Dimulai dengan tiga alasan saya menyukai Lorde.
Pertama, suaranya. Adele tak mungkin tak jadi penyanyi dengan suara yang ia miliki, Amy Winehouse punya suara yang sendawa saja mungkin bikin merinding, tapi adalah suara Lorde yang membuat saya terpikat berkali-kali. Suaranya berlapis-lapis, bergema, seakan beberapa corak bunyi digabung menjadi satu. Ada suara husky yang merdu, ada suara remaja baru puber, dan ada suara serak marah yang grungy. Pertamakalinya saya bisa pakai diksi “canggih” untuk mendeskripsikan suara manusia. Seperti ada perangkat efek yang dipasang di tenggorokannya.
Kedua, Lorde punya persona yang keren. Bukan cantik, anggun, atau seksi, tapi keren. Pertama kali gadis belia bernama asli Ella Yelich-OÇonnor ini muncul ke permukaan dengan kostum hitam bak penyihir, rambut mengembang, kulit wajah remaja pucat, dan riasan gothic, terpaksa musiknya harus bagus agar tidak berakhir norak. Untungnya kenyentrikan itu dibarengi dengan mutu. David Bowie menyebutnya sebagai masa depan musik pop, sementara Dave Grohl begitu senang putrinya mendengarkan Lorde dibanding penyanyi pop lain.
Lorde disebut sebagai antitesis dari para artis pop, karena ia bukan Miley Cyrus tidak menjual paha mulus atau sensasi selebriti. Dari Selandia Baru, ia datang membawa musik pop elektronik minimalis yang belum jamak, disertai lirik intelek berkesadaran kelas yang menyindir gaya hidup borjuis hedonis. Ibunya yang merupakan seorang penyair ternama mungkin mewariskan talenta itu, tapi tetap saja usianya masih 16 tahun– bisa dibayangkan ia belum boleh masuk konser acara rokok–sewaktu merilis lagu terbesar di tahun 2013.
Ketiga, alasan yang amat personal. Saya cenderung lebih mudah tertarik pada perempuan yang (terlalu luas untuk menyebutnya introver) tampak punya sisi murung dalam dirinya. Perempuan yang seakan memendam gelisah dan amarah sehingga membuat kita ingin dekat dan berupaya menjadi pencerah (mungkin saya ada bakat menjadi nabi). Potret ini sangat lekat di Lorde, baik secara sosok maupun karyanya. Musiknya muram dan minimalis, banyak ruang sepi, ditambah lirik yang resah. Apa yang hebat dari lagu-lagunya adalah kita tetap bisa merasakan muram dan risau padahal musiknya sangat lantai dansa. Bahkan, di album kedua, Melodrama (2017) yang aransemennya semarak dan penuh warna saja nuansanya tetap terasa gundah.
Kurang lebih begini metafora musik Lorde: seorang gadis tengah mengalami hari yang buruk, ia lalu pulang dan masuk ke kamarnya, mengunci pintu, menyetel musik dance, lalu berjoget-joget sendirian sambil membayangkan bahwa ia dikelilingi banyak teman.
Dan seperti itulah saya jatuh hati padanya.
Girang tak kepalang ketika mendengar Lorde masuk daftar artis penampil di gelaran We The Fest 2018, festival musim panas tahunan yang menjadi kumpulnya kawula muda gaul se-Tanah Air. Yah, semacam Coachella kalau di Amerika.
Bukan barang baru sebenarnya menonton artis internasional yang benar-benar saya suka (seperti ketika dulu “menyikat” Wolfmother, Black Rebel Motorcycle Club, The Smashing Pumpkins, dll.), tapi ini pertama kalinya saya menonton artis internasional yang saya suka di momen saya lagi suka-sukanya. Melodrama yang rilis tahun kemarin masih hangat-hangatnya, sementara Pure Heroine (2013) terus bertahan di koleksi CD dalam mobil. Ini juga pertamakalinya saya menonton solois Top 40. Dan sejauh ini cuma Lana Del Rey yang rasanya juga punya peluang membuat saya ngotot bersemangat menonton seorang penyanyi pop tunggal.
We The Fest 2018 digelar tiga hari di JIExpo Kemayoran pada pekan kemarin (21,22,23 Juli). Hari pertama menghadirkan Alt-J dan James Bay, lalu hari ketiga ada Vince Staples, Miguel, dan SZA. Sementara Lorde tampaknya benar-benar jadi gacoan di hari kedua–yang tiket daily pass–nya paling cepat laku–karena dibarengi nama-nama seperti Honne atau Odesza yang secara reputasi tak sebesar nama-nama sebelumnya. Dominasi daya tarik Lorde di hari kedua itu tampak salah satunya dari tren dandanan para penonton. Tak sedikit perempuan yang datang mengenakan celana training gombrong dan sport bra–kostum khas Lorde di panggung-panggung era album Pure Heroine—yang membuat JIExpo Kemayoran bisa dikira sedang dipakai untuk gelaran ASEAN Games dibanding konser musik.
Dari barisan nama-nama pengisi, Lorde memang pilihan wajib mengingat semesta musik We The Fest cukup tematik, yakni musik dengan sentuhan modern urban dan beat-beat elektronik. Misalnya Honne, yang tampil persis sebelum Lorde. Duo asal Inggris ini cukup mengejutkan saya karena ternyata banyak penonton yang kelihatan menggemarinya. Menjadi merasa agak terasing karena saya tidak menyukai penampilan mereka. Boljug-lah di rekaman karena atmosfer elektroniknya bisa terdengar mantap di kuping, tapi ketika disaingi atmosfer panggung outdoor, cuma menyisakan refrain-refrain dengan melodi ecek-ecek itu (baca: catchy tapi cepat terlupakan). Impresi yang membuat saya harus memendam opini senioritas khas mas-mas 90-an, “musik anak muda zaman sekarang begini ya, cemen. Dasar dekaden”.
Tepat 10.20 P.M, Lorde naik panggung dengan membawakan “Sober”, lagu kedua di album Melodrama. Ketika menonton konser artis favorit, biasanya akan ada lagu yang sebelumnya biasa saja tapi menjadi suka setelah menontonnya dibawakan secara live. Dalam konteks konser Lorde ini, “Sober” adalah lagu itu.
Setelah disusul “Homemade Dynamite”, Lorde memberikan sapaan perdananya ke Jakarta. “Terimakasih”, cukup klise sebenarnya melafalkan bahasa setempat tapi selalu berhasil menarik hati penonton. Apalagi saya mendapatkan kesan kerendahhatian dan antusiasme yang tak dibuat-buat di tiap sapaannya. Seperti artis baru yang masih girang-girangnya manggung di depan banyak orang.
Dibanding kebanyakan penyanyi pop dunia, lagu-lagu Lorde sejatinya tak mudah dinyanyikan secara sing along. Salah satu sebabnya karena ada pengaruh hip hop di lagu-lagunya, melodinya lincah, plus liriknya juga cenderung kompleks. Koor pertama baru terdengar ketika “Tennis Court” berkumandang. Refrain favorit saya ini punya larik yang jenius: “It’s a new art form showing people how little we care (yeah)”. Anjir, dia masih 15 tahun lho waktu bikin ini.
Selain musik, kita tak bisa mengabaikan pilihan busana sang penampil ketika sedang menonton konser musisi pop. Malam itu Lorde tak mengkhianati pilihan busana sporty dari penontonnya. Ia memakai sport bra yang dibungkus dengan jumpsuit berwarna pink semi-transparan. Asli, keren. Saya yakin banyak lesbian yang histeris. Begitu juga sederet portal daring udik yang menggunakan momen Lorde menurunkan bagian atas jumpsuit-nya karena kegerahan sebagai modal membuat artikel clickbait: “Kegerahan di Panggung, Lorde Buka Baju”
Sejak era album kedua, Lorde terpantau juga mulai beberapa kali menggunakan koreografi dalam performanya. Sebelumnya, ia terkenal dengan olah gerak energik tapi spontan semacam vokalis band, satu poin lagi yang membedakannya dengan mayoritas penyanyi pop perempuan lain. Malam itu, ia cukup intens unjuk kemampuan koreografis, di antaranya dengan adegan digotong ramai-ramai oleh penari latarnya di “The Louvre”.
Lantas, bagaimana bukan sebuah karunia ketika bisa mendengarkan suaranya telanjang hanya dengan dentingan kibor di “Liability”, satu-satunya balada yang dimiliki Lorde. Lagu yang pernah saya klaim sebagai salah satu lagu terbaik yang rilis di tahun 2017 ini punya lirik naratif yang miris. Perihal naratornya yang merasa tidak diinginkan, kesepian, hingga berilusi dihibur oleh cerminan dirinya sendiri. Jadi serasa ingin melayangkan *puk-puk* di tiap helaan napasnya.
Sementara lima lagu terakhirnya malam itu adalah deretan terbaik. Mulai dari “Supercut”, lalu disusul “Royals”. Yang ini adalah lagunya yang sampai sekarang masih wira-wiri di radio Indonesia. Bahkan, satu-satunya lagu Lorde yang pernah saya dengar di radio kita. Maka dari itu harus dimaafkan seorang teman yang mengira Lorde adalah artis one hit wonder. Padahal justru bukan lagu ini yang membuat saya terpukau awalnya. Kendati harus diakui “Royals” memang karya hebat yang sepadan dengan ganjaran Grammy Awards-nya. Benar-benar bertumpu pada liukan melodi vokalnya, bayangkan susahnya membuat lagu enak dengan cuma dimodali ketukan tipis-tipis seadanya itu. Liriknya lebih gila lagi, membuat “Royals” disebut sebagai lagu yang mewakili penolakan generasi millenial terhadap unsur materialistis yang diagung-agungkan oleh generasi sebelumnya. Dan meski sukar dinyanyikan, namun sing along tetap terjadi dengan aksen Indonesia yang kental dari penonton.
Usai “Perfect Places” yang anthemic, lagu favorit saya–dan sebagian besar penggemar Lorde–“Team” meluncur. Di lagu inilah adanya birama beracun yang menggoda kaki dan pundak untuk bergoyang menyambut repetisi “send the call out“, bersanding dengan refrain dahsyat. Di lagu ini, Lorde berhasil memindahkan perasaan teralienasi dari level pribadi menjadi lebih komunal lewat persoalan geografis. Agaknya tak cocok dinyanyikan orang Jakarta, lirik “We live in cities you’ll never see onscreen / Not very pretty, but we sure know how to run things“ relevan dinyanyikan oleh orang Cilacap sampai Merauke sana. Dan kita terkoneksi dengan Lorde, karena kita tahu ia pun muncul dari Selandia Baru sementara harus berkompetisi dengan artis papan atas asal kota-kota besar Amerika Serikat dan Inggris.
Konser diakhiri dengan “Green Light”, single pertama dari Melodrama. Lagu yang paling energik dan menghasilkan reaksi audiens yang paling energik juga malam itu. Jika dilihat sebagai narasi, segala ekspresi duka dan luka yang mendominasi sepanjang materi lagu Lorde yang dibawakan sebelumnya ditutup pecah dengan semangat move on yang meluap di lirik lagu “Green Light”.
Lorde bisa dibilang sedang dalam fase krusial di kariernya. Album keduanya, Melodrama disanjung-sanjung banyak media dan kritikus, tapi amat merosot secara penjualan dibanding album perdananya. Ia tengah mengalami dilema kualitas dan pasar.
Mengingat malam itu, saya tahu Lorde akan memilih yang mana.