Dalam beberapa hari terakhir, dunia entertaiment Indonesia dikejutkan oleh adanya tindakan sensor yang dilakukan oleh pihak stasiun TV yang menyiarkan tayangan ulang kontes kecantikan Putri Indonesia 2016. Jelas saja banyak orang Indonesia yang kaget, yang disensor hanyalah gambar para putri tercantik negeri ini yang tengah mengenakan Kebaya. Iya, kebaya. Hal ini kembali memicu perdebatan di kalangan anak muda, terutama pecinta industri entertaiment Indonesia.
Kamu tentu masih ingat tentang kisah Shizuka dan Sandy yang juga terkena imbas dari regulasi sensor yang diterapkan oleh stasiun TV Indonesia. Padahal dua karakter tersebut adalah karakter kartun, loh. Sandy bahkan karakter yang notabene “bukan” manusia melainkan tupai. Tapi toh tetap saja terkena sensor.
Nah, kali ini Hipwee sudah mewawancarai beberapa anak muda nih tentang bagaimana sensorship di Indonesia. Penasaran bagaimana respon mereka? Yuk disimak saja~
Sensor yang ada pada TV Indonesia itu lebay. Meski perlu, tapi harusnya tak harus sampai bikin Sandy blur juga kan
“Sumpah gue ngakak. Masa Shizuka sama Sandy di-blur juga, sih. Orang-orang di lembaga sensor ini lebay banget. Wong ya kartun loh ini. Siapa juga yang bakal horny meski lihat Sandy telanjang. Hahahaha”
~ Sadewo, 22 Tahun
Memang sih agak absurd juga kejadian blur yang dialami oleh Sandy. Dia bukan manusia, bukan juga karakter manusia. Eh, tapi tetep kena blur juga. Kasihan si Sandy. Hehe
Sensor dalam TV itu nggak bermutu. Kebaya kan budaya lokal, masa iya sampai disensor hanya karena yang seperti itu saja
“Gue gak tau jalan pikiran tukang sensor itu. Kebaya itu budaya lokal Indonesia. Masa harus disensor hanya gara-gara bagian dada atas terbuka sedikit, sih. Kan emang kebaya itu modelnya gitu.”
~ Erlina, 23 Tahun
Kebaya adalah budaya lokal Indonesia yang sudah sepatutnya kita banggakan. Eh, ini malah disensor hanya gara-gara masalah seperti itu doang. Padahal kan, otak orang Indonesia gak sengeres itu juga kali. 😛
Sensor menyeluruh dan tak pandang bulu dari lembaga sensor juga perlu didukung, loh
“Sebenarnya gue setuju dengan sensor di kartun itu. Kalau dengan alasan itu kartun maka gak perlu kena sensor, ntar lama- lama anime dengan gambar yang lebih terbuka bisa masuk seenaknya di Indonesia. Semuanya butuh pengawasan yang kuat. Kan demi moral bangsa juga”
~ Tika, 27 Tahun
Iya juga sih, ya.
Daripada ada sensor tapi gak adil, mending gak usah ada sensor sekalian
“Oke. Gue bakal setuju dengan adanya sensor saat semua sinetron juga dapat sensor yang sama. Masa batik Putri Indonesia disensor tapi pemeran cantik sinetron yang pamer paha dan kemesraan malah dibiarin aja. Ya jelas gak adil banget lah itu.”
~ Ragil, 25 Tahun
Anak muda Indonesia menuntut keadilan sensor!
Selain sensor, ban yang dilakukan oleh KPI terasa agak berat sebelah. Dimana Dragon Ball dicekal tapi sinetron balap liar malah boleh tayang
“Ini yang gue gak terima. Dragon Ball dicekal tapi GGS dan Sinetron Anak Jalanan masih aja tayang. Logikanya gimana orang KPI ini?! Mana ada anak-anak menyakiti dengan kamehameha? Yang banyak adalah anak-anak jadi makin rusak moral karena kebanyakan nonton adegan terlampau mesra dari sinetron gak jelas itu”
~ Rois, 23 Tahun
Sebaiknya memang sensor yang diberikan oleh lembaga sensor tidak pandang bulu. Kalau hal-hal seperti Puteri Indonesia dan Kartun aja kena sensor, harusnya sinetron juga kena sensor juga dong.
Yang bikin lucu, bahkan sampai senjata pun disensor. Padahal meski disensor tetap aja anak-anak tau bahwa itu senjata tajam
“Gue gak habis pikir sama orang KPI. Putri Indonesia disensor. Kartun disensor. Sekarang malah senjata juga ikutan disensor. Senjatanya salah apa, pak – bu? Toh meski disensor juga anak-anak tau kalau itu senjata. Dengan arahan yang baik dari orangtua, mereka juga tau kalau senjata itu tidak boleh digunakan sembarangan. Anak Indonesia itu cerdas kok”
~ Wanda, 21 Tahun
Masyarakat Indonesia nggak se-ngehe itu kok. Tak perlu lah melakukan sensor berlebihan terhadap Putri Indonesia dan Shizuka
“Lha dikira kita kelewat polos kali ya sampek butuh sensor lebay gitu. Anak-anak Indonesia cukup cerdas kok untuk tau bahwa Shizuka, Sandy dan Putri Indonesia itu bukan penyebab buruknya moral. Sensornya jadi gak guna deh.”
~ Dita, 24 Tahun
Mungkin pihak KPI atau LSF mengira bahwa pemuda-pemudi Indonesia ini masih polos-polos sehingga perlu diberikan sensor yang menyeluruh. Tapi sebenarnya ya lebay gini juga, sih. Hehe
Yang gak pakai baju emang perlu disensor sih. Tapi ya gak sampai hewan juga kena sensor kan ya…
“Oke, fine. Kalau emang ada cewek-cewek cakep pake bikini doang sih wajar kalau kena sensor. Urusan kartun kalau emang gak cocok dengan budaya lokal ya boleh lah disensor asal gak lebay. Emang gak cocok kan di budaya lokal kita. Tapi ini sampai hewan loh kena sensor juga. Apa ya masih bisa bilang wajar?”
~ Lintang, 23 Tahun
Ini lho juga gak masuk akal. Sampai hewan juga kena sensor ini apa-apaan, sih.
Sensor yang dilakukan oleh lembaga sensor malah bikin penasaran. Ujung-ujungnya browsing sendiri kan di Internet
“Anak kecil kan rasa penasarannya tinggi. Jadi gue rasa sensor yang diterapkan malah semakin ngomporin rasa penasaran mereka. Ujung-ujungnya browsing sendiri dan malah jadi gak terarah”
~ Riza, 23 Tahun
Sebenarnya sensor sekenanya yang sekarang dipakai oleh lembaga sensor ini malah menimbulkan rasa penasaran bagi anak-anak yang melihat. Ujung-ujungnya malah mereka browsing sendiri tanpa pengawasan.
Nah, itu tadi beberapa pendapat dari teman-teman anak Indonesia. Memang tak mewakili setiap pendapat yang ada sih. Tapi kiranya bisa lah untuk acuan sudut pandang yang berasal dai anak muda Indonesia. 🙂