Jogja memang istimewa. Jika kamu pernah tinggal, belajar, atau setidaknya singgah sebentar di kota ini, kamu akan merasakannya. Kota pelajar, budaya, dan seni ini memang selalu membuat mereka yang pernah menjadi warganya rindu.
Dimana lagi kita bisa duduk bersila makan nasi kucing, dengan kidung dari musisi jalanan? Haduh… Klise banget sih pakai liriknya Kla Project, tapi gimana lagi. Saking banyaknya yang kangen sama kota ini, lagu itu makin berputar di kepala. Nah, itulah hebatnya Jogja.
Untuk sedikit mengobati rasa kangen itu, kenapa tidak menyempatkan diri bernostalgia? Bisa saja, artikel di bawah ini akan membuat kamu ingin kembali ke Jogja.
ADVERTISEMENTS
1. Keistimewaan Jogja sudah bisa kamu rasakan begitu menginjakkan kaki di kota ini
Jika datang dari Jakarta, biasanya kamu akan sampai di Tugu pada subuh hari. Langit masih berwarna merah, udara pun sedang segar-segarnya. Ada belasan bapak yang akan menawarkanmu taksi atau becak. Tidak semuanya, tapi ada tukang becak atau sopir taksi yang akan menghampirimu dengan sebelah tangan di dada, serta badan yang, demi kesopanan, sedikit membungkuk.
Jogja adalah kota yang punya iramanya sendiri. Tidak terburu-buru sebagaimana kota-kota besar lainnya, tapi tetap riuh dan hidup — jauh dari kata membosankan. Mungkin irama inilah yang kita semua rasakan begitu menjejakkan kaki di kota ini.
ADVERTISEMENTS
2. Marka Tanah di Bawah Ini Adalah Tanda Bahwa Kamu Sudah ‘Sah’ Ada di Jogja
ADVERTISEMENTS
Buat yang baru pertama kali ke Jogja: Jalan Malioboro dan Tugu
Buat wisatawan yang berlibur di Jogja, kunjungan ke Malioboro sudah seperti harga mati. Tujuan wisata utama di Jogja ini penuh dengan pedagang oleh-oleh dari ujung ke ujung. Banyak juga warung lesehan untuk menikmati suasana malam kota. Karena Malioboro selalu ramai, orang Jogja sendiri biasa menghindari jalan ini. Cuma sekali-dua kali mereka rela menyambanginya, itupun buat mengantar saudara dari luar kota beli oleh-oleh!
Nah, tugu yang nama Belandanya adalah De Witt Pall ini selalu dijadikan arena foto-foto buat turis maupun mahasiswa. Tugu masih dipenuhi orang sampai larut malam, bahkan ada juga yang masih nongkrong di angkringan di dekatnya sampai pukul 3 pagi.
ADVERTISEMENTS
Sementara buat mahasiswa baru…
Gerai swalayan ini banyak tersebar di seluruh penjuru Jogja. Sepertinya hampir tiap universitas di Jogja punya paling tidak satu bangunan swalayan ini di dekatnya. Kalau kamu mahasiswa baru dan butuh peralatan buat kost, swalayan besar ini pasti yang pertama hinggap di pikiranmu. Atau kamu malah pernah ikut undian abadi mereka yang hadiahnya rumah? Hehe.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
3. Kamu akan mulai berkenalan dengan berbagai manusia unik dari Yogya…
A. Orang lanjut usia yang masih gigih bekerja
Di Jogja, kamu akan menemukan banyak wanita tua yang masih bekerja, entah itu mengangkut sayur atau kayu bakar. Banyak yang berasal dari sisi-sisi luar propinsi DI Yogyakarta. Maka dari itu, selain berpapasan dengan mereka di pasar, kamu juga akan sering melihat mereka di tepi jalan — menunggu bus yang akan membawa mereka pulang.
Selain itu, kamu akan menemukan banyak kakek yang masih aktif bekerja. Ada yang berdagang sapu di tepi jalan, ada yang menunggu angkringan. Ada juga yang menjual ronde, minuman hangat dengan jahe, kacang, dan potongan lembut roti tawar yang disajikan dalam sebuah mangkuk kecil.
“Mbah, saya beli ronde satu!”
“Yoo…”
Angka harapan hidup penduduk Yogyakarta tercatat sebagai yang tertinggi di Indonesia. Jika rata-rata penduduk Indonesia akan hidup hingga umur 66 tahun, rata-rata penduduk Yogyakarta akan mampu mencapai umur 76 tahun. Jadi wajar saja kalau kita mudah menemui penduduk lanjut usia di Jogja.
B. Para anggota komunitas
Jogja itu surganya komunitas. Ada komunitas blogger seperti CahAndong, komunitas sepeda seperti Jogja Last Friday Ride dan Bike2Work, sampai komunitas pembaca dan penikmat puisi yang tiap minggunya manggung di Djendelo Cafe, Gejayan.
C. Sesama mahasiswa atau anak SMA
Namanya juga kota pelajar, baik mahasiswa maupun pelajar berseragam SMA adalah pandangan yang umum di Jogja. Ada paling tidak 106 sekolah menengah atas di seluruh DI Yogyakarta. Jumlah universitas, sekolah tinggi, politeknik, dan akademi jauh lebih banyak lagi.
Tapi bukan cuma karena jumlah mereka yang banyak, lho. Mahasiswa dan pelajar Jogja memang aktif dan “eksis” dalam kehidupan masyarakat luas. Kamu bisa melihat mereka di jalan raya, mengumpulkan dana buat acara organisasi mahasiswa atau solidaritas bencana. Ada juga yang jualan bunga mawar, jaga pameran, sampai ngamen di 0 kilometer! Tanpa mereka, kehidupan kota Jogja sama sekali tak akan sama.
D. Ibu dan bapak kost!
Yang satu ini nggak boleh dilupakan. Bapak atau ibu yang memiliki atau mengurus kost-mu adalah orang yang punya andil besar dalam kelancaran perantauanmu di Jogja. Kamu beruntung kalau mendapatkan bapak atau ibu kost yang bisa menjadi “pengganti” ayah atau ibumu di rumah. Soalnya banyak juga yang pemilik kost-nya agak “eksotis” — muncul cuma pas mau nagih uang, tapi pas keran atau atap bocor secara ajaib “ngilang”. Kamu dapat yang mana?
4. Tinggal di Jogja, kamu harus siap menghormati tata krama
Salah satu alasan kenapa Jogja istimewa adalah kesadaran warganya untuk beramah tamah dan menghormati tata krama. Kesadaran ini sudah sulit ditemui di kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Jika kamu lewat di depan beberapa orang tua yang sedang duduk-duduk di jalan, jangan langsung mlengos. Kamu tidak punya lisensi untuk bersikap cuek pada mereka! Sebaliknya, bungkukkan sedikit badanmu dan anggukkan kepalamu: “Mari, Bu…”
Jika kamu baru selesai makan di warung, jangan langsung pergi setelah membayar. Ucapkan terima kasih dan salam: “Pareng...”
Jika seorang bapak atau ibu nggak berhenti-berhenti menatapmu, jangan heran, apalagi marah. Itu artinya, beliau menunggumu untuk menyapa. Senyumi saja, pasti ekspresi mukanya langsung berubah menjadi hangat.
Jangan kaget juga ketika kamu ditanya: “Badhe tindak pundi?” (“Mau kemana?”) Mereka tidak sedang mau menguntitmu, kok! Kamu pun tidak perlu menjawab panjang-panjang, cukup jelaskan kalau kamu sedang mau ke kampus atau rumah teman. Tunggu saja mereka berpesan: “Nggih, hati-hati.”
5. Merantau ke kota lain, kamu akan shock karena hidup baru yang keras dan menantang. Merantau ke Jogja, kamu akan shock karena hidup yang… terlalu “gampang”.
A. Bukan rahasia lagi kalau Jogja adalah surga makanan murah
“Nasi kucing tiga, kerupuk dua, sate usus satu, gorengan lima, teh jahe satu. Berapa, Pak?”
“7.500, Mas.”
“HAH??!!” *masukin lembar 20.000-an balik ke kantong*
B. Jalanan Jogja pun relatif lebih lega dibandingkan kota-kota besar lainnya di Indonesia
Meski sekarang semakin banyak jalan-jalan kota yang diubah jadi satu arah — tanda bahwa jalanan di Yogya semakin kritis dan tak mampu menampung perkembangan jumlah kendaraan — paling tidak kota ini masih relatif lebih “lowong” dibandingkan kota-kota lainnya di Indonesia.
Kalaupun macet, jalan raya tak lantas berubah jadi “neraka” dimana kamu akan terjebak selama berjam-jam. Macetnya Jogja adalah macet dimana kamu masih bisa menggeliat, terutama jika kamu pakai motor bebek.
C. Di Jogja, kamu bisa bersenang-senang lewat jutaan cara
Jangan puas cuma menyusuri Malioboro. Kamu juga harus pergi ke Gua Pindul di Gunungkidul, bagian timur Yogyakarta, menjelajahi gua dengan ban!
Kalau mau mencari hawa sejuk, pergi saja ke sebelah utara, menuju Merapi. Di sana kamu juga akan menemukan museum vulkanologi dan tempat tinggal Mbah Maridjan, juru kunci Merapi, sebelum beliau wafat akibat erupsi Merapi di tahun 2010. Banyak rumah dan kendaraan yang lantak oleh asap wedus gembel yang akhirnya dijadikan “museum” oleh warga, untuk mengingat bahwa kita kecil dibandingkan kuasa-Nya.
Beda lagi kalau kamu menuju Selatan. Di sini, kamu bisa menemukan banyak pantai, seperti Samas, Depok, dan yang paling terkenal: Parangtritis. Kalau mau yang jauh lebih privat, kamu juga bisa kok bertualang 3-4 jam ke timur dan menyusuri indahnya pertemuan daratan dan Samudra Hindia di Gunungkidul.
Nggak mau jauh-jauh? Ya sudah, mampir saja ke Taman Sari di dekat komplek keraton sana. Kolam yang dulu jadi tempat pemandian para selir Sultan ini sekarang dibuka untuk umum sebagai tempat wisata. Harga tiketnya nggak sampai Rp. 5000, dan kamu akan diajak bertualang melihat masjid bawah tanah hingga tangga-tangga spiral dengan arsitektur menakjubkan. Asal, jangan mandi di kolamnya ya. Jangan juga sok-sok ngintip dari jendela menaranya. Emangnya kamu Jaka Tarub…
Kamu juga bisa bersenang-senang di Alun-Alun Selatan. Tutup saja matamu dengan kain dan cobalah untuk berjalan lurus di antara dua pohon beringin keramat di lapangannya. Menurut mitos, jika kamu berhasil berjalan lurus, satu keinginanmu akan terkabul. Meskipun menurut ilmu pengetahuan, kita memang nggak akan bisa berjalan lurus kalau mata kita ditutup… hahaha.
6. Tinggal di Jogja sebagai mahasiswa pun akan membanjirimu dengan berbagai kemudahan
A. Lapar tapi gak punya duit? Ke burjo aja!
Sebenarnya, ‘burjo’ adalah singkatan dari warung bubur kacang ijo. Meski begitu, hampir semua mahasiswa yang berkunjung ke sana akan memesan nasi telur atau mie goreng. Sebagaimana angkringan, harganya pun miring: nggak sampai Rp. 6000 untuk makan siang yang sudah termasuk minumnya. Penyelamat hidup mahasiswa di akhir bulan.
“A’, intel tante-nya satu A’, ga pake lama!”
B. Jogja juga punya tempat fotokopi yang buka 24 jam
Nggak cuma apotek atau mesin ATM yang 24 jam. Di Jogja yang sarangnya mahasiswa, kamu akan bisa menemukan pusat fotokopi yang nggak pernah tutup siang-malam. Mau jilid skripsi jam 2 pagi? Bisa aja…tapi skripsinya harus jadi dulu ya!
C. Ada juga yang namanya warnet “plus-plus”
Eits, jangan salah. “Plus-plus” di sini sama sekali nggak ada kaitannya dengan panti pijat lho, ya. “Plus-plus” disini maksudnya harta karun berupa file film dan serial TV luar negeri. Nggak usah repot-repot streaming di internet cuma buat nonton maraton serial TV. Pesan khusus buatmu yang tinggal di luar Jogja: kalau mau berkunjung ke kota ini, jangan lupa bawa hard disk.
D. Intinya, segenap sudut kota dibangun dengan memikirkan eksistensimu sebagai mahasiswa
Di Jogja, bukan cuma para mahasiswa yang harus menyesuaikan diri dengan kota Yogya. Kota Yogya pun rela menyesuaikan diri dengan para mahasiswa yang tinggal di dalamnya. Acara-acara untuk anak muda selalu ada, dari konser musik indie sampai pameran buku tiap bulan. Kost, warung makan, penatu, warnet, semuanya mudah dicari.
Rentang harganya pun tinggal pilih, sesuai anggaranmu. Mau kost eksklusif berharga jutaan per bulan, atau kost yang akan meminta jumlah uang yang sama per tahunnya? Mau warung makan murah meriah, atau kafe-kafe yang sekarang makin menjamur? Semua kembali padamu.
6. Tak harus sebagai mahasiswa, tinggal di Jogja sebagai anak muda pun akan membuatmu berkembang
Jangan remehkan sajian musik dan lukisan jalanan di Jogja. Anak muda yang terlibat di dalamnya menggeluti ini dengan serius. Tak sekadar menimbulkan bunyi-bunyi sumbang, mereka berkumpul untuk saling mengasah kemampuan satu sama lain — bahkan bisa juga menciptakan melodi dan lagu sendiri.
Bukan hanya soal seni, Jogja juga punya banyak anak muda yang kreatif dalam dunia usaha. Sisi entrepreneurship anak muda makin meroket tahun-tahun terakhir ini, ditandai dengan banyaknya usaha kecil menengah dan industri kreatif yang mulai berdiri. Salah satu wiraswasta muda paling populer di kota kita, sebagai contoh, adalah Mas Firmansyah. Dia disebut juga ‘Bapak Singkong’ karena berhasil membuat kue tanpa tepung terigu.
7. Tapi memang sih, hidup di Jogja nggak cuma nyaman doang. Kamu tetap harus bersabar… terutama soal makanan.
Blah, makanan asli Jogja itu manis-manis banget! Es teh udah pasti manis, gak mungkin tawar — kecuali kamu secara implisit bilang! Bakpia, jadah tempe, bacem, lotek, wah… Bahkan sambel aja manis!
8. Kamu juga akan dikerjai oleh teman-temanmu dengan berbagai kosa kata bahasa Jawa
Pertama kali pindah ke Jogja, kamu masih berbicara dengan logat asli kampung halamanmu. Alhasil, teman-temanmu pun tahu kalau kamu berasal dari luar Jawa. Biasanya sih yang kayak gini nih muslihat mereka:
Teman: “Eh, kamu ga bisa bahasa Jawa ‘kan? Mau diajarin gak?”
Kamu: “Boleh deh. Ajarin apa?”
Teman: “Coba kamu bilang ‘kulo segawon’. Artinya ‘makasih’.”
Kamu: *mengucapkan kalimat itu dengan polosnya*
Beberapa dari kamu punya semangat menggebu-gebu dalam belajar bahasa Jawa. Sayangnya, semangat ini padam sendiri kira-kira di akhir tahun pertamamu di Jogja. Alasannya, kamu sering diketawain!
Teman: “Udah woy, gak usah sok-sokan pakai bahasa Jawa. Gak cocok!”
9. Tapi, tinggal di Jogja juga mempertemukanmu dengan teman-teman terbaik dalam hidupmu.
Awalnya kalian cuma teman dalam suka: menghabiskan makan siang di kantin kampus, nongkrong sampai larut malam di angkringan pinggir Code, karaoke. Lama-lama, kalian pun mengerti bahwa yang kalian lakukan itu bukan cuma hura-hura. Sebagai sesama anak perantauan, kalian adalah keluarga baru satu sama lain. Kalian juga menjadi tempat untuk bertukar pikiran: tentang materi kuliah, tentang puisi dan buku-buku yang baru terbit, bahkan politik.
Dari pribadi yang tak lebih dari sekadar anak kecil labil, kalian bisa menjadi lebih cerdas dan bijaksana. Inilah yang membedakan teman-teman yang kamu temui di Jogja dengan kawan-kawan yang bertemu denganmu di fase hidupmu yang lainnya.
10. Jogjakarta memang membuatmu tak hanya sekadar tinggal, namun juga tumbuh dewasa
Ada pepatah Jawa yang mengatakan, “Wong urip kuwi mung mampir ngombe.” Hidup itu cuma sekadar numpang minum. Namun anehnya, Jogja bukan kota yang akan membiarkanmu “cuma mampir minum”. Di balik segala kenyamanan yang ia tawarkan, kamu dituntut untuk belajar banyak hal.
Di Jogja, kamu akan banyak bertemu orang-orang hebat. Baik itu dosen di kampus, sesama mahasiswa, guru tarimu, atau tukang parkir di apotek seberang kost-mu. Kamu juga akan pergi ke kuliah demi kuliah. Gak cuma yang wajib kamu hadiri di kampusmu saja, tapi juga “kuliah-kuliah sunnah” di berbagai seminar dan pusat budaya. Dengan ini, kamu bisa menyadari bahwa masih banyak orang-orang yang lebih pintar darimu di luar sana. Banyak anak muda hebat yang berkumpul di Jogja, bukan cuma kamu saja.
Inilah bagaimana Jogja melatihmu untuk dewasa: kamu dipaksa mengakui bahwa ada selain dirimu yang jauh lebih sempurna.
11. Selain itu, Jogjalah yang menyadarkanmu bahwa bahagia itu sederhana.
Di Jogja, bukan penampilan yang membuat orang menghormatimu. Bukan baju mahal, dandanan heboh, tas bermerek, apalagi mobil mewah dan rumah besar. Perilakumu yang santun akan jauh lebih berkarisma dibandingkan benda-benda yang kamu punya.
Di Jogja, acara-acara sosial pun dikemas dalam kesederhanaan. Banyak yang digelar di rumah makan yang menawarkan ruangan mereka secara cuma-cuma. Ada pula anggota komunitas yang dengan suka rela membantumu mengadakan acara di rumahnya. Hidangan yang ditawarkan pun “biasa saja”, hanya gorengan dan teh hangat yang disajikan dengan baki plastik di atas lantai. Yang penting, semua orang bisa bersantai. Jika ada pemeo populer yang bilang bahwa bahagia itu sederhana… Yogyakarta adalah buktinya.
12. Karena begitu banyak yang sudah kamu pelajari, kamu pun jatuh cinta pada kota ini
Banyak orang tak habis pikir kenapa kita yang pernah tinggal di Jogja bisa begitu mencintai kota itu. “Fanatik amat deh,” kata mereka, setengah bercanda. Tapi mereka tidak mengerti.
Ketika kamu membicarakan Jogja, yang kamu maksudkan bukan cuma Jalan Malioboro, Tugu, atau gudeg. Yang terbersit di pikiranmu adalah ibu penjual lotek di dekat kost-mu, yang selalu bertanya tentang kelancaran studimu, progres skripsimu, atau bahkan pacarmu. Kamu merindukan saat-saat langka dimana dosen pembimbingmu menceritakan sedikit kisah dari hidup pribadi mereka. Kamu merindukan masa dimana teman-temanmu dan kamu saling bercanda, naif dan muda.
Kota Jogja bukan cuma bangunan atau jalan-jalan yang ada di dalamnya. Lebih dari itu, Jogja adalah kehidupan para warganya. Bagaimana bisa kamu tidak mencintai tempat yang begitu memanusiakan penduduknya?
13. Dengan perasaanmu pada Jogja, pergi dari sana adalah keputusan yang berat.
Sebenarnya, tidak semua orang yang pernah merantau ke Jogja bisa move on dari kota tersebut. Beberapa, karena mencintai kenyamanan kota Jogja, memutuskan untuk tinggal di sana saja. Bekerja di kota itu, kemudian memiliki keluarga.
Jogja menawarkan rasa nyaman. Namun kenyamanan, bagimu, bukan segalanya. Setelah beberapa lama tinggal di Jogja, kamu menginginkan sesuatu yang baru. Sesuatu yang pasti kalah nyaman dan tenteram — namun akan membuatmu tertantang dan lebih berkembang.
Walau begitu, setelah pindah ke kota lain kamu akan selalu bertanya di kepala: “Kapan bisa pulang ke Yogya?”
14. Ya, bagimu Jogja adalah tempat yang tepat untuk pulang.
Seperti yang Joko Pinurbo pernah tuliskan: “Jogja itu terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan.”
Iya, kamu percaya.