Kalau ditanya siapakah orang yang paling nelangsa dan patah hati sedemikian sakit sepanjang tahun 2019, jawabannya tentu Didi Kempot. Dialah sosok yang memiliki hati sekuat semen karang, karena semenyiksa apa pun kisah cintanya, selalu berhasil dia rayakan bersama Sobat Ambyar di atas panggung.
Sobat Ambyar sendiri merupakan sekumpulan massa yang sepertinya memiliki pengalaman asmara yang sangat runyam. Dalam dendangan lagu-lagu Didi Kempot yang asyik-masyuk untuk njoget, mereka justru bergoyang dalam kesedihan atau bersedih dalam goyangan. Entahlah, yang jelas, mari kita menapak tilas perjalanan panjang nan berliku musisi campursari kondang Didi Kempot di tahun 2019 ini. Kuy!
ADVERTISEMENTS
Memulai karier sebagai pengamen di usia 18 tahun di Solo-Jogja-Jakarta-Suriname-Belanda (1988-1998)
Dinukil dari berbagai sumber, Didi Kempot mengaku memulai kariernya sebagai pengamen jalanan di usia yang sangat belia (18 tahun) di kota kelahirannya, Solo. Meski orang tuanya seorang pelawak yang cukup ternama di Solo, hal itu nggak membuat Didi Kempot menggantungkan dirinya pada popularitas sang ayah. Didi remaja memilih jalannya untuk bermusik dengan mengamen dari kota ke kota, hingga akhirnya dia merantau ke Jakarta pada tahun 1987 dengan gitar kesayangannya yang dia dapatkan dari hasil penjualan sepeda yang diberikan ayahnya.
Keputusan Didi merantau ke Jakarta menjadi awal perjalanan kariernya yang pasang-surut. Dengan modal gitar dan keyakinan, dia mengadu nasib menyusuri jalanan ibu kota. Dari trotoar ke trotoar, dari bus ke bus, dari terminal ke terminal, dia akhirnya bertemu dengan teman-teman seprofesinya, pengamen. Lantas nama Kempot pun lahir, yang merupakan akronim dari Kelompok Penyanyi Trotoar.
Dengan insting musisinya yang luar biasa, Didi Kempot mulai menulis lirik lagunya sendiri dan dari sinilah dia mulai memiliki keyakinan akan proses kreatifnya dalam bermusik. Hingga akhirnya dia coba merekam beberapa lagu ciptaannya dengan menggunakan tape recorder dan dia kirim ke dapur rekaman. Proses ini pun nggak semulus yang diharapkan. Tapi keteguhan hati dan doa orang tuanya, Didi Kempot berhasil masuk TV. Tahun 1990-an masuk TV itu udah keren banget lo!
ADVERTISEMENTS
Menciptakan lagu yang dekat dengan masyarakat; jatuh cinta, patah hati, dan tempat-tempat ‘bersejarah’
Didi Kempot mengaku, menciptakan lagu bisa memakan waktu sejam hingga dua hari. Bukan masalah waktu, melainkan bagaimana cara Didi Kempot mampu menyihir lirik berbahasa Jawa itu menjadi berterima di masyarakat luas. Meski pada awal kariernya lagu-lagunya seperti “Cidro” nggak begitu laku di Indonesia—justru laku di Belanda dan Suriname, tapi kini hampir seluruh lagu hits Didi Kempot digemari semua lapis masyarakat Indonesia.
Saya memilih tema lagu yang deket dengan masyarakat. Patah hati semua pernah mengalami. Kata-kata yang dipilih juga yang mudah dipahami.
Seperti memiliki kedekatan dengan penggemarnya, Didi Kempot paham betul arti kehidupan asmara. Semua orang pasti pernah patah hati, sakit hati, diselingkuhi, nggak mendapat restu dari orang tua pacar, perpisahan yang terpaksa, hingga hal-hal menyakitkan lainnya. Semua pengalaman dan imajinasi ini dia rangkum menjadi sebuah lirik nan magis yang sanggup menyihir penggemarnya seakan mereka mengalami sakit yang sama.
Toh, pada dasarnya memang strategi marketing seperti ini laku keras di pasaran sih, ya. Kendati tren pasar berubah-ubah, tapi lagu yang memang memiliki kedekatan dengan pendengar akan selalu abadi. Seperti patah hati yang senantiasa lekat dengan setiap manusia~
ADVERTISEMENTS
Kehilangan taji di era media sosial, meroket di tahun 2019 berkat media sosial juga. Hingga lahirlah Sobat Ambyar yang berdarah-darah sakitnya~
Setelah kariernya melejit di tahun 90-an hingga 2000-an, Didi Kempot mulai kehilangan tajinya di era digital. Bisa dipastikan, anak zaman sekarang nggak ada yang tahu Didi Kempot. Paling cuma beberapa lagunya aja, itu juga mereka pasti nggak tahu siapa penyanyi aslinya. Wajar, anak zaman sekarang lebih banyak menikmati musik-musik indie.
Suatu hari di pertengahan tahun 2019, seorang warganet bernama Jarkiyo membagikan sebuah video konser Didi Kempot di Taman Balekambang Kota Solo ke media sosial. Tanpa berharap apa pun, tiba-tiba video tersebut viral karena akun @AgusMagelangan membuat utas panjang tentang Didi Kempot dengan video yang direkam oleh Jarkiyo. Agus Magelangan pun lantas membuat julukan “Godfather of Broken Heart” untuk Didi Kempot. Sementara untuk para penggemarnya, ada sebutan “Kempoters”, “Sadbois” untuk cowok, dan “Sadgirls” untuk cewek.
Nggak butuh waktu lama, seorang penyiar Gofar Hilman dengan konten YouTube-nya “NGOBAM” (Ngobrol Bareng Musisi), menggaet Didi Kempot untuk berkolaborasi secara offline untuk kali pertama. Barulah kemudian dari sana bisa kita ketahui bahwa begitu banyak penggemar Didi Kempot yang notabenenya bukan generasi baby boomer, melainkan anak-anak muda.
Kalau sudah begini, rasanya era digital menjadi kawan dan lawan bagi Didi Kempot. Sebelumnya Lord Didi kehilangan tajinya karena kemunculan musisi-musisi muda yang melek akan teknologi (dan pemanfaatannya), lalu berkat teknologi juga, Lord Didi seperti terlahir kembali dengan ketenaran yang lebih masif. Jangan lupakan jasa anak-anak muda yang membawa Didi Kempot menjadi trending topic berulang kali di media sosial.
Salam ambyar, Lur!