia. Namun, tak ada yang tahu apa yang berlarian di benak Kelvin sesungguhnya.
***
Siapa bilang cinta itu buta? Untuk orang bodoh, mungkin memang begitu. Namun, prinsip itu sama sekali tak berlaku bagi Kelvin Feisal. Cinta bisa menjadi sesuatu yang rasional, memenuhi hukum sebab dan akibat. Tak selalu menjadi hal yang mustahil dijelaskan.
Kelvin membuka mata di pagi itu dengan setumpuk agenda yang langsung memenuhi kepalanya. Mungkin, hari ini akan menjadi salah satu hari tersibuk sepanjang tahun baginya kendati tak berkaitan dengan urusan pekerjaan. Karena dia harus melakukan beberapa hal demi memastikan Maudy, istrinya, tak akan melupakan momen ini. Alasannya simpel saja. Mereka merayakan ulang tahun perkawinan untuk pertama kalinya.
Bisa dibilang, Kelvin sudah menunggu-nunggu momen ini. Dia telah menyiapkan beberapa hal dalam kurun waktu satu minggu terakhir. Namun, tentu saja Kelvin melakukannya dengan diam-diam. Karena dia ingin memberi kejutan pada sang istri.
Sayang, paginya tak sesempurna harapan. Sebab, saat baru selesai mandi, Kelvin mendapat telepon dari sahabatnya semasa SMA, Ari. Sebenarnya, dia tak ingin menjawab panggilan itu. Kelvin bahkan tak tahu alasannya masih menyimpan nomor ponsel Ari yang tak pernah ditemuinya sejak lima tahun silam. Ari sudah terlibat dalam berbagai aktivitas kriminal yang membuatnya keluar masuk penjara beberapa kali.
Namun, mengingat masa lalu mereka, Kelvin memutuskan untuk bicara sebentar dengan Ari. Bagaimanapun, lelaki itu yang sudah menemaninya melewati masa-masa di SMA yang cukup berat bagi Kelvin. Karena dia harus meninggalkan kota kelahirannya dan tinggal di rumah pamannya dari pihak ayah di Bogor, untuk melanjutkan sekolah. Ari yang berasal dari keluarga kaya, banyak membantu Kelvin yang hampir selalu menjadi orang terakhir yang membayar SPP atau membeli buku pelajaran. Kelvin selalu mengira Ari nantinya akan menjadi orang sukses, apa pun pekerjaannya. Sayangnya, ketergantungan pada narkoba sudah membuat hidup Ari berubah drastis.
“Halo, Ri, apa kabar?” Kelvin berbasa-basi. “Kamu sekarang tinggal di mana?”
Kelvin mendengar suara tawa Ari yang sangat dikenalnya. “Kabarku baik, Vin. Aku baru keluar dari penjara dua hari yang lalu,” sahutnya dengan nada ringan, seolah sedang memberi tahu tentang sesuatu yang sama sekali tak penting. “Aku masih di Bogor. Kamu sendiri, apa kabar? Kudengar, kamu sudah menikah dan sekarang jadi konglomerat.”
Kelvin tersenyum masam. “Aku memang sudah menikah, tapi belum terlalu lama. Info yang kamu dengar itu sangat salah. Aku belum menjadi konglomerat,” ralatnya.
Mereka menghabiskan waktu selama kurang dari lima menit lagi untuk bertukar kabar berbalut basa-basi. Kelvin benar-benar lega setelah Ari menutup panggilan telepon itu. Siapa sangka, mengobrol sebentar dengan teman lama yang sudah berubah menjadi pelaku kriminal dengan kejahatan perampokan dan pencurian itu membuatnya berkeringat dingin? Kelvin bergidik membayangkan mantan sahabatnya yang sudah berubah drastis.
Dia tidak merasa takut pada Ari, tapi terlalu merasa takjub karena temannya berubah sedrastis itu. Pemikiran itu membuat Kelvin sempat terpana. Mungkin, Ari pun memiliki pandangan yang sama jika tahu sudah sejauh mana Kelvin berubah.
Setelah berpakaian, Kelvin tak mau tetap bertahan di kamarnya. Pagi ini, dia memiliki misi khusus untuk sang istri. Karena itu, dia segera menyusul ke dapur. Dia yakin, istrinya sedang berada di sana untuk menyiapkan sarapan seperti kebiasaannya selama ini.
“Selamat pagi, Vin,” sapa Maudy saat melihat Kelvin memasuki dapur. Perempuan itu tampak cantik meski hanya mengenakan kaus dan celana pendek. Maudy sedang menaruh sebuah piring yang dipenuhi wafel ke atas meja. Aroma makanan itu memenuhi seantero dapur.
“Pagi, Sayang,” balas Kelvin mesra. Dia mendekat ke arah Maudy untuk mencium bibir istrinya sekilas. Perempuan itu selalu bangun lebih pagi darinya. Tiap kali Kelvin bergabung di dapur setelah selesai mandi, Maudy sudah menyiapkan sarapan untuk mereka berdua.
Seharusnya, Maudy tak perlu melakukan itu semua. Toh, Kelvin bukan tipe pria yang harus dilayani. Sejak SMA dan harus menumpang di rumah pamannya, dia sudah terbiasa mengurus dirinya sendiri. Namun, Maudy memang perempuan yang hebat dan serbabisa. Meski memiliki jabatan mentereng sebagai CEO sebuah produsen tas terkenal bernama Bag to Bag, Maudy tak pernah melalaikan kewajibannya sebagai seorang istri.
“Selamat hari ulang tahun perkawinan. Tak terasa, sudah berlalu satu tahun sejak penikahan kita. I love you, Wifey,” bisik Kelvin di telinga kiri istrinya. “Rasanya baru kemarin kita melewati proses menyiapkan resepsi yang begitu merepotkan itu,” canda Kelvin. Tangannya terulur untuk memeluk pinggang sang istri.
“I love you more, Hubby. Persiapannya memang merepotkan tapi momennya tak terlupakan,” balas Maudy dengan mata dipenuhi binar. “Kukira kamu lupa kalau ini istimewa untuk kita berdua. Karena biasanya laki-laki mengabaikan hal-hal semacam ini. Iya, kan?” Maudy melingkarkan kedua lengannya di leher Kelvin.
“Aku mungkin bukan laki-laki paling romantis di dunia ini. Tapi, sudah pasti aku tidak akan lupa pada hari bersejarah seperti ini,” akunya. “Aku minta maaf ya, Dy. Karena tidak membelikan kado apa pun untukmu. Jujur, aku bingung harus memberimu hadiah apa.” Kelvin menatap Maudy sembari mengedipkan mata kanannya. “Tapi, aku sama sekali tak keberatan menghadiahi diriku sendiri padamu.”
Maudy tertawa. “Menghadiahkan dirimu sendiri, ya? Bisa tunjukkan contohnya padaku? Supaya aku bisa bekerja tanpa merasa penasaran setengah mati.”
“Oh, tentu saja, Sayang.” Kelvin menarik sang istri ke arahnya sebelum kembali mencium bibir Maudy. Kali ini, bukan berupa kecupan singkat belaka. Melainkan jenis ciuman penuh gairah yang membuat darah keduanya memanas dan jantung seolah hendak meledak.
Setelah yakin bahwa pemanasan yang mereka lakukan sudah lebih dari cukup, Kelvin pun membopong istrinya yang mungil itu tanpa kesulitan berarti. Dia melangkah meninggalkan dapur dengan lengan Maudy masih melingkari lehernya.
“Wafelnya—”
Kelvin menukas, “Wafelnya bisa menunggu, Sayang. Sekarang, aku ingin menepati janjiku tadi. Yaitu, menghadiahi diriku sendiri padamu.”
Kelvin kembali mengecup bibir sang istri. Diam-diam dia bersyukur karena tak ada orang lain yang berada di rumah ini kecuali mereka berdua. Mereka memutuskan tak menggunakan jasa asisten rumah tangga atas permintaan Maudy. Perempuan itu lebih suka mengurus segalanya sendiri, selain karena ada alasan lain yang cukup dipahami Kelvin.
Pagi itu, tak akan ada yang membantah bahwa udara di rumah Kelvin dan Maudy itu dipenuhi dengan cinta. Terutama setelah mereka selesai saling memuja di kamar utama. Kelvin melirik istrinya yang berbaring menelentang dengan tubuh ditutupi selimut tipis. Mata Maudy terpejam, tapi ekspresi bahagianya tak bisa disembunyikan.
“Terima kasih, Vin. Hadiah ulang tahun pernikahan darimu, sungguh luar biasa,” puji Maudy. Perempuan itu bergeser, mendekat ke arah sang suami. Tangan kanannya terulur untuk memeluk pinggang Kelvin. “Aku tak ingin ke mana-mana. Kalau bisa, cuma ingin seharian di ranjang ini bersamamu. Tapi sayangnya itu mustahil. Karena ini hari Senin dan kita harus bekerja seperti biasa.”
“Kalaupun bisa membolos, kamu pasti tak ingin melakukannya,” sahut Kelvin. “Kamu terlalu mencintai Bag to Bag.” Dia mengecup kening Maudy. “Sebentar, aku harus ke toilet dulu,” pamitnya. Kelvin beranjak dari ranjang dengan gerakan hati-hati. Mereka masih punya waktu sekitar setengah jam sebelum bersiap untuk berangkat ke kantor.
Lelaki itu menyeberangi kamar utama yang luas itu dengan langkah-langkah panjang. Tujuannya adalah kamar mandi yang masih berada di ruangan yang sama. Setelah menutup pintu, Kelvin buru-buru berjongkok.
Dia membuka kabinet yang berada tepat di bawah wastafel. Kabinet itu berisi handuk berbagai ukuran yang semuanya berwarna putih. Tangan kanan Kelvin menjangkau ke dalam untuk meraih keranjang kecil yang sengaja disembunyikannya di balik tumpukan handuk.
Kelvin memeriksa keranjang itu dengan perasaan puas. Benda itu masih tampak sesempurna tadi malam, saat diambil oleh Kelvin dari sebuah toko yang menangani pesanannya. Di dalamnya, sudah tersedia satu set perhiasan yang dirancang Kelvin secara khusus untuk istrinya. Juga sebuah buku memori yang dipesannya.
Buku itu berisi foto-foto mereka berdua sejak berpacaran selama dua tahun, juga saat mereka melewati momen-momen istimewa sejak menikah. Tiap foto dilengkapi dengan catatan detail yang berisi kata hati Kelvin. Tentunya, demi mendapatkan hasil sempurna, semua foto itu dipilih Kelvin dengan hati-hati. Dia bahkan sampai terserang migrain saat memelototi satu demi satu potret yang mengabadikan kebersamaannya dengan Maudy.
Kelvin meninggalkan kamar mandi sambil membawa kado cantik untuk istrinya yang masih berbaring di ranjang dengan mata setengah mengantuk. Melihat tangan suaminya memegang keranjang yang ditata menarik, Maudy menegakkan tubuh. Tangan kanannya memegang selimut yang menutupi dadanya.
“Apa itu, Vin?” tanya Maudy dengan senyum merekah. “Tadi kamu bilang tidak membelikan kado apa pun untukku.”
“Aku memang sengaja berbohong,” aku Kelvin. Lelaki itu duduk di bibir ranjang. Kedua tangannya terulur ke arah Maudy. Perempuan itu menyambut keranjang yang disodorkan oleh suaminya. “Sekali lagi, selamat hari ulang tahun perkawinan, Sayang. Semoga kamu selalu bahagia bersamaku.”
Mata Maudy berkaca-kaca. “Tentu saja aku bahagia bersamamu, Vin. Kamu adalah suami terbaik yang diberikan Tuhan padaku.”
Kalimat Maudy itu terngiang di telinga Kelvin selama beberapa waktu. Seharusnya, dia merasa bersalah. Namun nyatanya tidak. Mungkin karena Kelvin sudah kebal. Atau karena laki-laki itu sudah terlalu lama membunuh hati nuraninya sendiri.
“Aku tak sehebat itu,” respons Kelvin. Dia membiarkan Maudy membuka hadiahnya dan tampak benar-benar menyukai apa yang dipilihkan oleh Kelvin.
ADVERTISEMENTS
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!