Sementara kenyataan HAM baru saja diputarbalikan dalam pidato sidang ke-71 PBB oleh pernyataan yang dilontarkan oleh diplomat muda Indonesia beberapa waktu silam, seorang pejabat urusan HAM di negeri ini malah melibatkan diri dalam kasus remeh temeh yang mencuat pada tanggal 4 Oktober lalu. Kali ini tentang Dirjen HAM yang menuntut pemilik Laundry kiloan untuk membayar ganti rugi sebesar 210 juta rupiah.
Kiranya apa masalah yang sampai memunculkan persoalan hukum dengan angka tuntutan yang fantastis itu?
ADVERTISEMENTS
Gugatan dilayangkan oleh Mualimin Abdi kepada Budi Imam atas jas dan batiknya yang susut setelah dicuci lewat jasa laundry
Permasalahan dimulai dari Mualimin Abdi, Dirjen HAM, merasa dirugikan karena jas dan batiknya yang di-laundry di Fresh Laundry menjadi susut dan tidak rapi. Menurut peraturan Laundry sendiri, apabila jas susut, akan dilakukan ganti rugi sebesar sepuluh kali lipat dari tarif Laundry, alias 350 ribu. Namun Pak Dirjen tidak terima, dan memilih jalur hukum dengan mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 24 Agustus 2016 dengan tuntutan sebesar 10 juta untuk gugatan materi dan 200 juta untuk gugatan immateri. Sebuah angka yang sungguh fantastis, yang hanya diawali oleh layanan laundry yang tidak memuaskan.
ADVERTISEMENTS
Sehari sebelum sidang, Budi Imam mengunggah status di laman Facebooknya tentang gugatan Pak Dirjen, membuat kasus ini menjadi viral
Awalnya, kasus ini tak diketahui oleh publik. Sampai akhirnya pada tanggal 4 Oktober 2016, pemilik Fresh laundry mengunggah status di akun Facebooknya yang intinya meminta doa serta dukungan karena akan menghadapi persidangan pertama untuk kasus gugatan dari Mualimin Abdi pada esok harinya, tanggal 5 Oktober 2016. Begitulah perkembangan teknologi yang terkadang memuai sampai membuat ngeri. Kasus itu menjadi viral di media sosial dan menuai banyak kontroversi.
ADVERTISEMENTS
Setelah mengaku tak bisa tidur dua hari dua malam, Pak Dirjen mengklarifikasi bahwa gugatannya sudah dicabut setengah jam setelah sidang pertama. Serta meminta: “Sudah, tak usah diperpanjang…”
Pada persidangan pertama yang digelar 5 Oktober 2016, hakim mengarahkan untuk mediasi sebelum persidangan dilanjutkan. Akhirnya, setelah proses mediasi, kedua belah pihak sepakat untuk berdamai setengah jam setelah sidang pertama digelar. Selaku pemilik laundry, Budi Imam meminta maaf atas layanannya yang tidak memuaskan. Sementara Mualimin Abdi bersedia mencabut tuntutannya serta mengikhlaskan jas dan batiknya yang susut tanpa ganti rugi.
Tanggal 10 Oktober 2016, Mualimin Abdi membuat klarifikasi tentang kasus tersebut serta minta maaf kepada masyarakat atas gugatannya yang dinilai ‘kurang tepat’. Dirjen HAM kita ini juga mengaku bahwa viralnya gugatan yang dia layangkan membuatnya tidak bisa tidur dua hari dua malam, dan meminta agar media tidak lagi memperpanjang masalah yang sudah selesai ini.
ADVERTISEMENTS
Mualimin Abdi heran mengapa gugatannya kepada tukang laundry dikaitkan dengan jabatannya sebagai Dirjen HAM. Tak ada maksud memiskinkan, hanya sekadar memberi pelajaran
“Gugatan itu saya layangkan dengan tujuan untuk memberikan pelajaran bagi masyarakat, yang dirugikan orang lain maka lakukan jalur hukum.” kata Mualimin seperti yang dilansir dari kompas.com
Dalam konferensi pers yang digelar tanggal 10 Oktober, Mualimin Abdi menyatakan dirinya heran mengapa gugatan yang dia layangkan kepada pemilik Laundry yang tidak profesional malah dikait-kaitkan dengan jabatannya sebagai Dirjen HAM. Padahal, menurutnya, gugatan yang dikirimkan atas nama pribadi tanpa menyertakan jabatan yang dia miliki. Dan pun tidak menyalahi aturan sebab sebagai warga negara berhak untuk memperjuangkan haknya.
“Saya juga punya niat kalau sudah saling minta maaf akan mencabut gugatan. Kemudian gugatan atas nama pribadi tidak bawa nama jabatan.”
Mualimin juga menyatakan bahwa dirinya tidak berniat untuk memiskinkan pemilik laundry mengingat ia sendiri juga tahu berapa keuntungan maksimal setiap bulannya. Gugatan itu hanya dimaksudkan sebagai sebuah pelajaran, bahwa seseorang tidak bisa begitu saja merugikan orang lain. Entah alasan atau memang benar demikian, yang jelas cara yang ditempuh oleh Mualimin menjadi blunder untuk nama baiknya sendiri.
ADVERTISEMENTS
Meski sudah resmi dicabut, dan kedua pihak sudah saling memaafkan, netizen masih terus menghujani kasus ini dengan beragam komentar
Dokumen hasil TPF Munir raib entah di istana sebelah mana, dan Dirjen HAM ribut soal jas yang rusak di laundrian.
— zen.rs (@zenrs) October 10, 2016
Meskipun Budi Imam sudah minta maaf, Mualimin Abdi sudah setuju untuk mencabut tuntutan tanpa ganti rugi. Serta keduanya sudah sepakat bahwa kasus ini selesai di sini, namun komentar netizen masih sulit ditenangkan. Barangkali inilah risiko sebagai pejabat masyarakat, yang setiap tingkah lakunya harus dijaga bila tidak mau menjadi bulan-bulanan media.
Beragam komentar dari netizen masih bermunculan. Seperti kata Toto @wongkampung yang dilangsir dari detik.com: “Menggugat boleh2 aja, tapi lihat dulu kondisinya…udah jelas nyuci kiloan, perjanjian penggantian 10x lipat sudah dipenuhi, lha kok ga terima??? Makanya nyuci sendiri bos! Pejabat kayak gini kok masih dipake? Ini seleksinya gimana? dipensiunkan sajalah, bikin gaduh!!!”
Senada dengan komentar dari @dh3_dh3 yang memilih menyikapi berita dengan halus: “jas 10 juta harusnya laundrynya di tempat yang sudah punya nama, jadi jelas pertangunggjawabannya ketika baju rusak, dan yang punya laundry juga gak bakal update status, businnes as usual, semoga jadi pelajaran buat dua belah pihak.”
Namun tak sedikit yang bertanya-tanya bila kasus ini tidak viral di media, akankah pak Dirjen mencabut tuntutan dengan mudahnya? Nah, kalau menurutmu bagaimana?
ADVERTISEMENTS
Mengajukan gugatan atas tindakan yang merugikan memang hak setiap warga negara. Sudah sepantasnya setiap kasus ditangani dengan serius. Termasuk kasus di tanah timur, yang kemarin dinihilkan eksistensinya
Secara teknis, barangkali memang tidak ada yang salah ketika Mualimin Abdi mengajukan gugatan hukum karena merasa dirugikan dan haknya sebagai konsumen tidak dipenuhi. Sebagai warga negara, hal itu dibenarkan saja. Setiap kerugian yang diderita seseorang akibat perbuatan orang lain layak ditangani dengan serius bila memang sudah tiba di ranah hukum yang artinya tidak selesai melalui solusi kekeluargaan. Namun hal ini tentu membuat kita semakin bertanya-tanya, mengapa bila perkara jas yang barangkali nilainya tidak seberapa bagi pejabat saja bisa masuk ke meja hijau untuk diproses secara hukum, kasus-kasus perugian yang lebih besar yang menyangkut pelanggaran HAM dan penghilangan nyawa justru bisa begitu saja diabaikan? Jangankan masuk ke ranah hukum untuk diselesaikan secara ‘benar’, justru eksistensinya ditiadakan, demi nama baik Negara agar tidak tercemar.
Konon komitmen Negara untuk menegakkan HAM tidak perlu diragukan. Namun banyaknya kontradiksi yang terjadi ini sangat membingungkan. Bila Dirjen HAM saja boleh menuntut haknya sebagai konsumen yang dirugikan, bukankah seharusnya orang-orang yang dirugikan atas berbagai peristiwa berdarah yang di’anonimkan’ ini juga memiliki hak yang sama?
Tapi sebagai rakyat kecil yang suaranya timbul tenggelam dalam hingar bingar politik pemerintahan, mari kita tunggu saja komitmen penegakan HAM Indonesia yang konon katanya tidak perlu diragukan itu. Sebab komitmen saja tidak cukup tanpa solusi dan tindakan yang nyata, bukan?
Apa boleh buat, setidaknya kita boleh ikut bersyukur, karena kasus ini selesai dengan damai dan tidak lagi diperpanjang.